Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan aturan baru terkait dengan penyerahan agunan yang diambil oleh kreditur kepada pembeli agunan. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 41 Tahun 2023.
Dalam aturan tersebut, jumlah pajak pertambahan nilai (PPN) yang dipungut dihitung dengan menggunakan besaran tertentu sebesar 10% dari tarif PPN (1,1%) dikali harga jual agunan. Oleh karenanya, lembaga keuangan tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas pengenaan PPN.
Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Hestu Yoga Saksama mengatakan, latar belakang terbitnya aturan tersebut dikarenakan banyak terjadi sengketa di lapangan mengenai PPN atas penjualan AYDA oleh lembaga keuangan kepada pembeli agunan.
Yoga bilang, banyak ditemukan lembaga keuangan yang tidak mengenakan PPN saat di lapangan, lantaran akan susah menarik pembeli saat aset-aset tersebut ditawarkan kepada pembeli, terlebih lagi apabila harus dikenakan PPN 11%.
Untuk itu, melalui aturan tersebut, DJP Kemenkeu mengatur kembali besaran tertentu PPN 1,1% (tarif lebih rendah) dengan tujuan agar bisa segera menjual aset-aset yang diambil alih tersebut.
“Kita coba mengenakan yang tadi, besaran tertentu kita atur ulang. Kita diskusi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dengan perbankan dan lembaga keuangan supaya mau mengenai PPN dengan besaran tertentu 1,1%,” kata Yoga dalam acara Media Briefing di Jakarta, Kamis (11/5).
Senada dengan Yoga, Pengamat Pajak Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan bahwa terbitnya aturan ini untuk mengantisipasi terjadinya sengketa antara lembang keuangan dengan DJP Kemenkeu.
“PMK ini merupakan aturan turunan dari UU HPP. Memang di UU HPP diberikan penegasan kalau AYDA ini terutang PPN. Di lapangan memang terjadi (dispute) antara lembaga keuangan dengan DJP atas AYDA ini,” ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (11/5).
Di sisi lain, Fajry bilang, pihak lembaga keuangan juga diakomodasi dengan besaran PPN terutang yakni 10% dari tarif berlaku (1,1%).
“Jadi sudah memberikan kemudahan bagi lembaga keuangan selain memberikan kepastian hukum,” katanya.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menyampaikan, PMK 41/2023 memberikan kepastian hukum tentang perlakuan PPN atas AYDA ini. Menurutnya, selama ini banyak kasus sengeketa pajak hingga ke pengadilan terkait AYDA.
“Seringkali pemeriksa pajak menganggap bahwa pengambil alihan AYDA sudah terutang PPN karena dianggap sudah ada penyerahan hak dari debitur ke kreditur,” kata Prianto kepada Kontan.co.id, Kamis (11/5).
Di sisi lain, Prianto bilang, aturan tersebut memiliki revenue productivity lantaran ada potensi penerimaan PPN yang bertambah dikarenakan kreditur ditunjuk sebagai pemungut PPN.
“Jika dilihat aturan normalnya, pemungut PPN seharusnya adalah debitur sebagai pemilik hak yang melakukan penyerahan AYDA kepada kreditur,” katanya.
Artikel ini telah tayang dilaman Kontan.co.id dengan judul ” Soal PMK 41/2023 Beri Kemudahan Lembaga Keuangan dan Kepastian Hukum”, pada 11 Mei 2023 dengan tautan https://nasional.kontan.co.id/news/soal-pmk-412023-beri-kemudahan-lembaga-keuangan-dan-kepastian-hukum?page=1