Kabarbursa.com | 12 November 2024
KABARBUSA.COM – Pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.988,9 triliun pada 2024, namun harapan ini tampaknya akan sulit tercapai. Berdasarkan proyeksi Semester I-2024, penerimaan pajak hanya diperkirakan mencapai Rp 1.921,9 triliun, jauh dari angka target yang dicanangkan.
Peneliti dari Indonesia Center for Tax Law (ICTL) Fakultas Hukum UGM, Adrianto Dwi Nugroho menyoroti perlunya penyuluhan dan edukasi perpajakan, khususnya bagi kelompok yang tergolong sulit dipajaki atau hard to tax.
Menurut Adrianto, penyuluhan semacam ini harus diberikan sejak dini, terutama bagi kalangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan startup yang belum sepenuhnya berkontribusi dalam pajak.
Mengingat kalangan seperti UMKM dan startup menurut dia adalah kelompok yang tergolong sulit untuk dipajaki. Sehingga pada saat telah menjadi usaha besar, mereka dapat menjadi pembayar pajak yang patuh.
“UMKM dan startup businesses, perlu mendapatkan edukasi perpajakan sejak dini (sebelum berkembang besar), sehingga pada saat telah menjadi usaha besar, mereka dapat menjadi pembayar pajak yang patuh,” ungkap dia
Upaya persuasif namun tetap menunjukan ketegasan diperlukan untuk memberikan efek jera bagi wajib pajak tanpa perlu menjadikan mereka dalam keadaan yang nestapa akibat pengenaan pajak yang sewenang-wenang
“Penegakan hukum yang berkeadilan dan tanpa kesewenang-wenangan,” kata dia.
Selain itu, Adrianto menyarankan agar penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) memperhatikan asas proporsionalitas dalam hukum administrasi negara.
“Beberapa pasal dalam UU KUP yang mendelagasikan kewenangan pembentukan PMK dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi karena memuat pengaturan yang seharusnya diatur dalam UU,” kata dia.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menawarkan solusi yang lebih fokus pada mekanisme pembayaran pajak untuk meningkatkan penerimaan hingga akhir tahun.
Menurut Prianto, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat menerapkan dinamisasi pembayaran angsuran PPh Pasal 25 bagi wajib pajak yang tengah mengalami pemulihan ekonomi
“DJP dapat melakukan dinamisasi pembayaran angsuran PPh 25 untuk wajib pajak yang mengalami pemulihan ekonomi. Dengan demikian, angsuran pajak bulanan sesuai Pasal 25 UU PPh dapat ditingkatkan,” terangnya kepada Kabarbursa.com.
Penegakan Hukum Jadi Kunci
Peneliti dari Indonesia Center for Tax Law (ICTL) Fakultas Hukum UGM Adrianto Dwi Nugroho, mengungkapkan pandangannya mengenai kebijakan yang perlu diperbaiki untuk mencapai target penerimaan pajak yang optimal. Menurutnya, penegakan hukum perpajakan perlu lebih mengutamakan efisiensi, dengan fokus pada penegakan hukum administratif ketimbang pidana.
“Penegakan hukum harus mengedepankan aspek efisiensi. Utamakan penegakan hukum administratif daripada hukum pidana,” katanya kepada Kabarbursa.com, Senin 11 November 2024.
Sebaliknya, penegakan hukum administratif lebih efisien karena pembuktian yang dilakukan bersifat formil, yang dapat diukur dan diproses lebih cepat. Selain itu, hasil dari putusan administratif dapat langsung diklasifikasikan sebagai penerimaan pajak.
“Penegakan hukum administratif mengutamakan pembuktian formil, sehingga dapat diukur oleh waktu, dan penerimaan yang dihasilkan dari putusan administratif dapat diklasfikasikan sebagai penerimaan pajak,” terang dia.
Dengan pengembangan lebih lanjut, dia mengatakan sistem ini diharapkan dapat menggantikan sistem self-assessment yang diterapkan selama ini, dengan sistem official assessment yang lebih ketat. Hal ini diharapkan mampu mempersempit celah bagi wajib pajak yang berusaha menghindari kewajiban pajak mereka.
“Ke depannya, ketika Coretax telah mendekati sempurna, self assessment system yang diberlakukan sejak reformasi perpjakan dapat digantikan dengan official assessment system, yang mana ini akan mampu mempersempit celah bagi wajib pajak untuk mengelak dari pajak,” lanjutnya.
Kepatuhan Perpajakan Pengusaha
Dengan peningkatan tarif PPN, dia yakin akan ada dorongan lebih besar bagi pengusaha untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan mereka tanpa harus mengurangi konsumsi, karena pasar akan menyesuaikan harga secara alami hingga tercapai titik keseimbangan.
“Artinya, peningkatan tarif PPN dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan dari pengusaha, sementara kebijakan tersebut tidak akan serta merta mengurangi konsumsi, karena pasar akan meregulasi dirinya sendiri hingga mencapai titik keseimbangan harga,” ujar dia.
“Secara prinsip, penerimaan pajak dapat ditingkatkan dengan dua cara, yaitu: intensifikasi dan ekstensifikasi. Proses intensifikasi dilakukan dengan cara penggalian potensi pajak dengan proses data matching,” kata dia Kepada Kabar Bursa, Senin 11 November 2024.
Melalui proses ini, data yang diperoleh akan dibandingkan dengan laporan pajak yang disampaikan oleh wajib pajak, sehingga memungkinkan penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan (SP2DK). “Proses demikian disebut data matching dengan hasil berupa penerbitan SP2DK,’ tambah dia.
“Proses ekstensifikasi dilakukan dengan menyisir orang pribadi dan badan yang belum menjadi wajib pajak. Ekstensifikasi dilakukan juga untuk transaksi underground economy. Cara ini dilakukan oleh KPP Pratama,” terang dia.(*)
Artikel ini telah dimuat pada Kabarbursa.com dengan judul “Target Penerimaan Terancam! UMKM dan Startup Sulit Dipajaki” selengkapnya di sini:
https://www.kabarbursa.com/headline/98966/target-penerimaan-terancam-umkm-dan-startup-sulit-dipajaki