Dalam beberapa tahun terakhir, isu keberlanjutan perusahaan semakin mendapat sorotan dari berbagai pihak. Investor, konsumen, hingga regulator kini tidak hanya menilai perusahaan berdasarkan kinerja finansial, tetapi juga sejauh mana perusahaan mampu mengintegrasikan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam strategi bisnisnya. ESG dipandang sebagai fondasi penting untuk memastikan keberlangsungan usaha jangka panjang, menjaga reputasi, serta meningkatkan daya saing di tengah persaingan global.
Di antara berbagai faktor yang memengaruhi kualitas penerapan ESG, keberagaman gender di dewan direksi menempati posisi yang krusial. Dewan direksi merupakan pusat pengambilan keputusan strategis sekaligus pengawas utama arah kebijakan perusahaan. Dengan demikian, komposisi dewan, termasuk representasi perempuan, berperan besar dalam menentukan jalannya kebijakan keberlanjutan.
Penelitian menunjukkan bahwa keberadaan perempuan di dewan direksi mampu memperkaya perspektif dalam pengambilan keputusan. Perempuan cenderung lebih peka terhadap isu lingkungan, sosial, dan etika dibandingkan laki-laki. Kehadiran mereka dapat memperkuat orientasi perusahaan terhadap keberlanjutan. Selain itu, direktur perempuan sering membawa nilai empati, kepedulian sosial, serta komitmen terhadap praktik bisnis yang bertanggung jawab.
Studi yang dilakukan Omenihu, Abdrakhmanova, dan Koufopoulos (2025) menemukan bahwa perusahaan dengan minimal tiga perempuan di dewan direksi memiliki skor pengungkapan ESG yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang hanya memiliki satu atau dua perempuan. Temuan ini sejalan dengan teori massa kritis, yang menyatakan bahwa untuk memberikan pengaruh signifikan, representasi kelompok minoritas harus mencapai jumlah tertentu. Dalam konteks ini, tiga direktur perempuan dipandang sebagai ambang batas yang dapat mendorong perubahan substansial dalam praktik tata kelola dan transparansi perusahaan.
Sebaliknya, ketika jumlah perempuan di dewan hanya satu atau dua, keberadaannya cenderung bersifat simbolis atau tokenistik. Dalam kondisi tersebut, perempuan sering kali tidak memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam proses pengambilan keputusan. Akibatnya, kontribusi mereka terhadap peningkatan kinerja ESG menjadi terbatas. Konsep ini telah dijelaskan sejak lama oleh Kanter (1977), yang menekankan bahwa representasi simbolis tidak cukup untuk mengubah dinamika organisasi secara nyata.
Penerapan ESG juga erat kaitannya dengan keberlangsungan bisnis. Investor semakin mempertimbangkan faktor ESG dalam pengambilan keputusan investasi, sementara konsumen lebih memilih produk dan layanan dari perusahaan yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, pengungkapan ESG yang transparan dan kredibel menjadi salah satu kunci untuk mempertahankan kepercayaan pasar.
Omenihu dkk. (2025) menegaskan bahwa perusahaan dengan dewan direksi yang inklusif cenderung lebih transparan dalam pengungkapan ESG. Transparansi ini tidak hanya meningkatkan reputasi perusahaan, tetapi juga membantu perusahaan lebih tangguh dalam menghadapi tekanan regulasi dan ekspektasi pemangku kepentingan. Dengan kata lain, keberagaman gender di dewan direksi bukan hanya soal keadilan sosial, melainkan juga strategi bisnis jangka panjang yang mampu memberikan nilai tambah.
Lebih jauh lagi, penelitian menunjukkan bahwa keberagaman gender dapat mendorong inovasi dalam produk dan layanan, khususnya yang berkaitan dengan isu lingkungan. Perusahaan dengan lebih banyak perempuan di dewan direksi cenderung lebih aktif dalam mengurangi konsumsi sumber daya, mengembangkan produk ramah lingkungan, serta menjalin kemitraan yang berfokus pada praktik keberlanjutan.
Namun, penerapan keberagaman gender dalam dunia korporasi masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu hambatan utama adalah budaya organisasi yang masih bias gender, di mana perempuan sering dipandang hanya sebagai pelengkap tanpa diberi peran strategis yang setara. Selain itu, masih ada stereotip yang melekat bahwa posisi pengambil keputusan lebih cocok diisi oleh laki-laki.
Penelitian juga menunjukkan adanya variasi hasil di berbagai negara. Di negara maju, keberagaman gender di dewan direksi terbukti memiliki korelasi positif dengan skor ESG. Namun, di beberapa negara berkembang, pengaruhnya masih lemah atau bahkan negatif karena perbedaan kerangka kelembagaan, regulasi, dan budaya organisasi. Hal ini menegaskan bahwa keberhasilan penerapan keberagaman gender dalam dewan direksi sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan kelembagaan tempat perusahaan beroperasi.
Untuk mewujudkan tata kelola yang lebih inklusif, perusahaan perlu berkomitmen tidak hanya pada jumlah, tetapi juga pada kualitas keterlibatan perempuan di dewan direksi. Artinya, perusahaan tidak cukup sekadar memenuhi kuota, melainkan harus memberikan ruang bagi perempuan untuk benar-benar berkontribusi dalam pengambilan keputusan strategis.
Regulator dan pembuat kebijakan juga memiliki peran penting. Beberapa negara di Eropa telah menerapkan regulasi yang mewajibkan keterwakilan perempuan di dewan direksi. Kebijakan tersebut terbukti mampu meningkatkan kualitas pengungkapan ESG perusahaan. Pendekatan serupa dapat dipertimbangkan di negara lain, termasuk Indonesia, untuk mempercepat tercapainya tata kelola perusahaan yang berkelanjutan.
Keberagaman gender di dewan direksi pada akhirnya bukan sekadar isu representasi, melainkan sebuah kebutuhan strategis untuk mendorong praktik ESG yang lebih baik. Penelitian membuktikan bahwa perusahaan dengan keterlibatan perempuan yang memadai dalam dewan direksi memiliki skor pengungkapan ESG yang lebih tinggi, lebih transparan, dan lebih responsif terhadap kepentingan pemangku kepentingan.
Oleh karena itu, perusahaan perlu menempatkan keberagaman gender sebagai bagian integral dari strategi tata kelola. Hanya dengan cara ini ESG dapat benar-benar menjadi motor penggerak inovasi, transparansi, dan keberlanjutan bisnis di era yang semakin menuntut akuntabilitas sosial dan lingkungan.