Penerbitan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 pada 22 Mei 2025 bukan sekadar pembaruan teknis, beleid ini merupakan titik balik prinsip pelaporan pajak nasional. Per-11/PJ/2025, sebagai aturan pelaksana PMK-81/2024, menuntut penyesuaian substansial bagi seluruh alur pelaporan PPh, PPN, PPnBM, dan Bea Meterai karena tidak lagi cukup hanya mentransfer aturan lama ke platform digital, melainkan mengubah cara koreksi dicatat dan diproses. Pernyataan ini harus dipahami sebagai penegasan bahwa transformasi administratif menuntut transformasi tata kelola pula.
Mengutip laman pajak.go.id, Peraturan Dirjen Pajak No. Per-11/PJ/2025 menetapkan SPT Delta sebagai prinsip utama pelaporan di Coretax. Istilah delta merujuk pada selisih, dan itulah yang membedakan model baru ini dari mekanisme lama yang mengenal dua pendekatan: delta dan replace (menggantikan SPT sebelumnya). Di dalam Coretax, opsi replace hanya diterapkan pada kondisi tertentu saja. Dengan kata lain, Delta SPT bukan sekadar soal perubahan angka, melainkan fokus pada perbedaan antara laporan lama dan yang diperbarui karena ketika wajib pajak mengajukan pembetulan, sistem Coretax akan otomatis membandingkan data lama dengan data baru.
Sebelum Coretax di implementasikan, ketika Wajib Pajak membetulkan SPT PPN atas SPT PPN normal terdapat lebih bayar namun jika Delta SPT menunjukkan kurang bayar, maka Wajib Pajak harus melakukan pembayaran atas Delta SPT tersebut. Pada saat itu, pembetulan SPT Masa atas SPT Normal menjadi replaced tidak berlaku. SPT Masa selanjutnya yang sudah menggunakan saldo lebih bayar dari SPT Masa Normal yang sebelumnya direvisi menggunakan saldo lebih bayar dari SPT Pembetulan. Akhirnya praktik seperti ini bisa terjadi pembetulan ‘bergulung’.
Saat ini ketika Coretax telah diterapkan, pembetulan SPT Masa atas SPT Normal tidak terganti (tetap berlaku). Sehingga SPT Masa bulan selanjutnya yang sudah menggunakan saldo lebih bayar pada Masa sebelumnya tidak perlu direvisi dan tidak terjadi pembetulan ‘bergulung’
Inti perubahan yang harus dipersoalkan dan dipahami bersama adalah penegasan konsep Delta. Delta bukan sekadar istilah teknis, ia merombak paradigma koreksi dari logika “ganti total” (replace) menjadi logika “selisih” yang terukur. Dengan kata lain, koreksi tidak otomatis menghapus jejak pelaporan lama, kecuali dalam kondisi terbatas yang diatur khusus, melainkan sistem menghitung perbedaan antar data. Ini bukan hanya soal efisiensi sistem, melainkan soal rerouting risiko administratif. Beban verifikasi kini bergeser ke wajib pajak dan proses rekonsiliasi internal mereka.
Jika pembetulan meningkatkan klaim lebih bayar maka hak pengembalian bertambah. Jika pembetulan mengurangi klaim, wajib pajak langsung menghadapi kewajiban bayar tambahan. Karena Coretax memproses pembetulan secara otomatis, konsekuensi finansialnya bisa terjadi instan. Ini bukan sekadar masalah teknis; ini soal arus kas dan manajemen risiko. Oleh karena itu, klaim efisiensi sistem tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk mengabaikan kebutuhan penguatan pengendalian internal di entitas bisnis.
Perubahan ini juga menyudutkan praktik lama yang sering menimbulkan pembetulan ‘bergulung’. Memang, Coretax mengatasi fenomena tersebut dengan mencatat delta per masa sehingga tidak otomatis mengganti seluruh SPT lama. Namun efektivitas pendekatan ini bersandar pada kualitas data dan kesiapan internal wajib pajak, dua aspek yang selama ini sering diabaikan. Tanpa rekonsiliasi yang disiplin, manfaat pengurangan pembetulan bergulung bisa berubah menjadi sumber sengketa dan beban administratif baru.
Tantangan implementasi dan kebutuhan kebijakan pendukung
Transformasi teknis tanpa kebijakan pendukung adalah resep kegagalan. Transisi ke Coretax menuntut tiga hal yang tidak boleh ditunda yaitu sosialisasi yang berbasis skenario nyata, integrasi data yang handal (e-faktur, bukti potong, laporan internal), dan aturan transisi yang adil untuk koreksi historis atau kegagalan sistem. Tanpa ketiganya, wajib pajak akan menghadapi ketidakpastian hukum dan risiko finansial yang tidak proporsional sementara otoritas berisiko meningkatkan jumlah sengketa karena keputusan otomatis sistem yang tidak peka konteks.
Lebih jauh lagi, argumen bahwa teknologi otomatis akan menyelesaikan masalah administrasi terbukti simplistis jika tidak disertai peningkatan kapasitas SDM dan SOP yang memadai. DJP harus berperan aktif menyediakan panduan teknis yang konkret bukan sekadar draf regulasi termasuk contoh kasus, format laporan delta, dan prosedur penanganan error massal. Menunda atau samar-samar dalam hal ini sama dengan menambah biaya kepatuhan bagi pelaku usaha.
Dalam rangka menjamin bahwa konsep Delta bekerja sebagai alat efisiensi dan bukan jebakan administratif, DJP dapat meluncurkan modul sosialisasi kasus nyata dan check-list bukti pendukung. Selain itu, PKP harus memperkuat rekonsiliasi bulanan serta menetapkan gate internal sebelum mengajukan pembetulan. Terakhir, pemerintah diharapkan menetapkan mekanisme dispensasi atau opsi replace terbatas untuk situasi transisi, error sistem massal, atau koreksi historis yang material. Tanpa langkah-langkah ini, potensi efisiensi Coretax akan tertelan oleh biaya kepatuhan tambahan dan risiko fiskal yang tidak adil.
Dengan deimikian, Coretax dan PER-11/PJ/2025 membuka kesempatan untuk administrasi perpajakan lebih cepat dan terstandarisasi namun peluang itu bukan jaminan. Jika otoritas dan pelaku usaha tidak cepat beradaptasi dengan langkah kebijakan yang jelas dan praktek rekonsiliasi yang disiplin, maka konsep Delta justru akan memperburuk ketidakpastian administratif. Dalam konteks ini, transformasi digital harus diiringi transformasi tata kelola, hanya kombinasi keduanya yang dapat memastikan bahwa perubahan teknis berujung pada kepastian hukum dan keberlanjutan fiskal.