Dalam satu dekade terakhir, semakin banyak perusahaan yang mengadopsi prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) sebagai bagian dari strategi bisnis mereka. Namun, meskipun tren ini berkembang, implementasinya tidak selalu berjalan mulus. Salah satu tantangan utama adalah inkonsistensi dalam praktik pengungkapan ESG.
Banyak perusahaan masih memperlakukan ESG sebatas formalitas atau tren yang harus diikuti. Laporan yang dihasilkan sering kali minim substansi dan tidak sepenuhnya mencerminkan praktik nyata di lapangan. Hal ini membuat investor dan pemangku kepentingan kesulitan menilai sejauh mana komitmen perusahaan terhadap keberlanjutan
Selain itu, masih terdapat perbedaan kualitas pelaporan antar perusahaan. Perusahaan besar dengan sumber daya yang memadai cenderung lebih lengkap dalam menyusun laporan keberlanjutannya, sementara perusahaan kecil sering kali terbatas pada aspek-aspek tertentu. Ketidakseragaman ini menimbulkan kesenjangan informasi yang dapat mengurangi kepercayaan publik.
Faktor lain yang menjadi hambatan adalah perbedaan konteks regulasi dan kelembagaan antar negara. Omenihu, Abdrakhmanova, dan Koufopoulos (2025) menegaskan bahwa di negara maju, pengungkapan ESG lebih mapan karena didukung oleh regulasi yang kuat dan tekanan pasar yang tinggi. Sebaliknya, di negara berkembang, kelemahan institusi dan budaya bisnis sering kali menjadi penghalang dalam mendorong praktik ESG yang konsisten.
Meskipun banyak tantangan, peluang besar juga hadir seiring dengan meningkatnya kesadaran global terhadap isu keberlanjutan. Regulasi internasional semakin ketat dan menuntut perusahaan untuk lebih transparan dalam mengungkapkan aktivitas ESG mereka. Hal ini terlihat dari berbagai standar pelaporan global, seperti Global Reporting Initiative (GRI) dan Sustainability Accounting Standards Board (SASB), yang mendorong keterbukaan informasi perusahaan di berbagai sektor.
Kesadaran publik yang semakin tinggi juga menjadi faktor pendorong. Konsumen kini lebih selektif dalam memilih produk dan layanan, cenderung mendukung perusahaan yang menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat. Demikian pula, investor global semakin mempertimbangkan kinerja ESG dalam menentukan keputusan investasi. Perusahaan yang mampu menunjukkan komitmen nyata terhadap ESG lebih mudah menarik modal dan mitra bisnis
Selain menjaga reputasi, penerapan ESG yang baik dapat menciptakan keunggulan kompetitif. Perusahaan yang berkomitmen pada keberlanjutan cenderung lebih inovatif, misalnya dengan mengembangkan produk ramah lingkungan, menerapkan efisiensi energi, atau membangun kemitraan sosial yang berdampak positif. Langkah-langkah tersebut bukan hanya memperkuat posisi perusahaan di pasar, tetapi juga membuka peluang bisnis baru.
Keberhasilan implementasi ESG sangat dipengaruhi oleh tata kelola perusahaan. Dewan direksi yang independen, beragam, dan aktif melakukan pengawasan terbukti meningkatkan kualitas pengungkapan ESG. Penelitian Omenihu dkk. (2025) menunjukkan bahwa keberagaman gender di dewan direksi memberikan dampak positif pada transparansi. Kehadiran minimal tiga perempuan di dewan direksi, misalnya, dapat meningkatkan kualitas pelaporan ESG secara signifikan.
Konsep massa kritis menjelaskan bahwa keberadaan perempuan dalam jumlah yang cukup memungkinkan mereka berkontribusi nyata dalam pengambilan keputusan strategis. Sebaliknya, jika jumlah perempuan hanya satu atau dua, keberadaannya cenderung simbolis dan tidak berpengaruh besar terhadap arah kebijakan
Dengan tata kelola yang baik dan representasi gender yang seimbang, perusahaan dapat lebih efektif dalam menanggapi tuntutan regulasi maupun ekspektasi publik. Hal ini pada akhirnya menjadikan ESG bukan hanya instrumen pelaporan, tetapi juga motor penggerak inovasi dan sumber keunggulan kompetitif jangka panjang.
Untuk memaksimalkan peluang sekaligus menghadapi tantangan ESG, perusahaan perlu menempatkan keberlanjutan sebagai bagian inti dari strategi bisnis, bukan sekadar tambahan. Komitmen ini harus tercermin dalam setiap aspek organisasi, mulai dari kebijakan direksi hingga implementasi di lapangan.
Regulator dan pembuat kebijakan juga berperan penting. Regulasi yang konsisten dan insentif bagi perusahaan yang menerapkan ESG secara substansial akan mendorong terciptanya tata kelola bisnis yang inklusif dan berkelanjutan. Beberapa negara di Eropa yang telah menetapkan aturan keterwakilan perempuan di dewan direksi menunjukkan bukti nyata bahwa kebijakan publik mampu mempercepat transformasi menuju tata kelola yang lebih baik.
Tantangan dan peluang dalam penerapan ESG berjalan beriringan di era transparansi. Perusahaan yang gagal menjawab tuntutan keberlanjutan berisiko kehilangan kepercayaan pasar. Namun, bagi perusahaan yang mampu beradaptasi, ESG dapat menjadi landasan bagi reputasi, inovasi, dan daya saing global.
Seperti ditegaskan Omenihu dkk. (2025), tata kelola inklusif dan keberagaman gender dalam dewan direksi berperan penting dalam meningkatkan kualitas pengungkapan ESG. Dengan komitmen yang kuat dan dukungan regulasi yang tepat, ESG bukan hanya instrumen pelaporan, melainkan strategi jangka panjang untuk menciptakan bisnis yang bertanggung jawab, tangguh, dan berdaya saing tinggi.