Isu keberlanjutan bisnis semakin mendapat perhatian dalam dunia usaha modern. Perusahaan kini tidak lagi dinilai hanya dari sisi kinerja finansial, tetapi juga dari sejauh mana mereka mampu mengintegrasikan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) ke dalam strategi bisnis. ESG dipandang sebagai faktor penting yang menentukan keberlanjutan usaha, menjaga reputasi, serta meningkatkan daya saing di tingkat global.
Perubahan paradigma ini sejalan dengan meningkatnya kesadaran pasar, regulator, dan masyarakat terhadap dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas bisnis. Perusahaan yang serius menerapkan ESG lebih dipercaya oleh investor dan mitra bisnis, karena dianggap memiliki komitmen terhadap praktik usaha yang transparan dan bertanggung jawab. Sebaliknya, perusahaan yang mengabaikan ESG berisiko kehilangan dukungan pemangku kepentingan, bahkan menghadapi konsekuensi regulasi.
Sejumlah penelitian menemukan bahwa pengungkapan ESG perusahaan dipengaruhi oleh berbagai faktor internal. Ukuran perusahaan, tingkat profitabilitas, hingga struktur pendanaan (leverage) terbukti berpengaruh terhadap seberapa luas informasi ESG disampaikan kepada publik. Perusahaan besar, misalnya, cenderung lebih aktif dalam pengungkapan karena memiliki sumber daya lebih besar untuk menyusun laporan keberlanjutan dan berada di bawah pengawasan publik yang lebih ketat.
Namun, faktor yang paling menonjol adalah peran tata kelola perusahaan. Dewan direksi yang inklusif, independen, dan beragam dapat meningkatkan kualitas pengungkapan ESG secara signifikan. Penelitian Omenihu, Abdrakhmanova, dan Koufopoulos (2025) menunjukkan bahwa keberagaman gender di dewan direksi berkontribusi pada transparansi ESG, terutama ketika jumlah perempuan mencapai tingkat massa kritis. Artinya, keberagaman dalam kepemimpinan bukan sekadar simbol, tetapi benar-benar menjadi pendorong dalam pengambilan keputusan strategis yang berorientasi pada keberlanjutan.
Dewan direksi yang aktif melakukan pengawasan juga membantu perusahaan lebih tanggap terhadap risiko yang berkaitan dengan lingkungan, sosial, maupun tata kelola. Hal ini sejalan dengan prinsip good governance yang menekankan pentingnya pengawasan efektif sebagai fondasi untuk membangun kepercayaan publik.
Lebih dari sekadar laporan tahunan, ESG mencerminkan komitmen jangka panjang perusahaan. Omenihu dkk. (2025) menegaskan bahwa perusahaan dengan tata kelola inklusif tidak hanya lebih transparan, tetapi juga lebih tangguh dalam menghadapi tekanan regulasi dan ekspektasi masyarakat. Transparansi dalam pengungkapan ESG membantu perusahaan mengurangi risiko reputasi sekaligus memperkuat hubungan dengan investor yang semakin peduli pada keberlanjutan.
Komitmen ini juga tercermin dalam inovasi produk dan layanan. Perusahaan dengan dewan yang beragam cenderung lebih berorientasi pada praktik ramah lingkungan, pengembangan teknologi berkelanjutan, dan program sosial yang memberi dampak positif. Dengan demikian, keberlanjutan tidak lagi dipandang sebagai beban tambahan, melainkan sebagai peluang bisnis yang dapat meningkatkan keunggulan kompetitif.
Meski manfaatnya jelas, implementasi ESG masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu kendala utama adalah kecenderungan sebagian perusahaan memperlakukan ESG hanya sebagai kewajiban formalitas. Akibatnya, laporan yang disajikan sering kali kurang substansial dan tidak mencerminkan praktik nyata di lapangan. Kondisi ini membuat investor kesulitan menilai sejauh mana komitmen perusahaan terhadap keberlanjutan.
Selain itu, terdapat perbedaan konteks antar negara. Penelitian Omenihu dkk. (2025) menunjukkan bahwa di negara maju, pengungkapan ESG didukung oleh regulasi yang kuat serta tuntutan pasar yang tinggi. Sementara itu, di negara berkembang, faktor kelembagaan dan budaya bisnis masih menjadi hambatan utama. Variasi ini menegaskan bahwa strategi penerapan ESG perlu disesuaikan dengan kondisi lokal agar dapat berjalan efektif.
Untuk memperkuat ESG sebagai strategi bisnis, dukungan kebijakan publik sangat diperlukan. Beberapa negara di Eropa bahkan telah mewajibkan perusahaan untuk menyusun laporan keberlanjutan, sekaligus menetapkan kuota keterwakilan perempuan di dewan direksi. Kebijakan semacam ini terbukti mendorong perusahaan lebih serius dalam mengintegrasikan ESG ke dalam tata kelola.
Di Indonesia, meskipun regulasi mengenai laporan keberlanjutan sudah mulai diperkenalkan, implementasinya masih memerlukan pengawasan ketat. Regulasi yang konsisten, disertai dengan insentif bagi perusahaan yang menerapkan ESG dengan baik, dapat menjadi pendorong bagi terciptanya tata kelola bisnis yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, ESG bukan hanya soal memenuhi kewajiban pelaporan, melainkan strategi inti untuk membangun bisnis yang bertanggung jawab dan tangguh menghadapi dinamika global. Perusahaan dengan tata kelola yang beragam, transparan, dan inklusif memiliki peluang lebih besar untuk meraih kepercayaan investor, konsumen, serta regulator.
Seperti ditegaskan oleh Omenihu dkk. (2025), keberagaman dewan direksi dan komitmen pada prinsip tata kelola yang baik terbukti menjadi faktor penting dalam meningkatkan kualitas pengungkapan ESG. Oleh karena itu, perusahaan perlu menempatkan ESG sebagai prioritas utama, bukan sekadar kewajiban tambahan. Dengan cara ini, ESG dapat menjadi motor penggerak inovasi, keunggulan kompetitif, dan keberlanjutan bisnis jangka panjang.