Bayangkan sebuah negara di mana jalan-jalan selalu mulus, sekolah-sekolah tak pernah kekurangan buku, dan rumah sakit menyediakan pelayanan terbaik tanpa memandang status ekonomi. Rasanya seperti utopia? Tidak juga.
Semua itu bukan mustahil terwujud. Syaratnya, setiap warga negara bersedia mengambil peran, sekecil apapun. Di Indonesia, salah satu wujud peran tersebut adalah melalui kepatuhan terhadap pajak, dan langkah paling mendasarnya adalah melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak.
Terlalu sering, SPT dipersepsikan sebagai sekadar formalitas administrasi yang rumit dan menjengkelkan. Namun di balik sederet angka yang harus diisi, terdapat makna mendalam terkait partisipasi warga negara dalam pembangunan.
SPT: Dokumen dengan Dampak Besar
Surat Pemberitahuan Tahunan atau SPT adalah dokumen resmi yang digunakan Wajib Pajak untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak, objek dan bukan objek pajak, serta harta dan kewajiban selama satu tahun pajak. Wajib Pajak orang pribadi maupun badan yang telah memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) diwajibkan untuk mengisi dan menyampaikan SPT setiap tahun.
Kewajiban ini bukan hanya berlaku bagi mereka yang berpenghasilan tinggi atau memiliki usaha besar. Bahkan seorang pekerja lepas (freelancer), pemilik kos-kosan, atau investor saham ritel tetap memiliki kewajiban untuk melaporkan penghasilannya, baik yang telah dipotong pajak maupun belum.
Pelaporan SPT sejalan dengan prinsip self-assessment yang berlaku di sistem perpajakan Indonesia. Prinsipnya, setiap Wajib Pajak (WP) bertanggung jawab atas penghitungan dan pelaporan kewajiban pajaknya secara mandiri.
Di Inggris, misalnya, sistem self-assessment juga digunakan oleh HM Revenue and Customs (HMRC). Di sana, seseorang wajib menyampaikan tax return jika dalam satu tahun ia memiliki penghasilan lebih dari £1.000 sebagai wiraswasta, memperoleh penghasilan dari luar negeri, hingga menerima penghasilan dari sewa properti. Ini menunjukkan bahwa pelaporan pajak adalah praktik yang universal dalam sistem perpajakan modern.
Melaporkan Bukan Selalu Soal Bayar
Salah satu alasan umum mengapa banyak orang enggan lapor SPT adalah asumsi bahwa mereka akan dikenai pajak tambahan atau “disuruh bayar lagi”. Ini adalah kekeliruan yang perlu diluruskan.
Dalam banyak kasus, pelaporan justru menunjukkan bahwa pajak yang dibayar melalui pemotongan pihak ketiga (seperti oleh pemberi kerja) sudah cukup, atau bahkan lebih, sehingga berpotensi mengklaim pengembalian pajak (tax refund).
Lebih jauh lagi, dengan melaporkan SPT, WP bisa:
- Menunjukkan kepatuhan hukum yang baik, yang bisa menjadi prasyarat dalam mengurus kredit, visa, atau administrasi lainnya;
- Mengklaim pengurangan pajak seperti biaya jabatan, iuran pensiun, hingga sumbangan yang diakui sebagai pengurang pajak;
- Mendukung transparansi keuangan pribadi atau perusahaan yang penting bagi audit internal maupun eksternal.
Konsekuensi Tidak Lapor SPT
Lalu bagaimana jika WP tidak melaporkan SPT? Tentu ada sanksi. UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mengatur bahwa keterlambatan pelaporan SPT akan dikenai denda administratif.
Untuk orang pribadi, denda ini sebesar Rp100.000; dan untuk badan, bisa mencapai Rp1 juta. Tapi yang lebih penting daripada sanksi administratif adalah dampak jangka panjang. Wajib Pajak yang tidak patuh bisa menjadi subjek pemeriksaan, atau bahkan penyidikan, apabila ditemukan indikasi penghindaran pajak.
DJP juga bisa menyatakan SPT sebagai tidak dianggap disampaikan, misalnya jika SPT tidak ditandatangani, tidak lengkap, atau disampaikan setelah dilakukan pemeriksaan pajak. Ini berarti seluruh proses pelaporan menjadi batal demi hukum, dan Wajib Pajak dianggap belum memenuhi kewajibannya sama sekali.
Kepatuhan Pajak: Antara Hak dan Tanggung Jawab
Di tengah derasnya arus digitalisasi, pelaporan SPT menjadi semakin mudah. Anda bisa melakukannya secara daring melalui laman DJP Online, tanpa perlu antre di kantor pajak. Sistem yang semakin andal ini memungkinkan pelaporan dilakukan hanya dalam waktu 10–15 menit, selama data telah dipersiapkan dengan baik.
Namun di balik kemudahan ini, perlu juga kita sadari bahwa pelaporan pajak bukan hanya bentuk kepatuhan terhadap negara, tapi juga bentuk penghargaan terhadap hak-hak kita sebagai warga negara.
Setiap rupiah yang kita laporkan adalah bukti bahwa kita ingin negara ini berjalan dengan mekanisme yang adil dan transparan. Ketika semua orang melaporkan dan membayar pajak secara proporsional, maka beban pembangunan dibagi secara merata.
Menuju Indonesia Lebih Baik
Melaporkan SPT mungkin terdengar membosankan, bahkan membingungkan bagi sebagian orang. Tapi di era ketika kontribusi masyarakat dalam pembangungan menjadi nilai yang kian langka, tindakan sederhana ini justru menjadi simbol keberanian. Keberanian untuk berkata bahwa kita ingin berkontribusi, bahwa kita tidak ingin hanya menuntut hak, tetapi juga menjalankan kewajiban.
Jika kita bisa bangga memajang bendera merah putih di depan rumah setiap 17 Agustus, maka kita pun patut bangga telah melaporkan SPT tepat waktu setiap tahun. Karena sejatinya, cinta tanah air bukan hanya soal retorika di lingkungan tempat tinggal, tetapi nyata dalam tindakan kecil yang konsisten dan bertanggung jawab.
Mari lapor SPT sebagai bentuk kepedulian nyata untuk negeri. Bersama, kita bangun Indonesia sebagai tanggung jawab bersama.