Pemerintah resmi meluncurkan Program Paket Ekonomi 2025, salah satu program nya memperluas fasilitas PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) kepada pekerja di sektor hotel, restoran, dan kafe (horeka). Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah sudah menyiapkan pagu anggaran sebesar Rp 120 miliar untuk fasilitas PPh 21 DTP untuk sisa tahun pajak 2025. Airlangga juga menyampaikan fasilitas ini bisa diperpanjang untuk tahun pajak 2026 dengan anggaran Rp480 miliar.
Sebelum berlaku fasilitas bagi Horeka, pemerintah telah meluncurkan insentif PPh 21 DTP bagi karyawan di sektor padat karya melalui PMK 10/2025. Teknisnya pun tetap sama, PPh 21 DTP diberikan bagi pegawai yang memiliki gaji sampai dengan Rp10 juta per bulan. Pemberian fasilitas ini bertujuan untuk meningkatkan take-home pay pegawai di sektor tersebut, serta diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat dalam gelombang PHK.
Insentif pajak bagi pekerja formal meningkatkan take-home pay, menjaga daya beli, dan membantu menahan gelombang pemutusan hubungan kerja saat permintaan turisme dan layanan masih rentan. Namun, di balik niat baik itu terdapat risiko kebijakan yang serius jika desain implementasinya tidak disesuaikan dengan karakter tenaga kerja di sektor ini. Tanpa koreksi, kebijakan berisiko besar menjadi bantuan bagi yang “sudah aman” dan melewatkan mereka yang paling rentan: pekerja informal dan usaha mikro.
Konsep Insentif Fiskal
Dalam buku berjudul Design And Assessment of Tax Incentives in Developing Countries: Selected Issues and A Country Experience (United Nations, 2018) dijelaskan bahwa pemberian insentif pajak memiliki dua tujuan utama. Pertama, secara tradisional insentif pajak dipakai pemerintah sebagai instrumen untuk mencapai sasaran ekonomi tertentu; kedua, insentif itu berupa perlakuan pajak preferensial (preferential tax treatments) yang diberikan kepada kelompok pembayar pajak tertentu.
Insentif pajak yang diberikan pemerintah juga dapat dikategorikan sebagai bagian dari kebijakan tax expenditure. Menurut Bratić (2006, hlm. 116), tax expenditures umumnya terbagi menjadi dua: pengurangan basis pemajakan dan pengurangan kewajiban pajak. Bentuk-bentuk tax expenditure ini sesungguhnya merupakan wujud dari pengeluaran pemerintah secara tidak langsung sebuah alternatif dibandingkan direct spending seperti subsidi, hibah, atau bantuan yang disalurkan langsung kepada kelompok tertentu.
Secara prinsip, logika kebijakan ini masuk akal. Menanggung PPh 21 meningkatkan take-home pay pekerja formal sehingga membantu menjaga daya beli dan menahan gelombang PHK ketika permintaan pariwisata masih rapuh. Skema serupa (wage subsidies) memang terbukti efektif menahan pemutusan hubungan kerja di sejumlah negara selama krisis. Namun, niat baik itu mesti diuji dengan realitas pasar tenaga kerja subsektor horeka agar bantuan tidak berakhir sebagian besar dinikmati mereka yang sudah relatif aman sementara pekerja paling rentan tetap terlewat.
Desain PPh DTP Bagi Horeka Tidak Tepat Sasaran
Argumen utama mengapa desain sekarang berisiko kurang tepat sasaran adalah mayoritas pegawai yang bekerja di sektor Horeka merupakan bukan pegawai formal. Mekanisme pemotongan PPh 21 bergantung pada pemberi upah sebagai pihak ketiga dalam memotong pajak atas penghasilanya. Sementara itu, mayoritas sektor Horeka ditempati oleh pegawai informal. Indonesia masih menghadapi tingkat informalitas yang tinggi sehingga banyak pekerja horeka seperti pekerja harian, pedagang kaki lima, freelancer event, pengantar makanan bermitra, dan sejenisnya bekerja tanpa jalur payroll formal. Bila pemerintah berniat memberikan insentif kepada pegawai Horeka hanya lewat mekanisme pajak, cakupannya akan bias ke pekerja hotel besar dan restoran formal, bukan kepada garis depan pekerja yang pendapatannya paling rentan.
Indonesia menghadapi tingkat informalitas tenaga kerja yang sangat tinggi. menurut World Bank (2023), hampir empat dari lima pekerja termasuk kategori pekerja informal menurut ukuran ILO, sementara proporsi self-employment naik dari 49.9% pada 2019 menjadi 53.4% pada 2020 yang membuat mekanisme berbasis payroll sulit menjangkau mayoritas pekerja Horeka. Jutaan unit usaha mikro dan pelaku usaha informal yang tidak memiliki sistem pengupahan formal, sehingga mekanisme administrasi pajak akan sulit menjangkau kelompok ini tanpa jalur tambahan.
Berbagai studi tentang pariwisata informal dan pedagang kaki lima menunjukkan bahwa sektor hospitality/tourism (Horeka) di Indonesia sangat didominasi oleh usaha mikro dan pekerja informal. World Bank (2023) menemukan tingginya proporsi pekerjaan informal dan fragmentasi unit usaha di destinasi wisata, sementara studi lapangan di Bali serta penelitian tentang pekerja gig dan pedagang kaki lima menegaskan banyak pelaku pekerja musiman, pedagang jalanan, pengantar makanan bermitra, dan penyelenggara acara kecil beroperasi di luar jalur payroll formal.
Akibatnya kebijakan yang mengandalkan pemotongan PPh 21 lewat pemberi upah berisiko melewatkan kelompok ini, sehingga desain yang efektif perlu melengkapi instrumen pajak dengan mekanisme non-pajak seperti transfer tunai, voucher, atau subsidi upah untuk memastikan inklusivitas (Pratomo et al., 2024).
Tanpa kriteria selektif program ini berisiko menimbulkan deadweight loss dan ditangkap oleh pihak yang kurang membutuhkan. Fasilitas yang awalnya diperuntukan bagi masyarakat rentan berubah menjadi subsidi kepada kelas menengah yang dinikmati pekerja formal di industri Horeka besar. Sementara pekerja harian dan pekerja gig yang paling rentan tetap terlewat.
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa agar inklusivitas tercapai diperlukan kombinasi alat mis. wage subsidy yang tepat desainnya disertai cash transfer atau voucher karena instrumen fiskal berbasis formalitas saja sering gagal menjangkau pekerja gig dan harian yang paling rentan (World Bank, 2025; Bastagli et al., 2016; Baird et al., 2018).
Dari bukti empiris, kebijakan yang efektif menggabungkan dua jalur. Fasilitas pajak melalui PPh 21 DTP dan jalur non-pajak untuk informal melalui pemberian bantuan sosial. Program hybrid ini mengurangi risiko eksklusi dan memperkecil deadweight loss.
PPh 21 DTP untuk horeka merupakan respons cepat pemerintah yang patut diapresiasi tapi bukan jawaban terakhir. Kegagalan merancang skema yang inklusif tidak hanya mengurangi efektivitas anggaran, tetapi juga melewatkan kesempatan untuk memulihkan rantai nilai pariwisata secara adil dan berkelanjutan