Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Sabtu, 20 September 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
    Pratama-Kreston Tax Research Center
    • Konsultasi
    • ESG
    • Insight
      • Buletin
      • In-depth
      • Working Paper
    • Analisis
      • Artikel
      • Opini
      • Infografik
    • Publikasi
      • Buku
      • Jurnal
      • Liputan Media
    • Jasa Kami
      • Annual Report
      • Sustainability Report
      • Assurance Sustainability Report
      • Kajian Kebijakan Fiskal
      • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
      • Penyusunan Naskah Akademik
      • Analisis Ekonomi Makro
      • Survei
        • Survei Objek Pajak Daerah
        • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
        • Survei Kepuasan Masyarakat
      • Konsultasi Pajak Komprehensif
    • Tentang Kami
      • Kontak Kami
    • INDONESIA
      Pratama-Kreston Tax Research Institute
      No Result
      View All Result

      PPh 21 DTP Horeka, Solusi Cepat Tapi Tidak Tepat Sasaran

      Muhamad Akbar AditamabyMuhamad Akbar Aditama
      19 September 2025
      in Artikel
      Reading Time: 4 mins read
      132 1
      A A
      0
      152
      SHARES
      1.9k
      VIEWS
      Share on FacebookShare on Twitter

      Pemerintah resmi meluncurkan Program Paket Ekonomi 2025, salah satu program nya  memperluas fasilitas PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) kepada pekerja di sektor hotel, restoran, dan kafe (horeka). Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah sudah menyiapkan pagu anggaran sebesar Rp 120 miliar untuk fasilitas PPh 21 DTP untuk sisa tahun pajak 2025. Airlangga juga menyampaikan fasilitas ini bisa diperpanjang untuk tahun pajak 2026 dengan anggaran Rp480 miliar.

      Sebelum berlaku fasilitas bagi Horeka, pemerintah telah meluncurkan insentif PPh 21 DTP bagi karyawan di sektor padat karya melalui PMK 10/2025. Teknisnya pun tetap sama, PPh 21 DTP diberikan bagi pegawai yang memiliki gaji sampai dengan Rp10 juta per bulan.  Pemberian fasilitas ini bertujuan untuk meningkatkan take-home pay pegawai di sektor tersebut, serta diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat dalam gelombang PHK.

      Insentif pajak bagi pekerja formal meningkatkan take-home pay, menjaga daya beli, dan membantu menahan gelombang pemutusan hubungan kerja saat permintaan turisme dan layanan masih rentan. Namun, di balik niat baik itu terdapat risiko kebijakan yang serius jika desain implementasinya tidak disesuaikan dengan karakter tenaga kerja di sektor ini. Tanpa koreksi, kebijakan berisiko besar menjadi bantuan bagi yang “sudah aman” dan melewatkan mereka yang paling rentan: pekerja informal dan usaha mikro.

      Konsep Insentif Fiskal

      Dalam buku berjudul Design And Assessment of Tax Incentives in Developing Countries: Selected Issues and A Country Experience (United Nations, 2018) dijelaskan bahwa pemberian insentif pajak memiliki dua tujuan utama. Pertama, secara tradisional insentif pajak dipakai pemerintah sebagai instrumen untuk mencapai sasaran ekonomi tertentu; kedua, insentif itu berupa perlakuan pajak preferensial (preferential tax treatments) yang diberikan kepada kelompok pembayar pajak tertentu.

      Insentif pajak yang diberikan pemerintah juga dapat dikategorikan sebagai bagian dari kebijakan tax expenditure. Menurut Bratić (2006, hlm. 116), tax expenditures umumnya terbagi menjadi dua: pengurangan basis pemajakan dan pengurangan kewajiban pajak. Bentuk-bentuk tax expenditure ini sesungguhnya merupakan wujud dari pengeluaran pemerintah secara tidak langsung sebuah alternatif dibandingkan direct spending seperti subsidi, hibah, atau bantuan yang disalurkan langsung kepada kelompok tertentu.

      Secara prinsip, logika kebijakan ini masuk akal. Menanggung PPh 21 meningkatkan take-home pay pekerja formal sehingga membantu menjaga daya beli dan menahan gelombang PHK ketika permintaan pariwisata masih rapuh. Skema serupa (wage subsidies) memang terbukti efektif menahan pemutusan hubungan kerja di sejumlah negara selama krisis. Namun, niat baik itu mesti diuji dengan realitas pasar tenaga kerja subsektor horeka agar bantuan tidak berakhir sebagian besar dinikmati mereka yang sudah relatif aman sementara pekerja paling rentan tetap terlewat.

      Desain PPh DTP Bagi Horeka Tidak Tepat Sasaran

      Argumen utama mengapa desain sekarang berisiko kurang tepat sasaran adalah mayoritas pegawai yang bekerja di sektor Horeka merupakan bukan pegawai formal. Mekanisme pemotongan PPh 21 bergantung pada pemberi upah sebagai pihak ketiga dalam memotong pajak atas penghasilanya. Sementara itu, mayoritas sektor Horeka ditempati oleh pegawai informal. Indonesia masih menghadapi tingkat informalitas yang tinggi sehingga banyak pekerja horeka seperti pekerja harian, pedagang kaki lima, freelancer event, pengantar makanan bermitra, dan sejenisnya bekerja tanpa jalur payroll formal. Bila pemerintah berniat memberikan insentif kepada pegawai Horeka hanya lewat mekanisme pajak, cakupannya akan bias ke pekerja hotel besar dan restoran formal, bukan kepada garis depan pekerja yang pendapatannya paling rentan.

      Indonesia menghadapi tingkat informalitas tenaga kerja yang sangat tinggi. menurut World Bank (2023), hampir empat dari lima pekerja termasuk kategori pekerja informal menurut ukuran ILO, sementara proporsi self-employment naik dari 49.9% pada 2019 menjadi 53.4% pada 2020 yang membuat mekanisme berbasis payroll sulit menjangkau mayoritas pekerja Horeka. Jutaan unit usaha mikro dan pelaku usaha informal yang tidak memiliki sistem pengupahan formal, sehingga mekanisme administrasi pajak akan sulit menjangkau kelompok ini tanpa jalur tambahan.

      Berbagai studi tentang pariwisata informal dan pedagang kaki lima menunjukkan bahwa sektor hospitality/tourism (Horeka) di Indonesia sangat didominasi oleh usaha mikro dan pekerja informal. World Bank (2023) menemukan tingginya proporsi pekerjaan informal dan fragmentasi unit usaha di destinasi wisata, sementara studi lapangan di Bali serta penelitian tentang pekerja gig dan pedagang kaki lima menegaskan banyak pelaku pekerja musiman, pedagang jalanan, pengantar makanan bermitra, dan penyelenggara acara kecil beroperasi di luar jalur payroll formal.

      Akibatnya kebijakan yang mengandalkan pemotongan PPh 21 lewat pemberi upah berisiko melewatkan kelompok ini, sehingga desain yang efektif perlu melengkapi instrumen pajak dengan mekanisme non-pajak seperti transfer tunai, voucher, atau subsidi upah untuk memastikan inklusivitas (Pratomo et al., 2024).

      Tanpa kriteria selektif program ini berisiko menimbulkan deadweight loss dan ditangkap oleh pihak yang kurang membutuhkan. Fasilitas yang awalnya diperuntukan bagi masyarakat rentan berubah menjadi subsidi kepada kelas menengah yang dinikmati pekerja formal di industri Horeka besar. Sementara pekerja harian dan pekerja gig yang paling rentan tetap terlewat.

      Pengalaman internasional menunjukkan bahwa agar inklusivitas tercapai diperlukan kombinasi alat mis. wage subsidy yang tepat desainnya disertai cash transfer atau voucher karena instrumen fiskal berbasis formalitas saja sering gagal menjangkau pekerja gig dan harian yang paling rentan (World Bank, 2025; Bastagli et al., 2016; Baird et al., 2018).

      Dari bukti empiris, kebijakan yang efektif menggabungkan dua jalur. Fasilitas pajak melalui PPh 21 DTP dan jalur non-pajak untuk informal melalui pemberian bantuan sosial. Program hybrid ini mengurangi risiko eksklusi dan memperkecil deadweight loss.

      PPh 21 DTP untuk horeka merupakan respons cepat pemerintah  yang patut diapresiasi tapi bukan jawaban terakhir. Kegagalan merancang skema yang inklusif tidak hanya mengurangi efektivitas anggaran, tetapi juga melewatkan kesempatan untuk memulihkan rantai nilai pariwisata secara adil dan berkelanjutan

      author avatar
      Muhamad Akbar Aditama
      Tax Policy Analyst Pratama-Kreston Tax Research Institute
      See Full Bio
      Tags: HorekaPPh 21 DTPSektor Informal
      Share61Tweet38Send
      Previous Post

      Sengketa Pajak dalam Transfer Pricing

      Muhamad Akbar Aditama

      Muhamad Akbar Aditama

      Tax Policy Analyst Pratama-Kreston Tax Research Institute

      Related Posts

      Artikel

      Sengketa Pajak dalam Transfer Pricing

      18 September 2025
      Reformasi Pajak Mengakhiri Strategi Berburu di Kebun Binatang
      Artikel

      Mengakhiri Strategi ‘Berburu di Kebun Binatang’ di Sistem Pajak

      16 September 2025
      Artikel

      In Accordance dan With Reference dalam GRI Standards

      12 September 2025
      #image_title
      Analisis

      Benarkah Gaji ASN dan DPR Bebas Potongan Pajak?

      12 September 2025
      Pajak dan Kontrak Sosial
      Artikel

      Kebijakan Pajak dan Kontrak Sosial

      10 September 2025
      Artikel

      Dampak ESG terhadap Nilai Perusahaan dan Implikasinya bagi Indonesia

      8 September 2025

      Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

      Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

      Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

      Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

      Konsultasikan kepada ahlinya!

      MULAI KONSULTASI

      Popular News

      • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

        1480 shares
        Share 592 Tweet 370
      • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

        1009 shares
        Share 404 Tweet 252
      • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

        959 shares
        Share 384 Tweet 240
      • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

        820 shares
        Share 328 Tweet 205
      • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

        777 shares
        Share 311 Tweet 194
      Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

      Pratama Institute

      Logo Pratama Indomitra
      • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
      • Phone : (021) 2963 4945
      • [email protected]
      • pratamaindomitra.co.id

      Welcome Back!

      Login to your account below

      Forgotten Password?

      Retrieve your password

      Please enter your username or email address to reset your password.

      Log In

      Add New Playlist

      No Result
      View All Result
      • Konsultasi
      • ESG
      • Insight
        • Buletin
        • In-depth
        • Working Paper
      • Analisis
        • Artikel
        • Opini
        • Infografik
      • Publikasi
        • Buku
        • Jurnal
        • Liputan Media
      • Jasa Kami
        • Annual Report
        • Sustainability Report
        • Assurance Sustainability Report
        • Kajian Kebijakan Fiskal
        • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
        • Penyusunan Naskah Akademik
        • Analisis Ekonomi Makro
        • Survei
        • Konsultasi Pajak Komprehensif
      • Tentang Kami
        • Kontak Kami

      © 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.