Oleh: Lambang Wiji Imantoro
Jabatan: Tax Policy Analyst di Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies
Wacana kebijakan pajak saat ini menjadi isu yang populis bagi ketiga Calon Presiden-Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) pada pemilu 2024. Belum lama ini, para Capres telah mempublikasikan visi misi dan rencana programnya masing-masing. Salah satu isu yang diangkat oleh ketiga Capres adalah mengenai kebijakan pajak.
Dikutip dari APBN KITA (Oktober 2023), sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tanggal 21 September 2023 telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2024 menjadi Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2024.
Pengesahan undang-undang tersebut dilakukan setelah melalui proses pembahasan yang transparan dan sangat kostruktif. Pemerintah dan semua fraksi DPR memiliki kesepahaman bahwa APBN tahun 2024 tetap harus menjadi instrumen kebijakan yang dapat diandalkan. Kebijakan dimaksud menjadi senjata untuk menghadapi gejolak ekonomi dan mendukung agenda pembangunan termasuk pelaksanaan Pemilu serentak pada tahun 2024.
Target Pendapatan Negara dalam APBN tahun 2024 direncanakan sebesar Rp2.802,29 triliun, yang bersumber terutama dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp2.309,86 triliun. Dengan demikian, usaha pemerintah untuk terus pulih dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi merupakan salah satu sasaran media kampanye para Capres.
Oleh karena itu, menarik untuk ditilik lebih jauh apa rencana kebijakan dari ketiga Capres yang bertarung pada pemilu 2024 mendatang. Khususnya, mengenai kebijakan pajak yang akan mereka usung jika nantinya terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode 2024-2029.
Anies – Muhaimin: Pembentukan Badan Penerimaan Negara hingga Menaikkan Rasio Penerimaan Pajak
Di dalam dokumen ‘Indonesia Adil Makmur untuk Semua’, sebagai dokumen visi misi dan program kerja pasangan Capres dan Cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, salah satu visi misi yang dibahas adalah kebijakan pajak yang diusung jika mereka terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada pemilu 2024.
Pasangan yang mengusung nama Koalisi Perubahan ini berkeinginan untuk membangun lembaga pajak yang berintegritas dan akuntabel melalui pembagian kewenangan yang harmonis antarinstansi. Guna mewujudkannya, pasangan yang akrab disebut “AMIN” ini akan membentuk Badan Penerimaan Negara, posisinya langsung di bawah komando presiden.
“Merealisasikan badan penerimaan negara langsung di bawah Presiden adalah untuk memperbaiki integritas dan koordinasi antarinstansi guna menaikkan penerimaan negara”, dikutip dari Dokumen Visi Misi Indonesia Adil Makmur untuk Semua.
Jika demikian, peran untuk mengumpulkan penerimaan negara yang selama ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak lagi berada di bawah Kementerian Keuangan, melainkan langsung di bawah naungan Presiden.
Selain itu, AMIN juga akan memastikan bahwa seluruh kebijakan insentif pajak, termasuk tax allowance dan tax holiday, akan dilaksanakan secara terencana dan terkendali. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan manfaat ekonomi yang optimal dengan meminimalisasi risiko fiskal.
AMIN juga turut menyinggung rencana implementasi nilai ekonomi karbon melalui penerapan Pajak Karbon dan penerapan sistem perdagangan karbon yang inklusif, seperti yang telah direncanakan oleh Presiden Joko Widodo. AMIN juga berjanji akan merancang instrumen fiskal lainnya dalam memastikan penurunan emisi dan efek rumah kaca.
Untuk sektor agraria, AMIN mengusung kebijakan hingga regulasi perpajakan yang berkeadilan dan tidak membebani masyarakat, terutama terkait penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Tak hanya itu, AMIN juga bercita-cita akan meningkatkan penerimaan negara melalui perluasan basis dan perbaikan kepatuhan pajak. Mereka berjanji menaikkan rasio pajak dari 10,4 persen pada 2022 menjadi 13,0 persen-16,0 persen pada 2029.
Prabowo – Gibran : Menurunkan Kebijakan Tarif PPh Pasal 21 hingga Membebaskan Pajak Untuk UMKM
Capres Prabowo dan Cawapres-nya Gibran mengusung perubahan besar bagi sistem perpajakan di Indonesia. Pasangan yang menamai koalisinya dengan nama “Koalisi Indonesia Maju” ini akan menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan berjanji akan menurunkan tarif PPh Pasal 21 jika terpilih.
“Menaikkan batas PTKP dan menurunkan tarif PPh Pasal 21 untuk mendorong aktivitas ekonomi dalam rangka menaikkan rasio pajak”, hal ini sebagaimana dikutip dari dokumen Visi Misi Indonesia Maju.
Seperti yang diketahui pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 101 Tahun 2016 mengenai Penyesuaian PTKP, besaran PTKP bagi wajib pajak orang pribadi berstatus tidak kawin dan tanpa tanggungan masih sebesar Rp54 juta/tahun atau Rp4,5 juta/bulan.
Serupa dengan AMIN, pasangan Prabowo dan Gibran juga berencana mendirikan Badan Penerimaan Negara. Dalam hal ini, DJP dan Direktorat Jenderal Bea Cukai akan dipisahkan dari Kementerian Keuangan.
Prabowo-Gibran juga berjanji akan mencegah kebocoran pendapatan negara dan pajak dari sektor sumber daya alam dan komoditas bahan mentah. Keduanya akan menghentikan praktik manipulasi dalam pelaporan kegiatan ekspor dan juga mewajibkan pengolahan bahan mentah dilakukan di dalam negeri (hilirisasi).
Tak hanya itu, Prabowo dan Gibran juga berjanji akan membebaskan pajak untuk UMKM baru. Kriteria penerimanya yaitu UMKM baru berdiri dan terdaftar secara resmi. Pembebasan pajak dilakukan untuk dua tahun pertama sejak pendirian. Jika terpilih, keduanya berencana melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi reformasi perpajakan sehingga dapat menjadi stimulan bagi dunia usaha. Kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing dan investasi di sektor riil.
Guna mendorong penerbitan buku di dalam negeri, Prabowo-Gibran akan memberikan insentif penghapusan Pajak Pertambahan Nilai untuk semua jenis buku. Selain itu, keduanya mengusulkan untuk menjadikan pajak atas royalti buku menjadi bersifat final.
Ganjar – Mahfud : Efisiensi Pembayaran Pajak hingga Reformasi Perpajakan
Pada acara bertajuk “Mapping the Legacy, Navigating The Future” tanggal 24 Oktober 2023 di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta, Capres Ganjar Pranowo buka suara mengenai sistem perpajakan Indonesia. Menurutnya, sistem perpajakan Indonesia masih jauh dari kata ideal, baik dari segi pembayaran pajak hingga dilihat dari sikap para petugasnya. Dirinya menyoroti sikap para petugas pajak yang terus saja mengejar pajak meskipun para wajib pajak telah menjalankan kewajiban perpajakannya.
Selain itu, Ganjar juga beranggapan bahwa selama ini pembayaran pajak masih sulit. Menurutnya, banyak wajib pajak yang kesulitan untuk memahami bahasa dan aturan yang disampaikan oleh DJP.
Untuk itu, dalam usulan kebijakan perpajakan, Ganjar mengusung ide mengenai reformasi perpajakan mulai dari regulasi, sistem, hingga kelembagaan. Dalam hal ini, DJP wajib diisi oleh orang-orang yang berdedikasi serta penuh integritas. Ganjar meyakini bahwa hal tersebut dibutuhkan dalam upaya memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.
Ganjar juga turut mengkritisi kebiasaan pihak DJP dalam menghimpun pajak. DJP dianggap mengejar pungutan pajak dari wajib pajak sementara yang bersangkutan telah menjalankan kewajiban perpajakannya. Bahkan menurutnya, beberapa di antaranya telah menjadi peserta Tax Amnesty dalam arti telah melakukan permohonan pengampunan pajak.