Kontan.co.id | 20 September 2024
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Sebanyak 6 juta data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) diduga bocor dan diperjualbelikan dengan harga sekitar Rp 150 juta. Hal itu berdampak pada penurunan kepercayaan wajib pajak sehingga berpotensi menurunkan penerimaan negara.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, mengatakan ketika data Wajib Pajak bocor ke publik karena pembobolan hacker, kepercayaan Wajib Pajak pasti akan terdampak signifikan.
Hal itu karena ada dugaan kelalaian pejabat pemerintah yang tidak mampu menjaga kerahasiaan data Wajib Pajak, dimana kerahasiaan data Wajib Pajak itu dilindungi UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
“Terlebih lagi, sanksi pidana dapat dijatuhkan untuk pejabat yang lalai menjaga kerahasiaan data wajib Pajak,” jelas Prianto kepada Kontan, Jumat (20/9).
Secara khusus, Pasal 41 UU KUP telah menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain. Tujuannya adalah agar Wajib Pajak tidak ragu-ragu di dalam memberikan data dan keterangan sebagai bentuk kepatuhan terhadap Undang-Undang Perpajakan.
Dari ketentuan tersebut memungkinkan sanksi pidana diberikan bagi pejabat yang menyebabkan terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut. Penyebabnya bisa berupa kealpaan yang berarti lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga data wajib pajak bocor dan tidak rahasia lagi.
Prianto menjelaskan salah satu tantangan bagi Indonesia pada saat ini adalah kepercayaan publik. Menurutnya tata kelola pemerintah yang baik itu bermuara pada public trust dari masyarakat kepada pemerintah. Untuk konteks perpajakan, public trust dari Wajib Pajak menjadi esensial agar tercipta voluntary compliance (kepatuhan sukarela), atau bahkan cooperative compliance (kepatuhan koperatif).
Prianto melihat adanya kebocoran data wajib pajak ini dapat membuat pemungutan pajak ke depannya akan menurun atau semakin menantang. Alasannya adalah karena distrust atau ketidakpercayaan ajib pajak pada otoritas pajak. Wajib pajak dapat beranggapan bahwa pejabat pajak patut diduga lalai sehingga hacker dapat membocorkan data wajib pajak yang seharusnya rahasia dan dilindungi oleh UU KUP.
“Kasus serupa tidak pernah terjadi sebelumnya, untuk saat ini kerugian negara berkaitan dengan kepercayaan yang menurun dan sebagai konsekuensinya, potensi penurunan penerimaan dapat terjadi, memang saat ini belum bisa dihitung potensi kerugian karena DJP masih mendeteksi kasus tersebut,” ujarnya.
Menurut Prianto, pemerintah harus segera menuntaskan investigasi kebocoran data wajib pajak tersebut secepat mungkin, sebelum peluncuran CTAS (Core tax administration system). Tujuannya adalah agar ada perbaikan segera untuk cyber security yang ada di CTAS yang akan segera diberlakukan di akhir Desember 2024.
Sebagai informasi, ada dugaan sebanyak 6 juta data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bocor dan diperjualbelikan dengan harga sekitar Rp 150 juta. Terdapat sejumlah data yang bocor dari sejumlah tokoh penting.
Mulai dari Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto hingga Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan.
Laporan kebocoran data ini pertama kali diungkap oleh akun X, Teguh Aprianto dengan akun @secgron. Teguh sendiri bukan merupakan orang sembarangan. Pasalnya, dirinya merupakan konsultan keamanan siber yang berbasis di Jakarta.
“Sebanyak 6 juta data NPWP diperjualbelikan dengan harga sekitar Rp 150 juta. Data yang bocor diantaranya NIK, NPWP, alamat, no Hp, email, dll,” tulis Teguh dalam akun X pribadinya, dikutip Rabu (18/9).
Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul “Kebocoran Data NPWP Dinilai Berpotensi Turunkan Penerimaan Negara” melalui laman berikut
https://nasional.kontan.co.id/news/kebocoran-data-npwp-dinilai-berpotensi-turunkan-penerimaan-negara