Kontan.co.id | 10 Oktober 2024
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% bakal diimplementasikan pada Januari 2025. Namun, belakangan ini muncul wacana dari pemerintah untuk menunda kenaikan tersebut.
Pengamat menilai bahwa isu PPN 12% ini masih menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak.
Prianto Budi Saptono, pengamat sekaligus Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, mengatakan, titik masalahnya ada di perbedaan sudut pandang. Menurutnya, perdebatan mengenai PPN 12% dan rencana penurunan tarif PPh badan akan selalu memunculkan pendapat yang berbeda.
Prianto menjelaskan bahwa sumber penerimaan tambahan dari pajak yang dapat diperoleh secara cepat pada tahun pertama berasal dari penerimaan PPh Badan 2024 dan PPh Pasal 21 Desember 2024.
Semua wajib pajak badan harus menghitung, menyetor, dan melapor SPT PPh Pasal 21 untuk masa Desember 2024 pada bulan Januari 2025, dengan batas penyetoran paling lambat 10 Januari 2025.
“Banyak WP Badan melaporkan SPT PPh badan 2024 di April 2025. Dengan demikian, penyetoran PPh kurang bayar tahunan (PPh Pasal 29) harus dilakukan sebelum lapor SPT,” jelasnya.
Sebelumnya, pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto berencana untuk mengejar ratusan pengemplang pajak yang telah menyebabkan negara kehilangan potensi penerimaan hingga Rp 300 triliun.
Prabowo dilaporkan memiliki daftar 300 pengusaha, terutama dari sektor perkebunan kelapa sawit, yang belum memenuhi kewajiban pajak mereka.
Menanggapi hal ini, Prianto menyatakan bahwa upaya memburu pengemplang pajak tidak akan memberikan tambahan penerimaan yang signifikan di tahun pertama. Penentuan status wajib pajak sebagai pengemplang pajak harus melalui proses peradilan, baik administrasi di Pengadilan Pajak maupun Mahkamah Agung.
Selain itu, penegakan hukum pidana pajak juga memerlukan proses panjang yang melibatkan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Kasasi di Mahkamah Agung.
Prianto menekankan bahwa cara cepat untuk mendapatkan dana dari pengemplang pajak tanpa proses litigasi adalah melalui program amnesti pajak atau pengungkapan sukarela (PPS).
Kedua program ini memiliki logika dasar yang sama, yaitu Offshore Voluntary Disclosure Program (OVDP).
“Kebanyakan pengemplang pajak itu menyimpan dananya di luar negeri. Naskah akademik RUU yang melandasi OVDP mengungkap fakta yang sama, yaitu ‘offshore tax evasion’,” ungkapnya.
Di sisi lain, Prianto menambahkan bahwa potensi penerimaan Rp 300 triliun dari bisnis sawit belum tentu dapat terealisasi menjadi penerimaan pajak. Proses penghitungan dan penagihan pajak harus mengikuti ketentuan undang-undang.
Jika dilakukan melalui proses normal, kantor pajak harus melakukan pemeriksaan. Jika wajib pajak tidak setuju dengan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), mereka dapat mengajukan proses litigasi.
“Jadi, tidak bisa cepat proses penentuan potensi hingga realisasi penerimaan pajak,” tutupnya.
Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul “Muncul Isu Penundaan Kenaikan PPN 12% pada Januari 2025, Ini Kata Pengamat” melalui laman berikut:
https://nasional.kontan.co.id/news/muncul-isu-penundaan-kenaikan-ppn-12-pada-januari-2025-ini-kata-pengamat?page=all