Bisnis, JAKARTA – Potensi penerimaan dari implementasi aturan pajak kenikmatan atau natura memang menggiurkan. Namun, sejumlah polemik berpotensi muncul seiring pelaksanaan pajak dilaksanakan.
Aturan pajak natura melahirkan problematika baru bagi wajib pajak lantaran adanya ketidakselarasan regulasi. PMK 66/2023 memberikan pengecualian atas natura yang diterima pada 2022. Sedangkan dua regulasi yang lebih tinggi yakni UU No.7/2021 dan PP No. 5/2022 mengamanatkan adanya mekanisme self assessment atas natura yang diterima pada 2022.
Kondisi ini diprediksi menciptakan ketidakpastian bagi wajib pajak dan mengarah ke pelanggaran konstitusi karena regulasi dengan tingkat lebih rendah mengangkangi aturan yang lebih tinggi.
Pengamat Pajak DDTC Bawono Kristiaji, mengatakan luasnya cakupan objek PPh menjadi tantangan, terlebih model pemberian natura tiap pemberi kerja bervariasi.
Selain itu, UU HPP dan PP No. 55/2022 mengamanatkan implementasi pajak natura sejak 2022 melalui mekanisme self assessment. Namun, PMK No. 66/2023 mengecualikan natura yang diberikan pada tahun lalu.
“Lantas, bagaimana perlakuan PPh natura yang telah disetor dan dilaporkan dalam SPT 2022? Ada isu administrasi yang perlu diperjelas,” ujarnya.
Sementara itu, beberapa kendala yang berisiko menjadi pengganjal. Di antaranya dari sisi administrasi, efektivitas mekanisme self assessment, dan penggerusan ekonomi.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menilai pajak natura yang diatur di PMK 66/2023 berkaitan dengan objek pemotongan PPh Pasal 21. Jadi, pengenaan pajaknya dilakukan oleh perusahaan selaku pemberi kerja. Dgn cara demikian, pemerintah tidak perlu mengawasi seluruh pekerja yang mendapatkan imbalan berupa natura/kenikmatan.
Berdasarkan rilis Kemenkeu tentang kinerja penerimaan pajak Jan-Mei 2023 di Juni 2023 lalu, porsi penerimaan PPh 21 sekitar 11,1% dari total penerimaan pajak Jan-Mei 2023 Rp 839,29 triliun. Porsi tersebut setara dengan Rp 93,16 triliun. Jika target pajak di APBN 2023 sebesar Rp 2.021,22 triliun, kontribusi PPh 21 di 2023 diharapkan akan sebesar Rp224,35 triliun.
Lebih jauh, PMK 66/2023 ini punya 52 halaman yang terdiri atas 20 pengaturan dan 32 lampiran dengan banyak pengaturan tambahan yang lebih teknis.
“Ketika peraturan semakin rinci, muncul kompleksitas dan kerumitan sehingga masyarakat membutuhkan waktu untuk memahami isi aturan tersebut,” katanya.
Menurutnya, ketika aturan semakin kompleks karena harus mengakomodasi banyak hal, akan muncul ambivalensi. Bentuknya adalah dampak yang bertolak belakang.
Di satu sisi, aturan baru tersebut dapat meningkatkan penerimaan pajak dan meminimalkan perilaku tax avoidance. Di sisi lain, aturan baru tersebut dapat meningkatkan biaya kepatuhan bagi pemberi kerja dan pekerja.
Ketika tidak ada negosiasi ulang antara pekerja dan pemberi kerja atas pemotongan PPh dan siapa yang menanggung pajak, take-home pay pegawai akan berkurang. Misalnya, Badu sebagai manajer di PT X menerima gaji Rp 20 juta, fasilitas kendaraan dinas dan rumah dinas yang disewa masing-masing senilai Rp 5 juta per bulan.
Jika diasumsikan tarif PPh-nya 10%, sebelum aturan baru pajak natura, PPh yang harus ditanggung Badu sebesar Rp 2 juta (2% x Rp 20juta) sehingga take-home pay Badu senilai Rp 18 juta. Dengan aturan baru, PPh-nya menjadi Rp 3 juta = 10% x (20 juta + 5 juta + 5 juta). Take-home pay Badu menjadi Rp 17 juta. Kondisi demikian dapat menurunkan daya beli pekerja.
Biaya kepatuhan lainnya terjadi di dalam penentuan proporsi nilai imbalan atas kenikmatan ketika fasilitas digunakan ramai-ramai oleh pegawai. Kondisi demikian mengharuskan pemberi kerja membuat catatan khusus durasi setiap pegawai mendapatkan imbalan berupa fasilitas/kenikmatan yang menjadi objek pajak.
Terpisah, Direktur Program Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, menambahkan penggalian potensi yang menyasar karyawan memiliki konsekuensi berat.
Menurutnya, pemerintah perlu mengoptimalisasi pajak progresif dengan menyasar wajib pajak nonkaryawan yang memiliki daya beli lebih kuat.
“Ini berdampak pada daya beli. Kenaikan harusnya pada pajak progresif, jadi yang menanggung orang berpendapatan besar,” katanya
Artikel ini telah tayang di bisnisindonesia.id dengan judul “Potensi Polemik Pajak Natura” dengan tautan berikut :
https://bisnisindonesia.id/article/potensi-polemik-pajak-natura