Bisnis.com | 24 November 2024
Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menerapkan pajak pertambahan nilai alias PPN menjadi 12% mulai 2025 sejatinya dalam rangka menambah penerimaan negara. Alih-alih menggemukkan kas negara, ekonom menilai kebijakan tersebut justru akan mendatangkan kerugian.
Direktur Riset Bidang Makroekonomi dan Kebijakan Fiskal Moneter Center Of Reform on Economics (Core) Indonesia Akhmad Akbar Susamto menyampaikan kenaikan tarif PPN tersebut tidak akan efektif mengangkat penerimaan negara pada 2025 maupun tax ratio.
Justru konsekuensi yang harus pemerintah hadapi adalah potensi anjloknya konsumsi maupun transaksi masyarakat pascakenaikan tarif pajak.
“Kalau PPN naik, maka ada konsekuensi yang terkait dengan perkembangan ekonomi. Sebetulnya, justru lebih banyak ruginya daripada untungnya,” ujarnya dalam Core Economic Outlook 2025, Sabtu (23/11/2024).
Akbar menjelaskan dalam paparannya, bahwa imbas kenaikan tarif PPN tersebut akan berdampak pada penerimaan pajak dalam negeri yang melambat karena perlambatan konsumsi domestik.
Bahkan, dirinya memprediksikan penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang ditargetkan senilai Rp2.189,3 triliun akan tumbuh rendah meski pemerintah menerapkan PPN 12%.
Menurutnya, strategi peningkatan penerimaan maupun tax ratio harus menerapkan pajak yang adil, salah satunnya dengan tarif progresif. Di Indonesia, pemerintah masih menggunakan tarif tunggal atau single tariff sehingga hal ini dianggap tidak adil karena tidak mempertimbangkan perbedaan daya beli dan kebutuhan antara kelompok barang dan jasa yang berbeda.
Senada, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono sebelumnya membuktikan bahwa PPN 12% otomatis akan menggerus daya beli masyarakat hingga 11,11%. Lebih parahnya, hal tersebut berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi yang diharapkan naik ke level 6%-7% tahun depan (menurut Bappenas). Prianto menjelaskan sebagai contoh, Badu memiliki dana Rp1 juta dan akan membeli barang dengan harga Rp 100.000/unit.
Jika sebelumnya dengan tarif PPN 11% Badu dapat membeli sembilan unit barang (harga per barang Rp111.000 x 9 = Rp999.000), kini dengan tarif PPN 12% hanya mampu membeli delapan unit barang karena total yang dibayarkan Rp896.000 (harga per barang Rp112.000 x 8 = Rp896.000).
Berdasarkan ilustrasi tersebut, Prianto menyampaikan penambahan PPN 1% dari 11% ke 12% membuat Badu hanya mampu membeli barang sebanyak 8 unit dari sebelumnya 9 unit. “Kondisi demikian dapat digunakan sebagai ilustrasi bahwa penurunan daya beli Badu setara dengan 1/9 atau 11,11%,” ujarnya.
Menghitung dari data Badan Pusat Statistik (BPS), di mana produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp5.638,9 triliun pada kuartal III/2024, konsumsi rumah tangga menjelaskan 53,08% atau mencakup Rp2.993,13 triliun.
Jika terjadi penurunan daya beli sebesar 11,11%, artinya PDB akan turun hingga Rp332,54 triliun. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari potensi pendapatan yang akan diterima Kementerian Keuangan bila menerapkan PPN 12%.
Di mana sebelumnya Pengamat pajak dan Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa kenaikan tarif PPN akan meningkatkan penerimaan pajak hingga Rp100 triliun (basis penghitungan kenaikan PPN seperti 2022 ketika PPN naik dari 10% ke 11%).
Melalui perhitungan tersebut, artinya pendapatan negara dari pajak yang sebelumnya Rp2.189,3 triliun tersebut akan mencapai Rp2.289,3 triliun, bahkan lebih. Meski demikian, negara juga harus bersiap untuk menghadapi penurunan PDB Rp332,54 triliun setiap kuartalnya.
Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “PPN 12% Mulai 2025, Ekonom: Lebih Banyak Rugi daripada Untung!”, Klik selengkapnya di sini: https://ekonomi.bisnis.com/read/20241124/9/1818624/ppn-12-mulai-2025-ekonom-lebih-banyak-rugi-daripada-untung.
Penulis : Annasa Rizki Kamalina – Bisnis.com