Medium Term Revenue Strategy (MTRS) adalah istilah strategi pendapatan jangka menengah yang merupakan pendekatan komprehensif untuk melaksanakan reformasi sistem pajak yang efektif. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan pajak dan memperbaiki sistem pajak dalam jangka menengah melalui pendekatan yang dipimpin oleh negara dan melibatkan seluruh pemerintah.
Saat ini, sekitar 25 negara terlibat dalam pembahasan, perumusan, dan implementasinya. Negara-negara tersebut menerima dukungan ekstensif untuk MTRS mereka dari Mitra Platform Collaboration Tax (PCT), khususnya, IMF dan Bank Dunia. Banyak negara telah terlibat secara penuh dalam hal administrasi pajak, reformasi hukum, dan/atau kebijakan di dalam negeri.
Berdasarkan laporan IMF terbaru, mereka menyoroti kebijakan pajak yang tertuang pada Medium Term Revenue Strategy (MTRS) 2017 perlu diperbarui. Dalam hal ini seperti menurunkan threshold pengusaha kena pajak (PKP), menurunkan threshold UMKM, memulai cukai atas BBM, dan lain-lain hingga peninjauan ulang belanja pajak (tax expenditure) yang mencapai sekitar 1,7% dari PDB. Sementara itu misalnya cukai plastik yang IMF telah sarankan pun hingga saat ini realisasinya pun masih belum terlihat.
Apabila seluruh rencana kebijakan MTRS 2017 diterapkan, Indonesia bisa saja meningkatkan tax ratio sebesar 3,5% dari PDB. Akan tetapi, mampukah Indonesia menerapkan saran kebijakan dari IMF tersebut di Tengah situasi ekonomi saat ini?
Pada dasarnya, di setiap pilihan yang muncul dalam proses formulasi kebijakan pasti akan memunculkan ambivalensi. Dengan kata lain, terdapat sisi positif sekaligus sisi negatif sehingga ada pihak yang pro dan kontra terhadap usulan IMF tersebut. Semua sisi negatif dan positif tersebut dibarengi dengan pertimbangan rasional oleh para pihak yang setuju atau menolak kebijakan tersebut.
-
Penurunan Threshold Pengusaha Kecil.
Dari sisi pihak yang pro, penurunan batasan wajib PKP dari status pengusaha kecil akan meningkatkan basis PPN. Selain itu, semakin banyak pengusaha kecil harus dikukuhkan sebagai PKP.
Sementara dari sisi pihak yang kontra, adalah karena adanya peningkatan administration cost bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) karena peningkatan jumlah PKP. Selain itu, PKP baru tersebut juga akan menghadapi peningkatan compliance cost krn mereka perlu melakukan administrasi dan keuangan mulai dari memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN.
-
Penambahan Objek Cukai
Dari sisi pihak yang pro, penerimaan pajak berupa cukai berpotensi akan naik. Jika cukai naik, pengendalian objek cukai yang memiliki eksternalitas/dampak negatif menjadi kurang efektif.
Sementara itu, dari sisi pihak yang kontra, peningkatan penerimaan cukai belum tentu terjadi, karena cukai juga berfungsi untuk mengendalikan konsumsi masyarakat terhadap barang-barang yang berdampak negatif. Contohnya adalah minuman berpemanis.
Dari sisi kontra lainnya adalah perilaku konsumsi masyarakat yang sangat mungkin akan bergeser. Alasannya adalah karena konsumen dan pengusaha memiliki preferensi untuk mencari barang pengganti lainnya yang tidak terkena cukai atau terkena cukai dengan tarif yang lebih rendah.
-
Peninjauan Kebijakan Tax Expenditure
Kebijakan belanja pajak seringkali muncul ketika krisis ekonomi terjadi atau terjadi perlambatan ekonomi. Pada kondisi tersebut, pemerintah hadir di tengah masyarakat guna menjaga konsumsi masyarakat agar tetap bertahan dalam arti menjaga daya beli masyarkat.
Bentuknya berupa kebijakan belanja pajak dengan reaslisasi berupa pajak ditanggung pemerintah. Dalam hal ini, masyarakat tetap membayar pajak, tetapi dana untuk membayar pajak ditanggung negara melalui kebijakan tax expenditure.
Pihak yang pro akan berpandangan bahwa pemerintah dapat mengalokasikan dananya untuk pembiayaan yang lebih produktiif dan bersifat direct spending misalnya dengan cara subsidi langsung atau bantuan langsung ke masyarakat.
Sementara pihak yang kontra akan melihat bahwa substansinya sama. Dalam hal ini, melalui kebijakan belanja pajak, pemerintah tidak akan menerima pembayaran pajak dari masyarakat yg objek transaksinya mendapatkan fasilitas pajak ditanggung pemerintah (DTP). Dengan demikian, masyarakat memiliki dana yang seharusnya untuk membayar pajak, tetapi digunakan untuk menambah konsumsi.
Dengan demikian, cara tersebut di atas diharapkan dapat tetap menjaga daya beli masyarakat. Hal ini diharapkan, konsumsi dalam negeri tetap bertahan sehingga perekonomian tetap berjalan dengan stabil.
Berdasarkan analisis pro dan kontra atas usulan IMF terbaru di atas, sebetulnya pemerintah mampu menjalankan saran-saran tersebut. Akan tetapi, pemerintah perlu melihat pihak lain yang kontra dengan saran tersebut. Dengan demikian, pada akhirnya, pemerintah perlu mengambil keputusan, yaitu:
- menjalankan semua saran IMF tersebut tanpa modifikasi kebijakan,
- menjalankan saran IMF dengan modifitkasi kebijakan,
- tidak menjalankan saran IMF tersebut.
Di dalam praktiknya, pilihan kebijakan pada dasarnya seringkali tidak akan mencapai titik ideal (optimum tax policy). Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor mulai dari kompleksitas ekonomi, keterbatasan informasi, kepentingan atau tekanan politik, hingga tujuan yang bertentangan. Berdasarkan kompromi antara tujuan dan kendala yang ada, pada akhirnya pemerintah akan menerapkan the second best policies, yaitu kebijakan yang dipilih ketika kebijakan ideal tidak dapat dicapai. Pemerintah secara ideal perlu berusaha merumuskan kebijakan yang seoptimal mungkin, namun tetap realistis dan mempertimbangkan kondisi yang ada.