Saat ini DPR tengah mengumpulkan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) terkait Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) 2021. Salah satu isu panasnya adalah “Tax Amnesty (TA) Jilid 2” yang disebut di Naskah Akademik RUU KUP 2021 sebagai Offshore Voluntary Disclosure Program (OVDP) atau program pengungkapan aset secara sukarela.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengungkapkan, masuknya ketentuan OVDP dalam RUU KUP 2021 tersebut menunjukkan lemahnya manajemen data Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. “Ketentuan tersebut juga menunjukkan kegagalan program Tax Amnesty Jilid 1 dalam meningkatkan database Wajib Pajak,” kata Prianto, Jumat (10/9).
Ketentuan OVDP yang termaktub dalam Pasal 37B-37D RUU KUP 2021 menjadi solusi bagi Ditjen Pajak untuk mengejar pajak dari praktik Offshore Tax Evasion (OTE) berupa penggelapan pajak keluar negeri. Faktanya, DJP mendapati data bahwa banyak Wajib Pajak eks peserta TA Jilid 1 yang belum mengungkapkan hartanya secara penuh. Sebagai akibatnya, Ditjen Pajak kehilangan potensi penerimaan negara yang cukup besar dari perilaku OTE.
Sebetulnya, Ditjen Pajak dapat saja mengejar pengemplang pajak OTE ini. Akan tetapi, praktik di Amerika Serikat (AS) gagal mengejar pajak dari OTE tersebut. Ketika itu, AS bekerjasama dengan Swiss untuk ‘memaksa’ bank-bank di Swiss guna menyediakan informasi saldo bank dari warga negara AS. Kerja sama tersebut tidak berhasil karena para pengemplang pajak justru mengalihkan dana mereka dari bank Swiss ke negara lainnya yang kerahasiaan perbankannya ketat.
Akhirnya, Ditjen Pajak memilih OVDP yang menghimbau Wajib Pajak secara sukarela mengungkapkan kembali harta yang belum dilaporkan di dalam SPT PPh 2015. OVDP ini sebetulnya kelanjutan dari program PAS Final (Pengungkapan Aset Sukarela dengan Tarif Final) yang digulirkan sebagai tindak lanjut dari TA Jilid 1. Ketentuan PAS Final tersebut tertuang di Peraturan Menteri Keuangan No. 165/PMK.03/2017.
“Jika dibandingkan dengan tarif PAS Final (tarif tertinggi 30%), tarif OVDP jauh lebih menarik karena hanya 15% meskipun masih relatif tinggi”, ujar Prianto. Jika aset yang diungkapkan tersebut ditanamkan kembali ke dalam Surat Berharga Negara (SBN) selama 5 tahun, tarif PPh Final nya hanya sebesar 12,5%.
Ketidakberdayaan mengejar pengemplang pajak yang menyimpan hartanya di luar negeri menyebabkan Ditjen Pajak memiliki keterbatasan ruang fiskal. Bentuknya berupa instrumen peraturan yang memungkinkan Ditjen Pajak meminta bantuan otoritas pajak negara/yurisdiksi mitra untuk melakukan penagihan pajak. Proses penagihan tersebut terkait dengan pajak yang dikenakan oleh Ditjen Pajak dan harus dibayar oleh penanggung pajak yang asetnya berada di luar negeri.