Kesehatan mental di tempat kerja akhir-akhir ini pun telah menjadi perhatian utama dalam praktik bisnis berkelanjutan, terutama dalam kerangka Environmental, Social, and Governance (ESG). Pilar Sosial (Social) dalam ESG mencakup berbagai aspek kesejahteraan karyawan, termasuk kesehatan mental, keselamatan kerja, keseimbangan kehidupan kerja, serta inklusivitas dan keberagaman dalam lingkungan kerja (Pfeffer et al., 2020). Semakin tak terbantahkan, bahwa banyak orang mulai peduli dengan kesehatan mental, terutama di tempat kerja.
Menurut World Health Organization (WHO, 2022), depresi dan kecemasan menyebabkan kerugian produktivitas global sebesar $1 triliun per tahun. Masalah kesehatan mental di tempat kerja dapat menyebabkan peningkatan angka ketidakhadiran (absenteeism), kehadiran tanpa produktivitas (presenteeism), serta turnover karyawan yang tinggi, yang berdampak langsung pada kinerja dan profitabilitas perusahaan (Deloitte, 2022).
Pelaporan ESG dalam Sustainability Report kini menjadi standar global dalam mengukur keberlanjutan perusahaan. Beberapa standar seperti Global Reporting Initiative (GRI 403: Occupational Health & Safety) dan Sustainability Accounting Standards Board (SASB) telah mulai mencantumkan kesehatan mental sebagai bagian dari kesejahteraan tenaga kerja. Dengan meningkatnya tuntutan transparansi dari investor dan regulator, memasukkan kesehatan mental ke dalam Sustainability Report tidak hanya merupakan tanggung jawab sosial, tetapi juga strategi bisnis yang berkelanjutan (Friede, Busch, & Bassen, 2015).
Baca juga: ESG vs Sustainability, Apa Perbedaannya?
Kesehatan Mental dalam Pilar Sosial ESG
Beberapa penelitian telah menunjukkan dampak dari kesehatan mental terhadap keberlanjutan bisnis dan kinerja perusahaan sbb.:
- WHO (2022) melaporkan bahwa gangguan mental menyebabkan kehilangan lebih dari 12 miliar hari kerja per tahun, yang berkontribusi pada kerugian ekonomi global sebesar $1 triliun.
- American Psychiatric Association (2021) menemukan bahwa karyawan dengan depresi mengalami penurunan produktivitas hingga 35%, dengan biaya ekonomi tahunan sebesar $210,5 miliar di AS akibat absenteeism, presenteeism, dan biaya medis.
- Penelitian dalam Journal of Occupational and Environmental Medicine (2020) menunjukkan bahwa stres kerja yang tidak ditangani meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan gangguan metabolik, yang berdampak pada biaya perawatan kesehatan yang lebih tinggi bagi perusahaan.
Beberapa studi bahkan menunjukkan bahwa gangguan kesehatan mental di tempat kerja berdampak terhadap produktivitas dan retensi tenaga kerja. Studi yang dipublikasikan dalam Journal of Organizational Behavior menyebutkan bahwa stres kerja yang tidak tertangani segera mungkin dapat menyebabkan penurunan produktivitas hingga 15% serta peningkatan turnover karyawan sebesar 25-40% (Attridge, 2019). Perusahaan yang gagal mengelola kesehatan mental karyawannya akan menghadapi risiko bisnis yang lebih besar, termasuk tingginya biaya operasional akibat turnover karyawan, penurunan produktivitas, serta dampak negatif terhadap reputasi perusahaan. Oleh karena itu, banyak perusahaan mulai memasukkan aspek kesehatan mental dalam strategi implementasi ESG mereka sebagai bagian dari manajemen risiko dan keberlanjutan bisnis.
Pelaporan Sustainability Report
Dengan meningkatnya perhatian terhadap ESG, berbagai standar pelaporan telah dikembangkan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas perusahaan dalam aspek keberlanjutan. Beberapa standar yang relevan meliputi:
- Global Reporting Initiative (GRI 403: Occupational Health & Safety): Standar ini mendorong perusahaan untuk melaporkan dampak mereka terhadap kesehatan tenaga kerja, termasuk kesehatan mental.
- Sustainability Accounting Standards Board (SASB): SASB menyediakan pedoman spesifik untuk beberapa sektor industri yang memiliki risiko stres kerja tinggi, seperti layanan kesehatan, teknologi, dan keuangan.
- European Union Corporate Sustainability Reporting Directive (CSRD, 2022): Regulasi ini mewajibkan perusahaan untuk melaporkan dampak sosial mereka, termasuk kesejahteraan tenaga kerja, dalam Sustainability Report.
Pelaporan yang transparan mengenai kesehatan mental dalam Sustainability Report dapat meningkatkan kepercayaan investor dan pemangku kepentingan serta memperkuat daya saing perusahaan di pasar global (McKinsey & Company, 2021).
Agar pelaporan ESG dalam Sustainability Report lebih transparan dan dapat diukur, perusahaan dapat menggunakan beberapa indikator berikut:
- Persentase karyawan yang mengakses layanan kesehatan mental.
- Jumlah sesi pelatihan kesehatan mental yang diadakan dalam satu tahun.
- Tingkat absensi dan presenteeism akibat stres atau gangguan mental.
- Hasil survei kepuasan karyawan terkait kesejahteraan mental dan keseimbangan kerja-hidup.
- Jumlah program dukungan kesehatan mental yang tersedia bagi karyawan.
Menurut McKinsey & Company (2021), perusahaan yang melaporkan kebijakan kesehatan mental dalam ESG mengalami peningkatan loyalitas karyawan dan daya tarik bagi investor ESG.
Studi Kasus: Perusahaan yang Berhasil Mengintegrasikan Kesehatan Mental dalam ESG
Beberapa perusahaan global telah berhasil mengadopsi kebijakan kesehatan mental sebagai bagian dari strategi ESG mereka, dengan hasil yang signifikan:
- Unilever: Implementasi program kesehatan mental global yang mencakup pelatihan untuk manajer, layanan konseling, dan program kesejahteraan karyawan. Hasilnya, perusahaan berhasil mengurangi absensi akibat kesehatan mental sebesar 33% dan menghemat biaya operasional hingga $10 juta per tahun (Unilever Sustainability Report, 2021).
- Google: Menyediakan layanan terapi daring, mindfulness training, serta pemanfaatan data analitik untuk memantau stres kerja, yang berkontribusi pada peningkatan kepuasan dan retensi karyawan (Google ESG Report, 2022).
- Tata Steel: Menerapkan program kesehatan mental berbasis budaya kerja di India, termasuk sesi konseling, pelatihan manajemen stres, dan program kesejahteraan karyawan, yang menghasilkan penurunan absenteeism dan peningkatan produktivitas (Tata Steel Annual Report, 2021).
Integrasi kesehatan mental dalam pelaporan ESG di Sustainability Report merupakan upaya strategis yang tidak hanya meningkatkan kesejahteraan karyawan, tetapi juga memperkuat daya saing perusahaan dalam jangka panjang. Dengan meningkatnya ekspektasi regulator dan investor, perusahaan perlu memastikan bahwa kesehatan mental karyawan bukan hanya sekadar kebijakan internal, tetapi juga menjadi bagian dari strategi keberlanjutan yang terukur dan terdokumentasi dengan baik. Oleh karena itu, suatu perusahaan dapat melakukan beberapa upaya seperti:
- Mengembangkan kebijakan kesehatan mental yang komprehensif, dengan merujuk standar ESG seperti GRI 403 dan SASB.
- Memberikan masukan kepada para manajer untuk mengenali dan mendukung kesehatan mental karyawan.
- Memasukkan indikator kesehatan mental dalam Sustainability Report untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
- Menerapkan budaya kerja yang lebih inklusif dan suportif untuk mengurangi stigma terhadap kesehatan mental.
Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif, serta meningkatkan kepercayaan investor dan daya saing di pasar global untuk strategi bisnis berkelanjutan.
Informasi Jasa Pratama Institute
Jika Anda ingin memastikan laporan keberlanjutan perusahaan Anda disusun secara profesional dan menarik, kami di Pratama Institute hadir untuk membantu Anda. Dengan pengalaman dan keahlian dalam penyusunan laporan tahunan yang sesuai dengan standar terbaik, kami menghadirkan dokumen yang informatif sehingga bisa mencerminkan identitas perusahaan Anda. Hubungi kami untuk solusi laporan keberlanjutan yang ciamik!