Beberapa tahun terakhir, istilah tenaga kerja hijau (green jobs) mulai masuk dalam perbincangan korporasi. Tidak lagi hanya soal energi terbarukan atau bangunan ramah lingkungan, melainkan juga soal bagaimana perusahaan menyiapkan sumber daya manusia yang mampu mendukung agenda keberlanjutan. Pertanyaannya sederhana: apa risikonya bila perusahaan mengabaikan tren ini?
Jawaban singkatnya: banyak, mulai dari regulasi, keuangan, hingga reputasi. Dan risikonya nyata, bukan sekadar wacana.
Regulasi dan “Izin Sosial”
Di era kini, regulasi perusahaan tidak berhenti pada laporan keuangan semata. Pemerintah mendorong laporan keberlanjutan, pasar modal mulai menilai kinerja ESG, dan konsumen semakin kritis. Perusahaan yang abai terhadap tenaga kerja hijau berpotensi dianggap tidak siap menghadapi kewajiban ini.
Dalam literatur akademik, kondisi ini dijelaskan melalui teori legitimasi (legitimacy theory). Teori ini berangkat dari gagasan bahwa perusahaan membutuhkan “izin sosial” untuk beroperasi, yaitu pengakuan dari masyarakat dan regulator bahwa praktik bisnisnya selaras dengan norma sosial yang berlaku. Jika masyarakat menuntut keberlanjutan, tetapi perusahaan tidak menyiapkan tenaga kerja hijau, legitimasi tersebut akan terkikis.
Risiko Finansial dan Daya Saing
Aspek finansial sering kali jadi pertimbangan utama manajemen. Namun, di sinilah bahaya laten muncul. Tanpa strategi tenaga kerja hijau, biaya adaptasi di masa depan akan lebih besar. Bayangkan, suatu saat perusahaan dipaksa merekrut tenaga kerja bersertifikat hijau atau melakukan pelatihan ulang besar-besaran karena tekanan regulasi. Biaya ini jauh lebih mahal ketimbang investasi pelatihan sejak awal.
Pendekatan Resource-Based View (RBV) dalam teori manajemen menegaskan bahwa sumber daya unik dan sulit ditiru, seperti tenaga kerja terampil, merupakan kunci keunggulan kompetitif. Artinya, perusahaan yang lebih dulu membangun kapasitas tenaga kerja hijau punya modal kuat untuk bersaing. Sebaliknya, perusahaan yang menunda akan kesulitan mengejar.
Reputasi di Mata Publik
Selain regulasi dan biaya, ada faktor reputasi. Saat ini, konsumen dan investor semakin memperhatikan siapa yang berada di balik produk atau jasa yang mereka gunakan. Perusahaan yang tidak memperhatikan isu tenaga kerja hijau berisiko dianggap abai terhadap keberlanjutan.
Hal ini sejalan dengan stakeholder theory, yang menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan bukan hanya kepada pemegang saham, melainkan juga kepada seluruh pihak yang terdampak oleh aktivitasnya — konsumen, karyawan, regulator, hingga komunitas. Jika tenaga kerja hijau diabaikan, kepercayaan stakeholder bisa menurun. Dan kita tahu, membangun reputasi butuh waktu bertahun-tahun, sementara merusaknya bisa terjadi seketika.
Lebih dari Sekadar Tren
Tenaga kerja hijau bukan hanya jargon global. Ia adalah bagian dari strategi tata kelola yang baik (Good Corporate Governance/GCG). Perusahaan yang menyiapkan SDM dengan keterampilan hijau berarti sudah selangkah lebih maju dalam menjaga kepatuhan, efisiensi biaya, dan reputasi.
Sebaliknya, mengabaikannya sama saja dengan menunda masalah. Seperti menunda perawatan mesin: awalnya tampak menghemat biaya, tetapi ujung-ujungnya berlipat ganda ketika kerusakan terjadi.
Di tengah perubahan regulasi dan ekspektasi global, pertanyaan bagi setiap perusahaan adalah: apakah kita siap memastikan tenaga kerja yang mendukung masa depan hijau?
Reviewer: Intan Pratiwi