Pengumuman Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahwa pemerintah akan mengejar 200 penunggak pajak yang sudah berkekuatan hukum tetap dengan potensi tagihan sekitar Rp50–60 triliun adalah sinyal kuat bahwa pemerintah memilih langkah penegakan keras untuk menutup celah penerimaan. Pernyataan yang menegaskan target penagihan “dalam sepekan” dan janji membuka kanal pengaduan terhadap oknum pemeras menandai dua wajah sekaligus: otoritas (power) yang menekan dan upaya menjaga legitimasi kepercayaan publik
Langkah agresif menagih tunggakan yang sudah inkrah memang memegang rasio cost–benefit yang menarik. Potensi penerimaan besar dalam waktu singkat, dan sinyal deterrence bagi pengemplang lainnya. Namun pengalaman teori dan bukti empiris tentang kepatuhan pajak menunjukkan bahwa penegakan represif tanpa langkah relasional dapat menimbulkan efek samping serius. Kerangka slippery slope yang dikembangkan Kirchler dan kolega menegaskan dua jalur utama menaikkan kepatuhan yaitu jalur penegakan (power) dan jalur kepercayaan (trust). Keduanya saling melengkapi, bergantung berlebihan pada satu dimensi berisiko menurunkan efektivitas jangka panjang.
Ada beberapa risiko nyata bila intensifikasi hanya bermuara pada “paksa bayar”. Erosi kepercayaan publik wajib, pajak yang melihat penagihan berlangsung tanpa transparansi atau terkesan selektif bisa menganggap sistem tidak adil, sehingga kepatuhan sukarela berkurang. Kedua, wajib pajak besar yang merasa diperlakukan arogan cenderung menempuh upaya hukum atau kampanye reputasi yang pada gilirannya memakan waktu dan biaya serta menunda realisasi kas. Terakhir, meningkatnya tekanan penagihan tanpa pengawasan melekat membuka peluang penyalahgunaan wewenang oleh oknum persis yang coba dicegah dengan janji kanal pengaduan.
Oleh karena itu, intensifikasi harus dirancang sebagai paket kebijakan smart enforcement + trust building. Lakukan transparansi penuh dalam proses penagihan publikasikan kriteria masuk daftar inkrah dan tahapan dari surat teguran sampai eksekusi sambil menawarkan skema penyelesaian terstruktur untuk wajib pajak besar (cicilan ketat, perbaikan administrasi, perjanjian kepatuhan). Wujudkan juga kanal pengaduan yang kredibel dengan proteksi pelapor (anonim, unit independen, laporan periodik) agar janji anti-pemerasan pegawai pajak benar-benar terimplementasi, bukan sekadar retorika.
Koordinasikan eksekusi dengan penegak hukum (kejaksaan, kepolisian, PPATK) supaya eksekusi aset berjalan cepat namun akuntabel dan mengurangi celah korupsi. Komunikasikan secara terukur bagaimana potensi Rp50–60 triliun akan dimanfaatkan dalam APBN 2025 agar publik merasakan manfaat kepatuhan. Langkah ini penting untuk menyeimbangkan penegakan keras dengan pemeliharaan kepercayaan.
Selain itu, indikator keberhasilan mesti jelas menggunakan realisasi kas dari daftar inkrah, jumlah dan hasil pengaduan kanal, tren litigasi baru dan perubahan kepercayaan publik terhadap otoritas pajak yang diukur lewat survei sebelum dan sesudah operasi penagihan. Tanpa indikator ini, tindakan keras mudah dinilai tak terukur dan rawan politisasi.
Maka dari itu, mengejar Rp60 triliun sah-sah saja karena itu kebutuhan fiskal yang nyata. Namun keberhasilan jangka panjang bergantung bukan semata pada seberapa cepat pemerintah bisa menarik uang dari kantong pengemplang, melainkan pada bagaimana tindakan itu memperkuat atau justru mengikis kesepakatan sosial antara negara dan pembayar pajak. Bila intensifikasi dilakukan sebagai momen memperbaiki tata kelola menggabungkan penegakan hukum yang tegas dengan langskah yang terukur untuk membangun kepercayaan publik maka pemerintah Indonesia tidak hanya mendapat pemasukan satu kali, tetapi juga memperkokoh basis kepatuhan sukarela yang jauh lebih berharga untuk berkelanjutan