Pemerintah bertindak tepat ketika memilih stimulus fiskal sebagai respons cepat terhadap pelemahan permintaan. Suntikan anggaran dapat menyelamatkan usaha yang goyah, mempertahankan lapangan kerja, dan menjaga rantai pasok lokal tetap berputar. Paket stimulus senilai sekitar Rp16,23 triliun yang diumumkan baru-baru ini adalah contoh tindakan sebagai upaya untuk meredam penurunan ekonomi yang berpotensi lebih dalam dan menyokong sektor-sektor padat tenaga kerja. (Reuters, 2025). Namun, seperti halnya dua mata pisau, tindakan yang menyelamatkan hari ini bisa membebani opsi kebijakan esok hari jika tidak dirancang dengan ketat.
Argumen pro-stimulus bukan sekadar retorika. Literatur dan laporan internasional menunjukkan bahwa stimulus yang tepat sasaran memiliki efek multiplier yang nyata seperti bantuan tunai, subsidi upah dan program padat karya menyasar kelompok dengan marginal propensity to consume tinggi sehingga mendorong permintaan domestik secara langsung (World Bank, 2025; SMERU, 2025). Di masa krisis, respons fiskal agresif juga dipandang sebagai instrumen yang menahan putaran penurunan fiskal-makro, memberi waktu bagi sektor swasta untuk pulih dan mencegah pengangguran menumpuk (ADB, 2025).
Tetapi di sinilah mata pisau yang kedua muncul. Setiap perluasan belanja tanpa pengukuran hasil dan konter-beban fiskal berisiko memperlebar defisit, menaikkan rasio utang terhadap PDB, dan mengurangi ruang fiskal untuk program produktif di masa depan. IMF menegaskan bahwa kapasitas fiskal negara tidak tak terbatas; stimulus berulang yang tidak disertai reformasi penerimaan atau reprioritisasi belanja dapat memperbesar risiko fiskal dan membatasi respons kebijakan saat guncangan berikutnya datang (IMF, 2025). Di tingkat domestik, analisis juga memperingatkan kerentanan struktural ekonomi yang membuat angka pertumbuhan tampak kuat sementara fondasi produktivitas belum membaik (CSIS, 2025).
Jadi jalan keluarnya bukanlah antara “stimulasi” atau “tidak stimulasi”, melainkan bagaimana merancang stimulus agar menjadi jembatan bukan beban. Pertama, targeting harus menjadi syarat mutlak. Bantuan yang luas tanpa verifikasi berpotensi bocor kepada penerima yang kurang membutuhkan; sementara pekerja informal dan UMKM mikro sering luput dari jangkauan karena masalah data. Solusi praktis melalui integrasi data NIK-Kependudukan dengan registrasi UMKM dan marketplace untuk memastikan bantuan sampai ke penerima riil.
Kedua, setiap paket harus disertai indikator keluarnya (exit plan) dan metrik evaluasi yang jelas berapa banyak pekerjaan yang diselamatkan, berapa persen UMKM yang kembali beroperasi, dan bagaimana keseimbangan biaya-perolehan dibandingkan alternatif (voucher, subsidi upah terarah, kredit mikro). Audit cepat dan publikasi hasil harus dijadikan standar agar akuntabilitas tak hanyut dalam narasi politis.
Ketiga, satukan stimulus darurat dengan agenda reformasi struktural yang ambisius. Modernisasi pajak untuk memperluas basis penerimaan, investasi pada pendidikan & vokasi guna meningkatkan produktivitas, serta iklim investasi yang mendorong penanaman modal produktif semua itu adalah prasyarat agar suntikan fiskal tak berubah menjadi obat penawar sementara yang memperparah ketergantungan.
Di sinilah visi “Indonesia Emas 2045” masuk sebagai jangkar kebijakan. Jika pemerintah meneguhkan komitmen reformasi dari perbaikan birokrasi, pendidikan, hingga insentif yang mendorong transfer teknologi maka target pertumbuhan di atas 6% bukan sekadar angka ambisius, tetapi konsekuensi logis dari produktivitas yang meningkat dan investasi berkualitas (World Bank, 2025). Dengan kata lain, stimulus yang bersifat temporer dapat ditransformasikan menjadi momentum reformasi. Pendaftaran formal pekerja dan pelaku usaha selama program stimulus, misalnya, bisa dijadikan pintu masuk bagi inklusi finansial dan pelaporan pajak yang lebih baik.
Akhirnya, menerima bahwa stimulus adalah dua mata pisau bukan berarti menolak tindakan saat diperlukan. Ini adalah seruan untuk kebijakan yang lebih cerdas (cepat dalam respons) tetapi disiplin dalam perencanaan jangka menengah. Reformasi penerimaan termasuk modernisasi administrasi pajak dan digitalisasi harus dipacu bersamaan dengan paket stimulus agar defisit yang naik hari ini tidak mengikis kemampuan negara untuk berinvestasi pada masa depan yang berkelanjutan. Bila kebijakan darurat dikawal oleh roadmap fiskal yang realistis dan reformasi struktural yang konsisten, suntikan fiskal akan berfungsi bukan sebagai tambal sulam, melainkan sebagai pijakan menuju pertumbuhan yang kuat dan inklusif untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.