Ketika kita berbicara tentang keberlanjutan, pikiran orang sering langsung tertuju pada panel surya, turbin angin, atau mobil listrik. Padahal, di balik teknologi tersebut ada satu unsur penting yang sering terlupakan: manusia yang mengoperasikannya. Inilah yang disebut dengan tenaga kerja hijau, atau green jobs.
Pengertian Tenaga Kerja Hijau
Secara sederhana, tenaga kerja hijau adalah pekerjaan yang berkontribusi melindungi lingkungan sekaligus mendukung penggunaan sumber daya yang lebih efisien. Pekerjaan ini tidak terbatas pada sektor baru seperti energi terbarukan, melainkan juga bisa muncul di sektor-sektor konvensional yang mengadopsi praktik ramah lingkungan.
Bayangkan seorang arsitek yang merancang gedung hemat energi dengan memanfaatkan pencahayaan alami. Atau teknisi mekanikal di sebuah perusahaan properti yang memastikan sistem pendingin udara beroperasi dengan efisien, sehingga listrik tidak terbuang percuma. Di pabrik daur ulang, ada staf yang bekerja memilah limbah agar bisa kembali masuk ke rantai produksi. Bahkan di sektor logistik, manajer distribusi yang merancang jalur pengiriman rendah emisi juga bisa disebut sebagai bagian dari tenaga kerja hijau.
Dalam konteks perusahaan formal, contoh tenaga kerja hijau semakin beragam. Di sektor energi, ada instalatur panel surya untuk gedung perkantoran atau teknisi turbin angin di pembangkit listrik skala industri. Di sektor perkebunan, agronomis perusahaan merancang pola tanam yang berkelanjutan agar hasil panen tidak merusak tanah. Sementara itu, di perusahaan jasa profesional, konsultan lingkungan dan staf ESG bekerja memastikan bahwa strategi keberlanjutan benar-benar dijalankan, bukan sekadar jargon di laporan tahunan.
Baca juga: GCG Tangguh, ESG Tumbuh: Strategi Bisnis di Era Transisi Hijau
Mengapa Tenaga Kerja Hijau Penting?
Transisi menuju ekonomi hijau tidak bisa hanya mengandalkan teknologi atau modal. Tanpa sumber daya manusia yang terampil, investasi dalam energi terbarukan, pengelolaan limbah, atau efisiensi energi tidak akan berjalan optimal. Perusahaan membutuhkan pekerja yang mampu mengoperasikan teknologi baru, memahami regulasi lingkungan, dan pada saat yang sama menjaga keberlanjutan bisnis.
Dari sisi Good Corporate Governance (GCG), isu tenaga kerja hijau seharusnya mendapat perhatian serius. Dewan direksi maupun komite keberlanjutan perlu melihat pembangunan kapasitas SDM hijau sebagai bagian dari strategi jangka panjang. Ini menyangkut rekrutmen, pelatihan, hingga pengembangan karier. Dengan begitu, keberlanjutan tidak berhenti pada laporan, tetapi benar-benar menjadi praktik sehari-hari dalam perusahaan.
Lalu bagaimana akuntansi memandang tenaga kerja hijau? Di sinilah pelaporan memainkan peran. Perusahaan bisa mengukur berapa jumlah karyawan yang sudah dilatih green skills, berapa jam pelatihan hijau yang dilakukan, atau berapa banyak anggaran yang dialokasikan untuk sertifikasi tenaga kerja. Angka-angka ini nantinya masuk ke dalam laporan keberlanjutan sebagai bukti nyata bahwa perusahaan tidak hanya berinvestasi pada teknologi, tetapi juga pada manusianya.
Singkatnya, tenaga kerja hijau adalah jembatan yang menghubungkan tujuan lingkungan dengan kesejahteraan ekonomi. Ia menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan sekadar wacana teknis atau urusan infrastruktur, tetapi juga tentang bagaimana kita menyiapkan manusia untuk dunia kerja yang lebih hijau.
Reviewer: Intan Pratiwi