Transisi global menuju ekonomi hijau menuntut dunia usaha untuk melakukan penyesuaian strategis secara menyeluruh. Dalam dinamika ini, tata kelola perusahaan yang baik, khususnya dalam aspek pengendalian internal, memainkan peran sentral dalam meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap regulasi lingkungan yang semakin kompleks, termasuk kebijakan perdagangan emisi karbon.
Salah satu temuan penting dari Zhang et al. (2023) menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki sistem pengawasan internal yang efektif cenderung mencatat kinerja ESG (Environmental, Social, and Governance) yang lebih unggul, terutama dalam menghadapi kebijakan perdagangan karbon yang ketat.
Kebijakan perdagangan emisi karbon, sebagai instrumen regulasi berbasis pasar, mendorong perusahaan untuk menginternalisasi biaya lingkungan ke dalam perencanaan dan pelaksanaan operasionalnya. Perusahaan dituntut tidak hanya mematuhi batas emisi, tetapi juga memastikan seluruh proses produksi, pelaporan, dan manajemen risiko dilakukan dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan kepatuhan.
Dalam konteks ini, pengendalian internal menjadi mekanisme utama untuk menjalankan tata kelola yang efektif serta membangun sistem deteksi dini terhadap risiko lingkungan dan sosial. Sistem ini memungkinkan perusahaan bertindak proaktif dalam menyusun strategi keberlanjutan yang terarah dan efisien.
Menurut Zhang et al. (2023), perusahaan dalam sistem perdagangan emisi menghadapi tekanan regulasi yang lebih tinggi. Dalam situasi ini, penguatan pengendalian internal menjadi langkah strategis yang adaptif. Sistem yang baik memungkinkan manajemen mendeteksi kelemahan operasional, mengurangi risiko moral hazard, serta meningkatkan kepatuhan terhadap kebijakan lingkungan.
Kemampuan mengelola dan mengungkapkan informasi ESG secara transparan juga menjadi indikator penting dari pengendalian internal yang efektif. Informasi ESG yang akurat membantu mengurangi asimetri informasi antara perusahaan dan investor, membangun kepercayaan, serta mendukung pengambilan keputusan jangka panjang.
Secara praktis, hal ini mencakup pelaporan emisi karbon yang dapat diverifikasi, kebijakan sosial yang inklusif, serta struktur tata kelola yang transparan dan bertanggung jawab. Transparansi ini menjadi dasar penting dalam membangun reputasi perusahaan di mata publik dan pemangku kepentingan lainnya.
Pengaruh pengendalian internal terhadap kinerja ESG juga tercermin dalam pengelolaan risiko keuangan. Sistem pengawasan yang mapan membantu perusahaan menerapkan kebijakan lingkungan secara konsisten, menghindari denda akibat pelanggaran regulasi, dan mengelola kuota karbon secara efisien.
Perusahaan yang memiliki pengendalian internal yang kuat dapat memanfaatkan kelebihan kuota sebagai sumber pendapatan atau menghindari pemborosan biaya emisi. Selain itu, kontrol internal yang efektif juga meningkatkan efisiensi operasional dan daya saing perusahaan.
Lebih jauh, tata kelola internal yang solid menjadi fondasi terbentuknya budaya perusahaan yang berorientasi pada keberlanjutan. Melalui pelatihan, sistem insentif, dan pengawasan, nilai-nilai ESG dapat diintegrasikan ke dalam seluruh lini operasional.
Dalam jangka panjang, budaya ini tidak hanya mendongkrak skor ESG, tetapi juga memperkuat persepsi positif publik dan meningkatkan posisi perusahaan dalam rantai pasok global yang semakin mengedepankan prinsip keberlanjutan.
Zhang et al. (2023) mencatat bahwa perusahaan di Tiongkok yang tergabung dalam skema perdagangan emisi dan memiliki tata kelola serta pengendalian internal yang baik menunjukkan respons lebih adaptif terhadap kebijakan tersebut. Mereka berhasil menurunkan emisi, sekaligus memperbaiki aspek sosial dan tata kelola.
Temuan ini menegaskan bahwa pengendalian internal bukan sekadar alat administratif, melainkan bagian integral dari strategi pembangunan berkelanjutan yang efektif dalam merespons regulasi pasar karbon.
Implikasi dari studi ini sangat relevan bagi Indonesia yang tengah membangun sistem perdagangan emisi nasional. Penguatan pengendalian internal dalam perusahaan perlu menjadi prioritas dalam strategi transisi hijau nasional.
Pemerintah dapat mendorong hal ini melalui regulasi, insentif fiskal, serta standar pelaporan ESG dan audit keberlanjutan. Selain itu, lembaga keuangan dan investor juga dapat menjadikan pengendalian internal sebagai salah satu kriteria dalam penyaluran pembiayaan hijau.
Perusahaan yang menunjukkan tata kelola internal yang baik terbukti lebih tahan terhadap guncangan kebijakan dan pasar, serta lebih mampu menciptakan nilai ekonomi dan sosial yang berkelanjutan.
Kesimpulannya, di era transisi hijau, tata kelola internal tidak lagi menjadi fungsi administratif semata, melainkan kunci utama dalam menjawab tantangan keberlanjutan. Sistem pengendalian internal yang kuat mendukung pengambilan keputusan yang akurat, pelaporan yang transparan, dan pelaksanaan strategi keberlanjutan yang efektif.
Dengan fondasi tata kelola yang kokoh, perusahaan tidak hanya dapat meningkatkan kinerja ESG, tetapi juga memperkuat daya saing dalam ekonomi global yang semakin mengutamakan prinsip hijau dan berkelanjutan.