Jutaan orang dalam usia produktif mendambakan kesempatan bekerja untuk memperbaiki kualitas hidup mereka. Sayangnya, harapan sering kali bebrenturan dengan kenyataan. Kericuhan pada job fair yang digelar Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi di Cikarang, Jawa Barat, pada Selasa (27/5), menjadi bukti betapa sempitnya peluang yang tersedia bagi para pencari kerja, bahkan untuk sekadar memberikan lamaran. Deindustrialisasi
Job fair yang seharusnya membuka harapan justru menegaskan betapa dalamnya jurang yang kini memisahkan kelas pekerja dari pekerjaan yang layak. Lantas, apakah kelas pekerja Indonesia sedang mengalami kejatuhannya?
Deindustrialisasi sebagai Alarm Kejatuhan
Kejatuhan kelas pekerja Indonesia telah dimulai sejak era deindustrialisasi prematur tepatnya sejak dua dekade kebelakang. Pada awal milenium, sektor industri mulai mengalami penyusutan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Berdasarkan data Nasional Accounts Data yang dirilis United Nations, dalam dua dekade terakhir (2001-2022) tepatnya pada 2001 kontribusi sektor industri Indonesia terhadap PDB masih cukup dominan yaitu di kisaran 48%. Sementara pada 2022 kontribusinya mengalami penurunan menjadi 38%. Bandingkan dengan kontibusi sektor jasa. Dalam kurun waktu yang sama, justru mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 38,4% (2001), menjadi 41,8% (2022).
Jika kita menilik pada distribusi tenaga kerja, muncul satu anomali yang menarik. Meskipun kinerja sektor manufaktur melemah, jumlah tenaga kerja yang terserap justru meningkat. Pada 2001 hanya sekitar 18,7% tenaga kerja yang terserap ke sektor industri, dan menjadi 22,8% pada 2022. Secara logika, semakin banyak orang bekerja di sektor industri akan semakin meningkatkan nilai tambah yang dihasilkan terutama terhadap PDB. Namun mengapa sebaliknya?
Jika ditelusuri lebih jauh, lonjakan tenaga kerja tidak selalu beriringan dengan kenaikan kontribusinya terhadap PDB. Dalam konteks indonesia, penyerapan tenaga kerja besar-besaran bisa jadi malah menutupi gejala struktural yang lebih dalam yaitu menurunnya kualitas pekerjaan dan terjebaknya kelas pekerja dalam sektor bernilai tambah rendah, mengapa?
Sayangnya di Indonesia, Industri yang bertumbuh bukanlah industri yang berorientasi pada nilai tambah tinggi, melainkan industri padat karya yang menyandarkan efisiensi pada upah rendah para pekerjanya. Sebagian besar industri di Indonesia juga berada dalam kategori low value chain yang alih-alih memproduksi barang jadi bernilai tambah tinggi, justru mayoritas industri di indonesia fokus pada aktivitas perakitan, pengemasan, atau outsourcing sederhana lainnya. Akibatnya meskipun banyak tenaga kerja yang terserap ke sektor industri, output yang dihasilkan cenderung rendah dan secara otomatis kontribusinya terhadap PDB juga rendah.
Selanjutnya, kebijakan insentif yang salah arah semakin memperteruk keadaan. Alih-alih mendorong pertumbuhan industri berbasis inovasi dan teknologi, pemerintah justru lebih aktif menggelontorkan insentif kepada sektor padat karya yang bertumpu pada buruh berupah murah sebagai keunggulan kompetitifnya. Efek dominonya, kelas pekerja hanya dianggap sebagai alat produksi murah. Akibatnya, kesejahteraan pekerja menjadi stagnan akibat ’upah yang ditekan’ untuk menarik investor. Alhasil Buruh sulit naik kelas karena minimnya pelatihan dan peningkatan keterampilan, selain akibat rendanya upah yang mereka dapatkan. Sebagai perbandingan rata-rata upah minimum di Indonesia sekitar Rp2,9 juta/bulan, bandingkan dengan Malaysia yang rata-rata upah minimumnya sekitar Rp8 juta/bulan.
Sayangnya, insentif yang diberikan juga tidak berorientasi pada peningkatan daya saing industri atau pada upaya mendorong peningkatan permintaan. Sebagai contoh, insentif PPh 21 untuk buruh padat karya penerima gaji Rp4,8 juta- Rp10 juta/bulan. Buruh di Jakarta tentu akan sangat menikmati fasilitas ini, namun sayangnya mayoritas buruh di berbagai daerah bahkan belum mencapai ambang batas gaji tersebut, yang artinya kebijakan tersebut tidak berdampak signifikan pada kesejahteraan buruh.
Dominasi Jasa sebagai Kejatuhan Kelas Pekerja
Ketika sektor industri mengindikasikan kejatuhannya, sektor jasa justru tumbuh pesat dan menjadi sektor utama penyerap tenaga kerja dalam dua dekade terakhir. World Bank mencatat pada 2001 keterserapan tenaga kerja Indonesia ke sektor jasa hanya sebesar 35%, dan naik menjadi 50% pada 2022. Namun sayangnya ini bukanlah kabar baik sepenuhnya. Dalam kenyataannya, pertumbuhan sektor jasa di Indonesia sebagian besar ditopang oleh pekerjaan informal, dari pengemudi ojek daring, kasir swalayan, kurir logistik, hingga pekerja di sektor ritel.
Hal tersebut dibuktikan dengan kontribusi sektor jasa terhadap PDB yang hanya 42%. Bandingkan dengan negara-negara berpendapatan menengah lainnya yang kontribusi sektor jasanya di atas 50%. Selain itu mayoritas pekerja di sektor jasa malah terserap ke sektor informal. Badan Pusat Statistik mencatat pada Februari 2025 porsi pekerja informal bahkan mencapai 59,40%.
Janji Prabowo untuk menciptakan 19 juta lapangan pekerjaan yang layak dalam realitanya justru berbanding terbalik. Yang tumbuh bukanlah lapangan pekerjaan melainkan badai pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai sektor strategis. Belum lagi banyak industri-industri, dan ritel-ritel bersejarah yang pernah menjadi tulang punggung perekonomian dan sumber penghidupan para buruh, justru berguguran satu per satu.
Inilah potret nyata dari kejatuhan industri dan rentannya sektor jasa kita. Meskipun saat ini mayoritas buruh bekerja di sektor jasa yang secara historis menjanjikan mobilitas sosial, namun dalam kenyataannya pekerjaan tersebut justru tidak dapat menjamin masa depan yang lebih baik bagi para pekerjanya.
Dari Kejatuhan Menuju Kebangkitan
Meski situasi tampak suram, bukan berarti jalan telah tertutup sepenuhnya. Jika kejatuhan ini terjadi karena persoalan struktural, maka kebangkitan kelas pekerja hanya mungkin dicapai melalui pembenahan struktural.
Solusi atas situasi ini harus menyasar akar-akar strukturalnya. Pertama, arah industrialisasi harus bergeser dari sektor padat karya berupah rendah ke sektor bernilai tambah tinggi berbasis riset dan teknologi. Negara harus memberi insentif kepada industri yang berkomitmen pada transfer teknologi dan peningkatan keterampilan tenaga kerja lokal. Kedua, perlindungan ketenagakerjaan harus diperkuat. Sistem kontrak jangka pendek dan outsourcing harus dihapus, serta perlindungan sosial diperluas hingga ke sektor informal.
Ketiga, pendidikan dan pelatihan kerja harus direformasi agar mampu menjawab kebutuhan era digital dan otomatisasi, dengan menekankan pada reskilling dan upskilling. Keempat, sistem perpajakan perlu difungsikan sebagai alat untuk redistribusi nilai tambah. Ini berarti pajak tak hanya mengisi kas negara, tetapi juga harus mampu mengurangi ketimpangan. Melalui pajak progresif pada korporasi besar, negara dapat menarik sebagian keuntungan untuk dialokasikan kembali kepada kelas pekerja dalam bentuk perlindungan sosial atau pelatihan keterampilan. Terakhir, perlu dibangun aliansi sosial politik bagi kelas pekerja lintas sektor agar suara mereka terwakili dalam kebijakan publik.
Kita menjadi saksi dari ironi yang paling getir. Banyak para pekerja yang bekerja mati-matian namun tetap terjebak dalam kemiskinan. Maka, kejatuhan kelas pekerja bukan lagi soal kehilangan atau kesulitan menemukan pekerjaan, melainkan tentang hilangnya keyakinan bahwa kerja keras akan memberi kehidupan yang lebih layak, dan yang tersisa hanyalah rasa lelah tanpa ujung, akibat sistem yang tak pernah benar-benar memihak para pekerja.