Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan menjadi informan penelitian mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal UI, Herbagus. Ia tengah menulis skripsi bertema kepatuhan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP).
Diskusi kami membuka banyak perspektif: Mengapa masih banyak wajib pajak yang belum taat melaporkan SPT? Apa saja hambatannya? Dan bagaimana cara meningkatkan kepatuhan tanpa sekadar mengandalkan sanksi atau imbauan administratif?
Kepatuhan Pajak sebagai Budaya
Dalam diskusi dengan Herbagus, saya tekankan bahwa kepatuhan pajak, termasuk pelaporan SPT, tidak cukup hanya dengan pendekatan kewajiban administratif semata. Kepatuhan pajak perlu dijadikan sebagai budaya.
Sering kali, wajib pajak menunda bahkan menghindari pelaporan SPT bukan karena niat menghindar dari pajak, melainkan karena:
-
Tidak paham prosedur
-
Takut salah isi atau keliru hitung
-
Merasa pajak hanya urusan orang besar
-
Minim rasa memiliki terhadap manfaat pajak
Hal inilah yang menyebabkan timbulnya gap yang semakin lebar antara potensi kepatuhan dan realisasinya.
Peran Pendekatan Kultural
Saya berbagi dengan Herbagus, bahwa salah satu pendekatan penting adalah pendekatan kultural. Artinya, pegawai pajak (fiskus) tidak cukup hadir hanya sebagai penagih di waktu jatuh tempo. Mereka harus membaur, hadir, dan terlibat sejak awal saat wajib pajak mulai merintis usahanya atau memulai aktivitas ekonomi.
Kepatuhan akan lebih mudah tumbuh bila wajib pajak merasa bahwa mereka didampingi, bukan ditakuti, dimengerti kondisi riilnya, dan dihargai kontribusinya.
SDM Terbatas? Kolaborasi Jadi Kunci
Kita akui bahwa DJP tidak bisa bekerja sendirian. Jumlah fiskus terbatas dibanding luasnya Indonesia dan ragam wajib pajak. Karena itu, saya melihat kolaborasi sebagai jalan keluar yang sangat strategis. Melalui kolaborasi dengan kampus-kampus, mahasiswa bisa menjadi agen literasi pajak di daerah, sekaligus mendapatkan pengalaman praktis yang bermanfaat.
Kolaborasi dengan pemerintah daerah, di mana parat desa, kelurahan, hingga kecamatan adalah figur yang dekat dengan masyarakat. Sektor swasta juga bisa dilibatkan melalui CSR. Banyak pengusaha muda yang enggan datang jika acara hanya berjudul “sosialisasi pajak.” Namun, jika diselipkan dalam program CSR yang lebih luas, edukasi pajak bisa masuk secara halus.
Selain itu, kolaborasi bisa pula dilakukan melalui pemanfaatan media sosial dan teknologi digital. Generasi muda kini lebih mudah disentuh lewat konten yang relatable dan edukatif di platform digital.
Pesan Pajak dalam Proyek
Saya juga mengemukakan ide tentang cara sederhana namun kuat untuk meningkatkan kesadaran pajak, yaitu menyematkan pesan edukatif dalam proyek-proyek publik.
Alih-alih memasang foto pejabat, jauh lebih bermanfaat jika misalnya di sebuah jalan desa baru terpasang plang bertuliskan:
“Jalan ini dibangun dari uang pajak Anda. Terima kasih telah melapor dan membayar pajak.”
Pesan seperti demikian bisa menumbuhkan rasa kepemilikan. Wajib pajak merasa kontribusinya nyata dan kembali ke masyarakat. Itulah benih awal tumbuhnya kepatuhan sukarela.
Perlu Pendekatan Berlapis
Diskusi kami menegaskan bahwa meningkatkan kepatuhan pelaporan SPT memerlukan strategi berlapis:
-
Penyederhanaan prosedur dan aplikasi pelaporan.
-
Sosialisasi kreatif dan berbasis kebutuhan lokal.
-
Penegakan hukum yang tegas untuk yang membandel.
-
Edukasi publik yang konsisten.
-
Kolaborasi multi-pihak agar jangkauan lebih luas.
Agar terbangun budaya kepatuhan pajak, tidak bisa hanya dengan cara menakut-nakuti dengan sanksi. Kepatuhan butuh rasa percaya dan rasa memiliki. Indonesia bisa mencapai level kepatuhan pajak yang lebih baik, asalkan semua pihak bersinergi, mulai dari negara, dunia usaha, hingga akademisi.