Kebijakan pemungutan PPh Pasal 22 atas transaksi e‑commerce di mana platform berperan sebagai pemungut pajak otomatis sebesar 0,5 % dari omzet per transaksi muncul sebagai upaya pemerintah memperluas basis pajak digital dan menutup celah ekonomi bayangan. Sebelumnya, banyak pelaku usaha mikro dan kecil menunda atau bahkan menghindari pelaporan SPT karena prosedur manual yang rumit dan memakan waktu. Dengan skema withholding tax di level marketplace, beban menghitung dan menyetor pajak berpindah ke platform, sehingga penjual dapat fokus pada operasional tanpa khawatir kelalaian administrasi. Model ini menekan risiko human error, memudahkan pemerintah dalam mencatat setiap transaksi secara real time, dan secara signifikan mengurangi compliance gap yang diperkirakan menggerogoti potensi penerimaan triliunan rupiah setiap tahunnya.
Secara makro, proyeksi dampak fiskal dari skema ini sangat menggoda. Lembaga riset idEA bekerja sama dengan Google, Temasek, dan Bain memperkirakan nilai transaksi e‑commerce Indonesia mencapai Rp 1.800 triliun pada 2025. Meski tarif 0,5 % terkesan kecil pada setiap transaksi, akumulasi potensi penerimaan dapat menyentuh puluhan triliun rupiah per tahun. Tambahan anggaran ini penting untuk meningkatkan rasio pajak Indonesia yang saat ini berada di kisaran 11–12 % dari PDB lebih mendekati rata‑rata OECD di sekitar 34 %. Dengan ruang fiskal yang lebih longgar, pemerintah dapat menambah subsidi UMKM, memperkuat infrastruktur digital Direktorat Jenderal Pajak, atau memberikan stimulus pada sektor-sektor strategis tanpa perlu menaikkan tarif PPN atau PPh konvensional.
Di sisi lain, skema ini memupuk persaingan yang lebih adil antara pelaku usaha offline dan online. Selama ini pedagang tradisional rutin membayar retribusi pasar, PPN, dan PPh sesuai tarif, sedangkan penjual daring sering luput dari pantauan fiskus. Dengan platform sebagai pemungut otomatis, omzet dan transaksi penjual online tercatat secara transparan, mendorong mereka untuk “naik kelas” ke ranah formal. Data transaksi yang terintegrasi ini juga mempermudah akses pembiayaan bagi UMKM, karena riwayat omzet digital kini dapat dijadikan jaminan di lembaga keuangan. Namun, keadilan sejati baru terasa jika kebijakan ini mempertimbangkan struktur biaya dan margin setiap sektor usaha, bukan semata berbasis omzet kotor.
Ketimpangan teknis menjadi sorotan utama di kalangan praktisi. Skema berbasis omzet kotor memotong 0,5 % tanpa memedulikan seberapa tipis margin keuntungan. Untuk pelaku usaha dengan margin bersih 3 %, potongan 0,5 % omzet sama artinya menggerus sekitar 17 % dari laba bersih mereka. Tekanan seperti ini memperburuk likuiditas dan mempersulit reinvestasi, terlebih saat modal kerja diperlukan untuk restock barang. Ditambah lagi sampai dengan saat ini, pengenaan PPh Pasal 22 tidak memandang apakah pelaku usaha memperoleh laba bersih atau merugi, sehingga menambah beban lagi.
Sementara itu, muncul kritik bahwa kebijakan PPh 22 belum menyentuh revenue model digital global. Perusahaan besar seperti Google, Meta, Amazon, dan Netflix yang meraup pendapatan iklan, data pengguna, dan langganan dari pasar Indonesia hampir bebas pajak atas profit mereka. Padahal, nilai transaksi digital asing ini diperkirakan dua hingga tiga kali lipat nilai e‑commerce domestik. Tanpa adanya Digital Services Tax (DST) nasional, skema PPh 22 hanya menambal sebagian kecil “lubang besar” keadilan fiskal digital. Beberapa ekonom menekankan pentingnya merancang DST domestik dengan tarif 2–3 % atas gross revenue perusahaan global yang melayani pasar Indonesia, sehingga kontribusi fiskal mencerminkan skala dan sumber profit secara lebih merata.
Resistensi Pelaku Usaha
Faktor kepercayaan publik menjadi ujian berat dalam implementasi pajak bagi pelaku usaha di e-commerce. Kegagalan implementasi Core Tax Administration System (CTAS) sebelumnya menimbulkan skeptisisme bahwa infrastruktur data pajak belum siap menangani volume transaksi real time. Pelaku UMKM khawatir potongan otomatis dapat macet, double charge, atau hilang tanpa kejelasan, sebab back‑end DJP sempat mengalami gangguan berulang. Selain itu, minimnya transparansi mengenai alokasi penerimaan tambahan apakah dana ini benar-benar digunakan untuk memperbaiki layanan fiskal digital atau justru “lenyap” ke pos lain membuat seller ragu untuk menerima kebijakan baru ini. Untuk meredam keraguan, pemerintah perlu menerbitkan laporan triwulanan terbuka yang memuat volume transaksi, realisasi penerimaan, serta proyek-proyek yang didanai, disertai audit independen.
Gambaran dampak kebijakan pada satu pelaku usaha sehari-hari dapat dilihat pada studi kasus “Toko Rasa Kita”, sebuah toko online yang menjual keripik pedas. Dengan omzet bulanan sekitar Rp 50 juta dan margin bersih 5 %, pemilik harus menanggung potongan 0,5 % × Rp 50 juta = Rp 250.000 setiap bulan. Jumlah ini setara 10 % dari profit bersih mereka, belum lagi ada biaya tambahan dari platform e-commerce dalam bentuk biaya administratif sehingga margin yang diterima semakin tipis, atau bahkan laba yang diterima hanya bisa menutupi biaya HPP (break-even point)
Oleh karena itu diperlukan strategi dalam memitigasi dampak negatif dan menjaga keadilan. Pertama, terapkan threshold bertahap dengan memulai pemungutan pada usaha menengah‑besar misal omzet Rp 2–4,8 miliar lalu evaluasi setiap semester sebelum menjangkau UMKM kecil. Kedua, siapkan mekanisme refund atau tax credit otomatis bagi penjual dengan omzet di bawah threshold atau margin rendah, agar tidak terjadi beban berlebih pada cash flow mereka. Ketiga, adakan dialog terbuka dan berkelanjutan dengan asosiasi e‑commerce dan perwakilan UMKM untuk menyerap masukan teknis dan psikososial, sekaligus membangun kepercayaan melalui transparansi. Keempat, susun rancangan DST domestik yang menarget gross revenue digital global, guna menutup celah keadilan fiskal digital.
Akhirnya, efektivitas kebijakan PPh 22 e‑commerce sangat bergantung pada keseimbangan antara peningkatan penerimaan negara dan perlindungan terhadap kelangsungan usaha mikro dan kecil. Jika dijalankan tanpa desain inklusif, mekanisme proteksi, dan transparansi, skema 0,5 % justru dapat memicu resistensi, mendorong pelaku usaha kembali ke informal economy, dan memperlebar ketimpangan ekonomi digital. Sebaliknya, bila diimplementasikan secara bertahap, berbasis data, dan disertai komitmen kuat untuk keadilan fiskal, kebijakan ini memiliki potensi menegakkan persaingan yang adil, memperluas basis pajak, serta mendorong transisi ekonomi Indonesia menuju era digital yang inklusif, berkelanjutan, dan tangguh. Dengan demikian, inovasi perpajakan digital bukan sekadar soal memaksimalkan penerimaan, melainkan tentang membangun ekosistem usaha yang adil, inklusif, dan resilient.