Sejak resmi diluncurkan, Core Tax Administration System (CTAS) yang digadang-gadang menjadi bagian penting dari transformasi digital perpajakan Indonesia masih menuai sejumlah kendala.
Imbasnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-24/PJ/2025 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak Tertentu, sebelum mengalami perubahan dalam KEP-54/PJ/2025. Dalam KEP-54/PJ/2025 Kemenkeu menetapkan bahwa seluruh pengusaha kena pajak (PKP) dapat kembali menggunakan aplikasi e-Faktur Desktop, usai dalam KEP-24/PJ/2025 penggunaan kembali e-Faktur hanya berlaku bagi PKP tertentu.
Seacara historis, CTAS telah diwacanakan sejak 2018, melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018. Namun, hingga Februari 2025 CTAS jauh dari kata rampung apalagi layak digunakan. Dengan besarnya biaya pengembangan CTAS hingga mencapai Rp1,3 triliun yang bahkan jauh lebih tinggi dari pengembangan AI canggih seperti deepseek (Rp97 miliyar), tentunya memunculkan harapan besar dari para wajib pajak (WP), pengusaha kena pajak (PKP) terutama masyarakat.
Lantas, bagaimana pemerintah dapat menjelaskan kepada publik mengenai penggunaan dana besar untuk pengembangan CTAS, namun dengan hasil yang terlampau jauh dari harapan publik?
Dari Kepatuhan Menjadi Keengganan
Selama 2024, pemerintah konsisten menggaungkan CTAS sebagai simbol reformasi administrasi perpajakan dan modernisasi yang diklaim akan meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kepatuhan pajak. Namun, ketika dihadapkan pada realitas, narasi reformasi justru berujung pada kontradiksi, kompromi, bahkan ketidakkonsistenan kebijakan.
CTAS yang diharapkan mampu menjadi tulang punggung perpajakan berbasis digital, sayangnya sejak awal implementasinya, justru menimbulkan sejumlah kekacauan. Dalam menghadapi kekacauan tersebut, pemerintah malah menerbitkan kebijakan yang kompromistis berupa KEP-54/PJ/2025, yang membuka kembali opsi e-Faktur bagi seluruh PKP.
Alih-alih berkomitmen pada perbaikan CTAS, pemerintah seolah mundur dan mengakui bahwa CTAS belum siap. Hal ini diperteruk dengan tidak adanya kepastian kapan masa transisi ini akan berakhir. Tak ayal langkah tersebut memunculkan dualitas sikap. Satu sisi pemerintah meminta wajib pajak untuk bersiap menghadapi era perpajakan digital, di sisi lain hingga kini pemerintah tidak bisa menjamin kapan CTAS akan benar-benar berfungsi tanpa kendala. Reformasi pajak yang seharusnya membawa kepastian justru menyisakan ketidakjelasan dan kebingungan bagi sebagian besar masyarakat.
Pertanyaanya jika pemerintah sendiri tidak yakin dengan CTAS, mengapa publik dipaksa untuk mempercayainya? Jika sistem ini memang dirancang untuk mendukung WP atau PKP, maka seharusnya merekalah yang paling diuntungkan, bukan justru menjadi pihak yang paling terdampak oleh ketidaksiapan sistem dan ketidakkonsistenan kebijakan. Ketika aturan terus berubah tanpa kepastian, sementara sistem masih bermasalah, wajar adanya jika publik menjadi skeptis.
Pada dasarnya, sistem perpajakan digital yang baik harus memastikan kemudahan dalam proses administrasinya, sehingga wajib pajak dapat memenuhi kewajiban dengan lebih efisien. Jika sistem digital justru memperumit proses, maka beban administrasi WP juga meningkat. UMKM bisa menjadi korban utama, karena mereka sering kali tidak memiliki kapasitas teknis maupun sumber daya yang mumpuni untuk mengatasi berbagai kendala dalam sistem perpajakan.
Selanjutnya, Jika CTAS terus dibiarkan tanpa perbaikan yang signifikan, maka upaya pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan pajak hanya berujung pada keengganan masyarakat untuk patuh membayar pajak, mengapa? Satu sisi pemerintah mengharapkan tingkat kepatuhan yang tinggi, tetapi di sisi lain sistem yang sulit diakses dan kerap mengalami gangguan justru membuat WP merasa dipersulit. Secara psikologis, hal ini dapat memicu resistensi, di mana kepatuhan pajak bukan lagi dipandang sebagai kewajiban, melainkan sebagai beban yang menyulitkan.
Alih-alih mendorong kepatuhan dan efisiensi, sistem perpajakan digital yang tidak siap justru berisiko menjadi beban tambahan bagi dunia usaha, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan memperburuk kepatuhan pajak. Efek dominonya, ketika CTAS yang bahkan telah memakan uang negara sebesar Rp1,3 triliun terus bermasalah, masyarakat bisa mulai mempertanyakan kompetensi pemerintah dalam mengelola pajak yang mereka setorkan.
Efek Domino Kekacauan CTAS
Kepercayaan terhadap sistem perpajakan memiliki dampak langsung pada tingkat kepatuhan wajib pajak. Laporan Bank Dunia (2024) mengungkapkan bahwa sekitar 25% perusahaan di Indonesia terlibat dalam penghindaran pajak, terutama karena mereka menganggap administrasi pajak sebagai beban yang berat.
Situasi ini diperteruk oleh CTAS yang terus bermasalah, bukan tidak mungkin praktik penghindaran pajak akan semakin masif dilakukan oleh WP ataupun PKP. Sistem yang sering mengalami kendala teknis, bahkan sulit diakses, justru akan mendorong WP dan PKP untuk mencari cara menghindari kewajiban mereka, baik secara legal (tax avoidance) maupun ilegal (tax evasion).
Studi dari International Monetary Fund (IMF, 2021) dan World Bank (2020) menunjukkan bahwa ketidakstabilan sistem administrasi pajak berkorelasi dengan meningkatnya ekonomi informal dan melemahnya kepatuhan pajak di banyak negara. Jika sistem perpajakan dianggap terlalu membebani atau sulit digunakan, maka WP cenderung akan menghindari kewajiban pajak mereka dengan memanfaatkan celah regulasi untuk meminimalkan kewajiban pajaknya.
Ancaman meningkatnya partisipasi PKP ke ekonomi informal juga bisa menjadi keniscayaan. Jika sistem perpajakan dianggap terlalu membebani atau sulit digunakan, WP cenderung akan menghindari pencatatan transaksi secara transparan atau bahkan memanfaatkan celah regulasi untuk meminimalkan kewajiban pajaknya.
Jika CTAS dibiarkan terus bermasalah tanpa solusi konkret, dampak jangka panjangnya jauh lebih besar dan distruktif, bukan hanya kepatuhan yang akan tergerus, namun akan berpengaruh terhadap stabilitas perekonomian. Mungkin terdengar berlebihan, namun sistem perpajakan yang serampangan akan berdampak pada penurunan rasio pajak terhadap PDB (tax ratio), melemahnya penerimaan negara, hingga meningkatnya defisit fiskal akibat kurangnya pemasukan dari sektor perpajakan. Oleh karena itu, perbaikan CTAS harus menjadi prioritas utama untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar dan destruktif dikemudian hari.
Perbaiki CTAS!
Ketika pemerintah memilih jalur regulasi ketimbang fokus memperbaiki CTAS, kebijakan pajak justru semakin menjauh dari esensi reformasi yang sesungguhnya. Alih-alih menciptakan sistem yang lebih transparan dan efisien, pemerintah justru sibuk merilis aturan kompromistis yang semakin memperumit situasi. Jika CTAS terus dibiarkan bermasalah, maka bukan hanya kepatuhan pajak yang terancam, tetapi juga legitimasi pemerintah dalam mengelola penerimaan negara juga akan dipertanyakan.
Kepercayaan publik tidak bisa dibangun hanya dengan janji-janji digitalisasi. Tanpa komitmen nyata dalam memperbaiki sistem, masyarakat akan semakin melihat pajak sebagai beban ketimbang kewajiban. Pemerintah harus menyadari bahwa reformasi pajak bukan sekadar soal aturan, melainkan soal bagaimana kebijakan yang diambil benar-benar memudahkan, bukan justru menambah beban bagi wajib pajak.
Jika modernisasi perpajakan memang menjadi tujuan paripurna, maka langkah utama yang harus dilakukan bukan mengubah regulasi berulang kali, melainkan memastikan CTAS benar-benar bekerja sebagaimana mestinya. Selain itu pemerintah juga perlu mentapkan tenggat waktu masa transisi, agar CTAS dapat segera digunakan dan tidak menimbulkan masalah berkepanjangan.
Saatnya pemerintah fokus pada perbaikan substansial, bukan sekadar berulangkali merevisi aturan. Hanya dengan komitmen nyata dan sistem yang efisien, kepercayaan publik dapat terbentuk kembali.