Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Selasa, 3 Juni 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Diskursus: Sejauh Mana Efektivitas Insentif Fiskal?

Lambang Wiji ImantorobyLambang Wiji Imantoro
14 April 2025
in Analisis, Artikel
Reading Time: 4 mins read
127 8
A A
0
Ilustrasi pemberian insentif fiskal

Sumber: Freepik

154
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Dalam menghadapi gejolak ekonomi global yang tidak menentu serta tantangan domestik seperti ketimpangan, pengangguran, dan inflasi, pemerintah Indonesia secara aktif menggunakan kebijakan fiskal sebagai instrumen utama untuk menstimulasi perekonomian. Salah satu wujud konkrit dari strategi tersebut adalah pemberian insentif fiskal, baik dalam bentuk pengurangan beban pajak, subsidi, bantuan langsung tunai, hingga stimulus sektoral.

Namun, seiring bertambahnya beban fiskal dan keterbatasan ruang anggaran, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana insentif-insentif tersebut efektif dalam menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan sektor-sektor strategis? Secara teoritik, insentif fiskal merupakan bagian dari kebijakan fiskal ekspansif yang bertujuan meningkatkan aktivitas ekonomi dengan memperbesar disposable income masyarakat atau menurunkan biaya produksi sektor usaha.

Dalam konteks Indonesia, insentif fiskal telah digunakan secara masif terutama sejak pandemi COVID-19 merebak pada 2020. Pada saat pendemi Covid-19 di 2020 lalu, Pemerintah menggelontorkan anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan total Rp579,78 triliun, yang meningkat menjadi Rp744,77 triliun pada 2021. Dari anggaran tersebut, sebagian besar dialokasikan untuk perlindungan sosial dan dukungan sektor usaha, termasuk bantuan langsung tunai, subsidi listrik, pembebasan PPh final UMKM, dan diskon PPN sektor properti dan otomotif.

Efektivitas Insentif Fiskal

Jika dilihat dari sisi konsumsi rumah tangga, insentif tersebut memang sempat memberikan bantalan penting. Pada kuartal II tahun 2020, ketika pandemi mencapai puncaknya, konsumsi rumah tangga Indonesia terkontraksi -5,52 persen. Namun, setelah berbagai insentif dikucurkan, laju kontraksi mulai menurun dan akhirnya kembali tumbuh positif pada kuartal II tahun 2021 sebesar 5,93 persen. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi fiskal berhasil menjaga daya beli dalam jangka pendek, terutama bagi kelompok rentan.

Namun efektivitasnya menjadi lebih kompleks ketika ditinjau dari aspek keberlanjutan dan ketepatan sasaran. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2022 menyebutkan bahwa sebagian bantuan sosial dan insentif fiskal selama pandemi tidak tepat sasaran. Sebanyak 10 juta data penerima bansos ditemukan ganda atau tidak valid. Selain itu, penyaluran insentif sektor informal masih jauh dari optimal karena banyak pelaku usaha mikro tidak terdaftar dalam sistem perpajakan atau tidak memiliki akses perbankan yang memadai. Dengan kata lain, meski insentif tersedia, daya serapnya di level akar rumput masih terbatas.

Sementara dari sisi dukungan terhadap sektor strategis, pemerintah juga telah menyalurkan berbagai insentif untuk mendorong pertumbuhan jangka menengah dan panjang. Sektor manufaktur, yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional, mendapatkan fasilitas seperti tax holiday dan super deduction tax untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D) serta pelatihan vokasi.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128 Tahun 2019, misalnya, memberikan pengurangan penghasilan bruto hingga 200 persen untuk perusahaan yang menyelenggarakan pelatihan kerja. Namun, menurut data Kementerian Keuangan, realisasi pemanfaatan insentif ini masih minim. Hingga tahun 2022, hanya sekitar 30 perusahaan yang mengakses fasilitas super deduction tax untuk vokasi, dan sebagian besar berasal dari korporasi besar, bukan UMKM.

Demikian pula dalam sektor pariwisata, insentif fiskal seperti diskon tiket pesawat dan hibah ke daerah pariwisata sempat diberikan pada tahun 2020-2021. Namun, dampaknya tidak cukup signifikan karena pembatasan mobilitas dan lemahnya permintaan masyarakat. Menurut data BPS, kontribusi sektor akomodasi dan makan minum terhadap PDB baru pulih ke level pra-pandemi pada akhir 2023, menunjukkan pemulihan yang lambat meski disokong insentif.

Insentif Fiskal Rawan Ciptakan Moral Hazard?

Salah satu masalah utama dari pemberian insentif fiskal di Indonesia adalah kecenderungan desain kebijakan yang terlalu bersifat jangka pendek, berbasis anggaran tahunan, dan kurang terintegrasi dengan kebijakan struktural lainnya. Alih-alih menjadi alat yang mendorong transformasi ekonomi, insentif fiskal sering kali digunakan sebagai “pemadam kebakaran” untuk merespons krisis. Tidak heran bila efeknya cepat menguap begitu stimulus dihentikan.

Dalam beberapa kasus, insentif juga rawan menciptakan distorsi pasar dan moral hazard. Misalnya, pemberian tax holiday kepada investor asing yang tidak dibarengi dengan kewajiban transfer teknologi atau penciptaan lapangan kerja berkualitas hanya akan memperkuat ketergantungan pada modal luar tanpa meningkatkan kapasitas domestik. Bahkan, studi dari OECD (2021) menunjukkan bahwa insentif pajak yang tidak transparan dapat menjadi ladang penyalahgunaan dan merugikan negara hingga 1-2 persen dari PDB setiap tahunnya, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.

Selain efektivitasnya yang masih dipertanyakan, sistem monitoring dan evaluasi (M&E) dari kebijakan insentif fiskal juga relatif lemah. Pemerintah jarang melakukan evaluasi berbasis data terhadap hasil dari pemberian insentif tertentu. Akibatnya, banyak program yang terus dilanjutkan meski tidak memberikan hasil optimal. Misalnya, insentif PPN 0 persen untuk rumah dengan harga tertentu pernah dikritik karena justru menguntungkan segmen masyarakat menengah ke atas, sementara kelompok bawah tetap kesulitan mengakses hunian layak.

Ke depan, efektivitas insentif fiskal dapat ditingkatkan melalui beberapa pendekatan. Pertama, desain insentif perlu diarahkan untuk mendukung agenda transformasi struktural seperti industrialisasi hijau, digitalisasi UMKM, dan pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Insentif tidak hanya untuk meredam gejolak, tetapi juga mendorong inovasi dan efisiensi sektor strategis. Kedua, perlu ada penguatan data terpadu berbasis NIK dan integrasi antara kebijakan fiskal, sosial, dan ketenagakerjaan agar intervensi lebih tepat sasaran. Ketiga, sistem monitoring dan evaluasi harus diperkuat, dengan indikator keberhasilan yang jelas dan transparan. Laporan berkala tentang dampak insentif fiskal harus menjadi bagian dari akuntabilitas publik.

Selain itu, kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah juga penting dalam menentukan skema insentif yang kontekstual. Misalnya, daerah dengan potensi industri kreatif dapat diberikan insentif berbasis kawasan untuk mengembangkan ekosistem usaha mikro dan start-up. Pendekatan semacam ini memungkinkan insentif fiskal tidak hanya sebagai alat stabilisasi, tetapi juga sebagai instrumen pembangunan jangka panjang.

Pada akhirnya, insentif fiskal hanya akan efektif jika dijalankan secara tepat sasaran, tepat waktu, dan disertai dengan reformasi struktural lainnya. Menjaga daya beli masyarakat bukan hanya tentang memberi bantuan, tetapi tentang membangun sistem ekonomi yang adil dan inklusif.

Demikian pula, mendorong sektor strategis tidak cukup dengan pemotongan pajak, melainkan memerlukan dukungan dalam bentuk regulasi yang kondusif, infrastruktur yang memadai, dan sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan demikian, kebijakan fiskal Indonesia akan benar-benar mampu menjadi jangkar pemulihan dan pendorong pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.

 

Share62Tweet39Send
Previous Post

Penerapan ESG dalam Dunia Bisnis Era Modern

Next Post

Keadilan Program Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor

Lambang Wiji Imantoro

Lambang Wiji Imantoro

Related Posts

Sumber: Freepik
Artikel

Menanti Panduan Pelatihan ESG Nasional

2 Juni 2025
Artikel

Perpajakan Berkelanjutan di Era IFRS S1 dan S2

2 Juni 2025
Sumber: Freepik
Analisis

Pajak untuk Pemerataan Literasi

30 Mei 2025
Sumber: Freepik
Artikel

Peneliti PRINS Berbagi Perspektif Terkait Pajak Daerah dan Cukai MBDK

28 Mei 2025
SP2DK
Artikel

Menakar Intensifikasi SP2DK di Era CTAS

26 Mei 2025
Ilustrasi tax amnesty
Analisis

Diskursus: Apakah Kebijakan Tax Amnesty Bersifat Ekses?

23 Mei 2025
Next Post
Pemutihan Pajak

Keadilan Program Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor

Enron dan Dieselgate: Dua Kasus yang Membentuk Masa Depan ESG dan Tata Kelola Global

Ilustrasi trade war

Strategi Fiskal terkait Tarif Resiprokal Amerika Serikat

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1466 shares
    Share 586 Tweet 367
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    943 shares
    Share 377 Tweet 236
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    918 shares
    Share 367 Tweet 230
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    760 shares
    Share 304 Tweet 190
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    728 shares
    Share 291 Tweet 182
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.