Dalam menghadapi perubahan dinamika ekonomi global dan persaingan investasi yang semakin ketat, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) bersama Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tengah mengevaluasi efektivitas dan keberlanjutan kebijakan tax holiday. Insentif fiskal ini, yang selama ini diberikan untuk menarik investasi di sektor-sektor prioritas, kini berada di persimpangan—apakah masih menjadi strategi yang optimal dalam menarik investasi berkualitas, atau perlu disesuaikan dengan pendekatan kebijakan yang lebih adaptif?
Evaluasi ini menjadi krusial mengingat meningkatnya tekanan terhadap kebijakan fiskal yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan. Pemerintah perlu memastikan bahwa tax holiday benar-benar memberikan nilai tambah ekonomi yang konkret, bukan sekadar menjadi fasilitas yang mengurangi beban pajak tanpa dampak signifikan terhadap pertumbuhan investasi jangka panjang. Dalam konteks ini, dampak nyata dari tax holiday terhadap penciptaan lapangan kerja, peningkatan kapasitas industri dalam negeri, serta transfer teknologi harus menjadi parameter utama dalam menilai efektivitasnya.
Di sisi lain, tren global menunjukkan bahwa banyak negara mulai beralih dari pendekatan insentif pajak konvensional ke strategi yang lebih targeted dan berbasis produktivitas. Skema seperti super deduction tax untuk riset dan inovasi, insentif berbasis kinerja (performance-based incentives), hingga insentif hijau untuk investasi berkelanjutan kini lebih banyak digunakan sebagai instrumen kebijakan yang tidak hanya menarik investasi tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berdaya saing.
Baca juga : Ahli Pajak: Ketidakpastian Hukum Bikin Tax Holiday Tak Menarik
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk meninjau kembali arah kebijakan tax holiday agar tetap relevan dengan kebutuhan ekonomi saat ini. Jika tetap dipertahankan, maka perlu ada mekanisme kontrol yang lebih ketat agar insentif ini tidak hanya menguntungkan investor, tetapi juga berkontribusi nyata terhadap pembangunan nasional. Di tengah meningkatnya tuntutan transparansi dan akuntabilitas kebijakan fiskal, apakah tax holiday masih menjadi instrumen terbaik untuk menarik investasi, ataukah sudah saatnya Indonesia beralih ke strategi insentif yang lebih cerdas dan berorientasi pada dampak jangka panjang
Tax Competition dan Insentif Pajak
Dalam persaingan ekonomi global, negara-negara berlomba menarik investasi dengan menawarkan berbagai insentif pajak. Namun, kompetisi ini berisiko memicu fenomena race to the bottom, di mana negara terus menurunkan pajaknya tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap stabilitas fiskal. Alexander Klemm (2009) menyoroti bahwa tax competition menjadi faktor utama dalam penerapan insentif pajak, tetapi pertanyaannya, apakah strategi ini benar-benar menguntungkan dalam jangka panjang atau justru menciptakan ketergantungan yang merugikan?
Tax holiday adalah salah satu insentif pajak yang paling banyak digunakan, tetapi sering kali lebih menguntungkan investasi jangka pendek yang cepat meraup keuntungan, tanpa sejalan dengan prioritas pembangunan nasional. Lebih buruk lagi, transparansi dalam implementasi tax holiday masih lemah, sehingga manfaat yang diperoleh perusahaan tidak selalu sebanding dengan potensi pajak yang hilang. Praktik rent-seeking juga kerap terjadi, di mana perusahaan melobi perpanjangan insentif, menjadikan tax holiday beban fiskal yang berkepanjangan.
Dalam konteks global, penerapan Global Minimum Tax (GMT) semakin membatasi efektivitas tax holiday, karena pemotongan pajak di negara tujuan investasi kini dapat diklaim kembali oleh negara asal perusahaan. Hal ini membuat negara berkembang yang bergantung pada tax holiday kehilangan daya saingnya, sementara penerimaan pajak tetap tidak optimal.
Meski ada argumen bahwa penurunan pajak dapat menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi seperti yang dilakukan Singapura (Inriana & Setyowati, 2020), realitasnya, strategi ini hanya efektif jika diiringi dengan reformasi struktural, infrastruktur yang baik, dan kepastian hukum. Tanpa itu, negara hanya terjebak dalam lingkaran penurunan pajak tanpa manfaat ekonomi yang berkelanjutan.
Baca juga : Tax Holiday vs Tax Allowance, Apa Bedanya?
Daripada terus mengandalkan tax holiday yang rentan terhadap penyalahgunaan dan berisiko menciptakan jebakan fiskal, pemerintah sebaiknya beralih ke insentif berbasis produktivitas, seperti super deduction tax untuk inovasi, insentif berbasis kinerja, atau insentif hijau untuk investasi berkelanjutan. Jika tidak segera dievaluasi, tax holiday bukan hanya gagal menarik investasi berkualitas, tetapi juga semakin melemahkan kapasitas fiskal negara di masa depan..
Perhitungan Biaya dan Manfaat
Insentif pajak bisa menjadi alat yang ampuh untuk meningkatkan investasi, tetapi biaya dan manfaatnya harus dievaluasi dengan hati-hati. Meskipun tujuannya adalah untuk menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi, keputusan untuk menerapkan insentif perlu mempertimbangkan apakah insentif tersebut adalah opsi paling efektif, karena dalam beberapa kasus insentif gagal mencapai tujuan atau biayanya melebihi manfaat.
Biaya insentif pajak tidak hanya terbatas pada hilangnya pendapatan. Mereka dapat menyebabkan distorsi ekonomi, meningkatkan biaya administratif, dan mendorong perilaku rent-seeking serta korupsi. Mengukur biaya pendapatan langsung dari insentif pajak sulit karena tergantung pada apakah insentif benar-benar mendorong investasi baru atau bersifat redundant.
Sementara itu, manfaat insentif juga sulit diukur. Meskipun insentif pajak bertujuan untuk meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi, sulit untuk memisahkan dampaknya dari faktor-faktor lain. Selain itu, insentif dapat menyebabkan crowding out, di mana investasi lain yang lebih bisa dikenakan pajak terdesak oleh investasi yang mendapat insentif.
Sebagai penutup, insentif pajak memang berpotensi memberikan dampak positif terhadap perekonomian, khususnya dalam menarik investasi dan meningkatkan daya saing industri. Dengan adanya berbagai bentuk insentif seperti tax holiday, pengurangan pajak, atau pengecualian, pemerintah dapat menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif. Namun, dampak dari kebijakan ini harus diukur dengan seksama agar benar-benar memberikan manfaat yang diharapkan, tanpa mengorbankan pendapatan negara yang seharusnya bisa digunakan untuk pembiayaan kebutuhan publik lainnya.
Pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi apakah tax holiday dapat menarik investasi, tetapi apakah kebijakan ini benar-benar memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan potensi kerugiannya. Jika tax holiday terus diterapkan tanpa perhitungan yang matang, pemerintah justru berisiko menciptakan jebakan insentif yang melemahkan kapasitas fiskal negara di masa depan