Bisnis.com | 15 Mei 2024
Bisnis.com, JAKARTA – Salah satu janji presiden dan wakil presiden terpilih Pilpres 2024 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka adalah memisahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara (BOPN) yang bersifat otonom.
Salah satu tujuan dibentuknya BOPN untuk meningkatkan penerimaan perpajakan serta untuk mencapai target peningkatan tax ratio sebesar 10%—12% pada 2025. Tugas utama BOPN yaitu sebagai state revenue collection yang secara tugas masih terkait dengan Kementerian Keuangan, tetapi secara struktur langsung di bawah presiden.
Wacana pemisahan DJP dari Kemenkeu melalui pembentukan Badan Penerimaan Negara telah muncul sejak Oktober 2014, tetapi urung terlaksana lantaran pembentukannya membutuhkan perubahan terhadap beberapa UU. Pada 2016, narasi pemisahan DJP dari Kemenkeu kembali menyeruak.
Melalui naskah akademik RUU KUP 2016, pemerintah ingin memisahkan DJP dengan Kemenkeu melalui pembentukan BOPN yang bersifat semi-autonomous body. Secara UU, kehadiran BPN dimungkinkan karena sesuai dengan Pasal 4 dan Pasal 17 UUD 1945.
Dalam jurnal “Impact of Semi-Autonomous Revenue Authority on Tax Revenue and Buoyancy: Evidence from Pakistan,” terbitan Journal of Finance & Economics Research, mencatat bahwa pembentukan Federal Board of Revenue (FBR) yang merupakan badan penerimaan pajak otonom di Pakistan, kehadirannya justru tidak berdampak signifikan terhadap kenaikan tax ratio. Penyebabnya karena kurangnya pendekatan manajemen yang efisien, sistem tata kelola yang lemah, keterlibatan politik yang terlalu besar, dan yang paling penting adalah kasus korupsi. Untuk itu, jika pembentukan BOPN diyakini dapat meningkatkan tax ratio dalam waktu dekat, faktanya tidaklah demikian.
Jika pada praktiknya pembentukan BOPN yang secara tugas dan fungsi tidak berbeda dengan DJP, maka hanya akan menimbulkan pembengkakan biaya dan cenderung buang-buang waktu. UU perpajakan juga harus diubah kembali setelah kali terakhir direvisi dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpapajakan. Undang-Undang Keuangan Negara juga harus diamandemen.
PR Kolosal
Terdapat beberapa pekerjaan rumah yang urgen untuk segera dituntaskan, tiga di antaranya yang paling krusial adalah rendahnya tax ratio, rendahnya tax awareness dan tax compliance, serta masih sengkarutnya birokrasi perpajakan Indonesia. Dalam laporan OECD berjudul Revenue Statistics in Asia and Pacific 2022 (25 Juli 2022), tax ratio Indonesia berada di urutan ketiga terbawah dari 28 negara Asia Pasifik pada 2022.
Pencapaian tax ratio Indonesia pada 2023 hanya sebesar 10,21%. Sebagai negara dengan potensi pajak domestik bruto yang besar, rendahnya tax ratio tentu menjadi pekerjaan rumah yang kolosal dan berkepanjangan. Berbagai cara telah dilakukan, mulai dari menyesuaikan kebijakan, hingga mereformasi UU perpajakan, tetapi tidak membawa dampak signifikan pada tax ratio.
Bukti rendahnya tax awareness masyarakat ialah terselenggaranya tax amnesty hingga dua kali, serta masifnya keikutsertaan masyarakat golongan ekonomi atas. Menteri Keuangan menyatakan wajib pajak dengan harta Rp1 miliar hingga Rp100 miliar menjadi mayoritas peserta yang mengikuti tax amnesty. Tingkat kepatuhan pajak juga masih rendah, dibuktikan dengan data wajib pajak yang melapor SPT pada 2022 hanya mencapai 83,2%. Keterbatasan ruang gerak DJP yang hanya memiliki kewenangan membuat peraturan perpajakan sebatas aturan pelaksanaan, menjadi pemantik dari sengkarutnya birokrasi perpajakan.
Sebagai contoh, untuk aturan pelaksanaan terkait subjek, objek, dan tarif, harus dilakukan bersama-sama dengan Badan Kebijakan Fiskal dan pihak lainnya. Artinya, setiap inisiatif pembuatan dan/atau perubahan aturan perpajakan akan memerlukan proses birokrasi yang panjang dan memakan waktu lama sebelum aturan tersebut dilaksanakan. Kompleksitas persoalan menuntut pemerintah yang baru untuk menemukan formulasi yang tepat dalam meningkatkan penerimaan negara. Terlebih nasib fiskal sebuah negara sangat bergantung pada efisiensi dan efektivitas pemungutan hingga pengelolaan pendapatan negara, serta pada seberapa patuhnya warga negara dalam membayar pajak.
Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan jika kedepannya BOPN jadi dibentuk, diantaranya BOPN harus berperan aktif terhadap peningkatan literasi pajak di kalangan masyarakat, dengan harapan dapat meningkatkan tax awareness. Setelah itu, pembentukan BOPN sebaiknya diiringi dengan reformasi kebijakan perpajakan yang berorientasi pada simplifikasi aturan perpajakan. Simplifikasi ini diharapkan dapat menurunkan tingginya biaya kepatuhan pajak dan meningkatkan tax compliance wajib pajak.
Pada awal pembentukannya, regulator harus meyakinkan publik mengenai pentingnya pembentukan BOPN sebagai suatu terobosan baru dalam meningkatkan tax ratio. Regulator juga harus mencari dukungan dari berbagai pihak, terutama dukungan dari pelaku bisnis, tak terkecuali wajib pajak, agar kehadiran BOPN dianggap krusial bagi penerimaan negara.
Walaupun tidak ada garansi jika kehadiran BOPN dapat menaikkan tax ratio Indonesia dalam waktu dekat, pembentukan BOPN layak menjadi alternatif solusi yang dapat diharapkan mendongkrak tax ratio, menaikkan tax awareness, serta meningkatkan penerimaan pajak.
Penulis : Lambang Wiji Imantoro – Bisnis.com
Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “OPINI : Menerka Urgensi Pembentukan BOPN”, Klik selengkapnya di sini: https://ekonomi.bisnis.com/read/20240515/259/1765548/opini-menerka-urgensi-pembentukan-bopn.