CNBC Indonesia | 11 Juli 2024
Jakarta, CNBC Indonesia – Pendapatan negara tengah tertekan berbagai masalah, mulai dari harga komoditas yang merosot, hingga daya beli masyarakat yang anjlok. Pemerintah pun harus putar otak untuk memulihkan penerimaan negara sambil menjaga geliat aktivitas ekonomi.
Akibat berbagai tekanan itu, sebetulnya penerimaan pajak sendiri telah terkuras Rp 76,4 triliun dalam satu tahun terakhir, dari semula per Semester I-2023 mampu terkumpul Rp 970,2 triliun, menjadi hanya Rp 893,8 triliun per Semester I-2024.
“Karena kan penerimaan negara dari komoditas itu besar sekali, kemudian profit dari perusahaan komoditas juga turun kan karena harganya turun, dan daya beli turun, memang daya beli turun,” ungkap Ekonom senior sekaligus pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri dikutip Kamis (11/7/2024).
Di tengah berbagai masalah itu, Faisal berpendapat bukan saatnya pemerintah mencari sumber pendapatan negara melalui kenaikan tarif pajak, seperti rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada 2025 sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), sebab hal itu malah hanya akan menambah beban daya beli masyarakat.
Ia menilai, yang perlu dilakukan saat ini ialah menciptakan dukungan iklim ekonomi yang sehat guna mendorong kembali investasi. Caranya ialah dengan melonggarkan berbagai beban biaya pajak yang langsung dirasakan masyarakat dan pelaku industri, melalui insentif fasilitas perpajakan.
“Jadi ya tinggal yang mau diutamakan itu demi investasi. Omnibus Law memberikan fasilitas yang namanya tax holiday, tax deductible, super tax deductible segala macem gitu gitu kan,” tutur Faisal.
Pakar Pajak yang merupakan Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono pun menyarankan kepada pemerintah, di tengah lesunya daya beli masyarakat, pemerintah masih bisa mengerek penerimaan pajak dengan mekanisme khusus. Yaitu intensifikasi melalui penerbitan surat cinta berupa SP2DK atau Surat Permintaan Penjelasan atas Data atau Keterangan.
“Melalui SP2DK tersebut, KPP kan bisa mendapatkan tambahan penerimaan pajak karena ada pembetulan SPT (Surat Pemberitahuan) oleh WP (Wajib Pajak). Hasil pembetulan SPT tersebut adalah ada setoran pajak tambahan di 2024,” ungkapnya.
Langkah ini bisa dilakukan mengingat dampak lanjut dari penurunan daya beli adalah penurunan penjualan dan laba perusahaan. Sebagai konsekuensinya, perusahaan punya hak untuk mengajukan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 di 2024 ini.
Untuk syarat permohonan pengurangan angsuran PPh 25, perusahaan membuat proyeksi laba rugi hingga akhir tahun 2024. Jika berdasarkan proyeksi tersebut, proyeksi PPh badan 2024 < 75% dari PPh badan 2023, perusahaan berhak mendapatkan pengurangan angsuran PPh 25.
“Kalau dilihat dari kondisi penurunan PPh 25 itu kan berimbas pada penurunan penerimaan pajak di kas negara. Dengan demikian, pemerintah harus mencari potensi penerimaan pajak dari tahun pajak antara 2020-2023,” ujar Prianto.
Ia mengakui, pemerintah memang membutuhkan pemasukan pajak yang lebih besar lagi guna
menggenjot rasio pajak. Dengan kenaikan rasio pajak, pemerintah punya keleluasaan lebih besar untuk alokasi pembiayaan pembangunan di tengah lemahnya daya beli masyarakat.
Salah satu caranya adalah dengan menaikkan tarif PPN sesuai penetapan di UU PPN yang hasil revisi UU HPP. Selain itu, pemerintah juga harus terus berupaya untuk menjaga ketahanan atau resiliensi perekonomian domestik melalui pemberian insentif pajak ditanggung pemerintah.
“Jadi, menaikkan tarif PPN dan upaya menjaga ketahanan ekonomi bisa dilaksanakan secara simultan,” kata Prianto.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebetulnya juga telah berencana menggunakan strategi sebagaimana yang diungkap Prianto untuk kembali menaikkan penerimaan pajak. Ia optimistis, penerimaan pajak pada semester II-2024 akan naik 14,5%, sehingga bisa terkumpul Rp 1.028,1 triliun.
“Ya kita akan melakukan beberapa measure terutama tadi kita akan periksa untuk beberapa restitusi supaya benar bisa dikendalikan, namun juga kita berharap beberapa stabilisasi dari harga-harga meskipun sudah rendah tapi dia tidak turun lagi itu juga akan memberikan dampak,” tegas Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengakui, harga-harga komoditas utama memang turun pada Semester I-2024 dibanding Semester I-2023. Misalnya Batu bara yang turun 53,92%, Tembaga 4,23%, dan lainnya 0,8%. Sementara itu, sawit turun 8,8%, dan logam 2,03%.
Kondisi ini menyebabkan restitusi untuk industri sawit naik dari Rp 16,3 triliun menjadi Rp 18,6 triliun, industri logam naik dari Rp 5,8 triliun menjadi Rp 17,2 triliun, Batubara naik dari Rp 8,1 triliun menjadi Rp 16,3 triliun, dan perdagangan bahan bakar dari Rp 3 triliun menjadi Rp 11,8 triliun.
“Baseline tahun lalu kan sebenarnya sudah turun di 2023 itu. Jadi kalau kita lihat tadi ada beberapa komoditas yang naik tipis seperti CPO naik 3% jadi di Semester II kita perkirakan momentum bisa terjaga,” ungkapnya.
“Namun kita melihat juga beberapa kinerja biasanya semester II itu di Kuartal III kita bisa tingkatkan penerimaan cukup besar pada saat kita rekalibrasi dari kinerja perusahaan-perusahaan dan kegiatan ekonomi,” tegas Sri Mulyani.
Artikel ini telah tayang di laman CNBC Indonesia dengan judul “Negara Rugi Akibat Kantong Warga RI Kering, Pemerintah Harus Apa?” pada 11 Juli 2024, melalui tautan berikut:
https://www.cnbcindonesia.com/news/20240711150150-4-553770/negara-rugi-akibat-kantong-warga-ri-kering-pemerintah-harus-apa