Siaran Pers (Jakarta, 27 Februari 2021)
Akun Instagram Ditjen Pajak baru baru ini menyatakan bahwa sepeda sebagai harta yang harus dilaporkan di dalam SPT Tahunan orang pribadi dengan kode 041. Informasi tambahan yang minim tentang hal tersebut berimbas pada banyak respon dan pertanyaan di masyarakat. Di antara respon tersebut, banyak kalangan masyarakat yang mempertanyakan apakah sepeda masuk ke dalam jenis objek pajak yang baru atau dikenai pajak baru.
Terkait hal tersebut, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, menjelaskan bahwa sepeda bukan merupakan objek baru dari sekian banyak objek pajak yang sudah ada. Tidak ada pajak baru juga untuk sepeda. “Sepeda tidak akan dikenai pajak, tapi sumber penghasilan untuk beli sepeda itu menjadi isu utamanya”, ujar Prianto lebih lanjut.
Doktor Ilmu Administrasi dari Universitas Indonesia tersebut mengatakan, “Secara sederhana, kalau hanya disebutkan pajak, ini tentu dapat membingungkan masyarakat. Pasalnya, Indonesia saat ini sudah punya 24 jenis pajak. Ada 5 pajak dikelola oleh Ditjen Pajak. Ditjen Bea Cukai kelola 3 jenis pajak. Ada 5 macam pajak di pemerintah provinsi dan 11 jenis pajak di pemerintah kabupaten/kota.
Isu sepeda dilaporkan di SPT Tahunan itu berkaitan dengan satu jenis pajak yang dikelola Ditjen Pajak, yaitu Pajak Penghasilan atau PPh. Jadi, penghasilan yang dapat dikenai PPh itu berupa tambahan kemampuan ekonomis dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Rumus Penghasilan Menurut Aturan Pajak
Rumus sederhananya adalah penghasilan = konsumsi + tambahan harta. Artinya, penghasilan itu dapat dipakai untuk konsumsi maupun menambah harta kekayaan. “Nah, sepeda itu khan merupakan satu bentuk harta kekayaan sehingga Ditjen Pajak berkepentingan terhadap apakah penghasilan untuk beli sepeda itu sudah dilaporkan di Surat Pemberitahuan (SPT) PPh orang pribadi.
Kalaupun tidak berwujud tunai, penghasilan orang pribadi juga dapat berupa non-tunai. Misalnya, pemberian hadiah atau sumbangan dari pihak lainnya. Imbalan non-tunai itu juga memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi penemanya. Jika penghasilan untuk beli sepeda tersebut berasal dari warisan, penerima waris juga harus melaporkan warisan tersebut sebagai penghasilan di SPT.
Selanjutnya, sesuai undang-undang PPh, Ditjen Pajak dapat menentukan apakah semua penghasilan sudah dilaporkan ke dalam SPT. Selain itu, kantor pajak juga dapat menentukan penghasilan mana saja yang harus dipajaki atau tidak perlu kena pajak.
Kepentingan Ditjen Pajak
Posting-an Ditjen Pajak di instagram di atas tidak terlepas dari upaya pengawasan berdasarkan Compliance Risk Management (CRM). Kantor pajak mengawasi siapapun yang berpotensi tidak patuh pajak dengan cara pemberian himbauan dulu. Dari data-data yang kantor pajak punya, petugas pajak akan melakukan analisis risiko. Untuk kasus sepeda, contohnya diilustrasikan di bawah ini.
Misalnya, Budi (bukan nama sebenarnya) memiliki gaji Rp 5 juta per bulan. Jika disetahunkan, total penghasilan Budi sebesar Rp 60 juta. Biaya hidup rata-rata per bulan Budi sebesar Rp 4 juta sebulan sehingga Budi bisa menabung Rp 1 juta. Ketika Budi melaporkan sepeda Brompton seharga Rp 50 juta di SPT, total penghasilan Budi (Rp 60 juta) tidak sebanding dengan konsumsi rata-rata setahun plus tambahan harta sepeda.
Secara ringkas, penghasilan Rp 60 juta lebih kecil dari konsumsi setahun (Rp 48 juta) dan harta sepeda Rp 50 juta. Jadi, sangat wajar jika kantor pajak bertanya selisih Rp 38 juta (Rp 98 juta – Rp 60 juta) berasal dari penghasilan apa. Apakah penghasilan itu merupakan objek pajak atau non-objek pajak? Pada akhirnya, petugas pajak dapat meminta klarifikasi Budi tentang selisih Rp 38 juta tersebut. Bila tidak dapat menjelaskan, Budi berpotensi harus menambah PPh yang berasal dari selisih tersebut.
“Pelaporan harta di lampiran SPT PPh orang pribadi yang jatuh temponya akhir Maret ini tidak terbatas hanya sepeda, tapi harta-harta lainnya tanpa dilihat harganya”, kata Prianto. “Tinggal masalahnya ada pada sejauh mana tingkat kepatuhan Badu atau siapapun mereka terhadap aturan pajak.
“Ini karena sistem perpajakan menganut self-assessment alias menghitung pajak sendiri”, lanjut Prianto. Kantor pajak sangat menginginkan agar di masyarakat tercipta kepatuhan sukarela (voluntary compliance) sehingga target penerimaan pajak dapat tercapai dan tax ratio meningkat.
Lebih jauh, Prianto juga sekaligus memberikan tips untuk Badu dan orang pribadi lainnya. Wajib Pajak dipersilakan melaporkan penghasilan dan harta di SPT mereka sehingga rumus penghasilan = konsumsi + tambahan harta dapat terpenuhi. Dengan kata lain, penghasilan orang pribadi harus sebanding dengan konsumsi dan tambahan harta kekayaannya.
Kantor pajak selanjutnya melakukan pengawasan dengan cara data matching. Artinya, data SPT Badu di dalam contoh di atas akan ditandingkan dengan data dan informasi yang diterima kantor pajak dari berbagai pihak. Ada instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, atau pihak lainnya. Saat ini data dan informasi tersebut sudah berlimpah di Ditjen Pajak.
Narasumber:
Dr. Prianto Budi Saptono Ak., CA., MBA
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute