Siaran Pers
Minggu, 7 Maret 2021
Masa pendataan vaksinasi gotong-royong tahap kedua mulai bergulir. Untuk meningkatkan animo perusahaan agar ikut dalam program tersebut, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono berpendapat, pemerintah sebaiknya memberikan fasilitas kepada wajib pajak (WP) badan berupa penetapan biaya vaksinasi gotong-royong sebagai pengurang penghasilan bruto Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
Vaksinasi gotong-royong adalah program vaksinasi yang bertujuan membantu pemerintah dalam mempercepat dan memperbanyak jumlah orang yang divaksin. Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No. 10/2021, vaksinasi gotong-royong adalah vaksinasi jalur mandiri yang diikuti dan biayanya dibebankan kepada perusahaan. Vaksin ini akan diberikan gratis ke semua pekerja atau karyawan perusahaan dan keluarganya.
Pemerintah dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menargetkan jumlah peserta dalam program tersebut mencapai 20 juta orang. Pada penutupan tahap pertama 28 Februari lalu, sudah terdaftar 8.300 perusahaan dengan jumlah peserta sebanyak 6,7 juta orang. Kadin akan membuka masa pendataan tahap kedua untuk vaksinasi gotong-royong pada pekan kedua Maret ini.
Jika dilihat aturan perpajakan yang ada saat ini, biaya vaksin mandiri tidak atau belum mendapatkan fasilitas PPh sehingga berlaku ketentuan umum. Hal ini mengacu ke Pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh (UU No. 36/2008). Artinya, ada dua pilihan kebijakan pajak yang dapat dipilih oleh perusahaan.
Pertama, biaya vaksin tersebut tidak boleh mengurangi penghasilan saat dihitung Pajak Penghasilan (PPh) perusahaan. Ini lantaran biaya vaksin itu dianggap sebagai pemberian natura ke karyawan sehingga tidak boleh menjadi pengurang (non-deductible expense) penghasilan dalam perhitungan PPh Badan. Konsekuensinya, opsi ini akan menambah beban perusahaan, tapi tidak ada dampak pajaknya bagi karyawan.
Kedua, biaya vaksin tersebut dijadikan biaya tunjangan kesehatan sehingga menjadi objek PPh karyawan alias PPh Pasal 21. Perusahaan selaku pemberi kerja harus memotong PPh Pasal 21 ini pada bulan saat vaksin disuntikkan karena tunjangan kesehatan tersebut menjadi penghasilan pekerjanya. Bagi perusahaan, biaya tunjangan kesehatan tersebut dapat menjadi deductible expense. “Opsi kedua ini akan menurunkan PPh Badan, tapi PPh Pasal 21 meningkat,” kata pengajar jurusan administrasi fiskal Universitas Indonesia (UI) tersebut
Karena itu, Prianto mengusulkan, agar tercipta win-win solution dan meningkatkan animo perusahaan supaya ikut dalam program vaksinasi gotong-royong, para pengusaha melalui Kadin bisa mengusulkan fasilitas tambahan ke pemerintah berupa biaya vaksinasi gotong-royong ditetapkan sebagai pengurang penghasilan bruto PPh Badan.
Ini bisa dilakukan dengan merevisi Peraturan Menteri Keuangan (Menkeu) No. 167/PMK.03/2018 atau menerbitkan peraturan baru sebagai pengganti. Poin penting dalam aturan anyar tersebut adalah vaksinasi mandiri ditetapkan sebagai bagian dari pemberian natura atau kenikmatan kepada pegawai yang boleh dikurangkan dari penghitungan PPh Badan.
Dengan demikian, biaya vaksinasi mandiri menjadi pengurang penghasilan bruto dalam perhitungan PPh badan (deductible expense). Sementara bagi pegawai, vaksinasi gotong royong tersebut bukan merupakan objek PPh. Skema kebijakan tersebut biasa dikenal dengan istilah tax expenditure (indirect government spending).
Pemberian fasilitas ini lebih efisien ketimbang jika pemerintah memungut pajak dari perusahaan atau karyawan, lalu mendistribusikannya lagi ke dalam bentuk insentif. Prianto yakin, dengan cara seperti ini, akan lebih banyak lagi perusahaan yang mendaftar ke Kadin untuk ikut program vaksinasi gotong-royong.
Narasumber:
Dr. Prianto Budi Saptono Ak., CA, MBA
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI)