Nasib pekerja bergaji UMR kian hari kian memilukan. Belum lama ini Pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 21/2024 (PP No 21/2024) tentang penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Salah satu aturan yang menjadi polemik ialah adanya pemotongan dalam bentuk iuran penghasilan bagi para pekerja baik Aparatur Sipil Negara, pekerja swasta, serta pekerja mandiri (freelance) dengan mekanisme pemotongan dialihkan pada rekening Tapera.
Pada Pasal 5 PP 21/2024 tersebut dijelaskan bahwa peserta Tapera adalah para pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, serta telah berusia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar. Adapun besaran iuran peserta tapera adalah 3 persen dari gaji atau upah bagi peserta pekerja dan penghasilan bagi pekerja mandiri. Besaran simpanan untuk peserta pekerja ditanggung bersama pemberi kerja, yakni sebesar 0,5 persen oleh perusahaan dan dari upah pekerja sebesar 2,5 persen.
Aturan ini tentu menuai banyak tanggapan, namun tidak ada yang melebihi penolakannya. Helmi Jauhari salah satu pekerja swasta berdomisili di Bogor Jawa Barat menyatakan jika dirinya tidak sepakat dengan adanya kebijakan ini. Menurutnya ketika penghasilannya dipotong untuk Tapera, hal itu akan sangat berdampak pada penghasilannya. Pria berusia 26 tahun itu sangat keberatan karena menurutnya pemotongan ini tidak bisa dipukul rata begitu saja.
”Ya ga adil aja sih kalau semua pekerja harus di potong penghasilannya tanpa pandang bulu.” Kata Helmi (30/05/2024).
Senada dengan Helmi, Eldi yang merupakan pekerja di sektor industri tekstil yang berdomosili di Tangerang juga menolak aturan tersebut. Menurutnya,skema dan teknis pemotongan iuran Tapera belum jelas dan perumusan aturannya tidak transparan.
”Aturannya aja ga jelas, ga transparan tiba-tiba aja disahkan, tiba-tiba ada dan tiba-tiba kenapa sifatnya jadi wajib? Kita ga tau kan? Penghasilan kami sudah di potong pajak, dipotong BPJS sekarang dipotong Tapera juga?” Lugas Eldi (30/05/2024).
Eldi dan Helmi adalah sederetan para pekerja berpenghasilan UMR yang menolak adanya pemberlakuan kebijakan tersebut. Gaji mereka yang “pas-pasan” untuk hidup di ibukota harus rela dipotong iuran Tapera setiap bulannya. Lain halnya dengan Eldi dan Helmi, Gian yang merupakan pekerja lepas yang berprofesi sebagai programmer dan berdomisili di Jakarta menilai kebijakan ini tidak akan memberatkannya.
Gian menilai Tapera ini bisa bermanfaat di kemudian hari karena dia menganggap Tapera dapat membantu para pekerja yang belum memiliki rumah, yaitu dengan menghimpun sebagian kecil dari penghasilan mereka.
”Ya itung-itung nabung bang, saya si ga keberatan kan dipotongnya hanya 3%, itung-itung nabung buat beli rumah.” Tegas Gian (30/05/2024).
Namun demikian, dirinya juga menyadari bahwa pemberlakuan Tapera bagi semua pekerja akan memberatkan masyarakat. Menurutnya perlu ada aturan yang lebih jelas terkait skema pemungutan dan pengalokasiannya, agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran di masyarakat.
Dihimpun dari berbagai sumber, berdasarkan ketentuan PP Nomor 21/2024, peserta Tapera merupakan pekerja yang menerima upah atau gaji, termasuk pegawai negeri, BUMN, pekerja mandiri dan swasta. Peserta Tapera yang masuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat memperoleh manfaat berupa kredit pemilikan rumah (KPR), kredit bangun rumah (KBR), dan kredit renovasi rumah (KRR). Manfaat itu diiringi tenor panjang hingga 30 tahun dan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar.
Kebijakan Problematik?
Direktur Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies, Prianto Budi Saptono menyatakan, kebijakan Tapera sebenarnya bukanlah kebijakan yang baru. Menurutnya ketentuan mengenai Tapera sebenarnya telah ada sejak 2020 yang tertuang melalui PP 25/2020.
“Ketentuan tentang besaran di Pasal 15 ayat (1) dan (2) PP 25/2020 di atas tidak berubah ketika PP tersebut direvisi dengan PP 21/2024. Revisi aturannya memang mencakup Pasal 15 PP 25/2020, tapi tidak mengubah besaran simpanannya,” ujar Prianto Budi Saptono, kepada Tirto, Selasa (28/5/2024).
Seperti yang dikutip dari laman Tirto.id, Prianto menganggap potongan simpanan Tapera di atas bukan merupakan beban tambahan bagi pekerja. Karena sifatnya berupa tabungan yang nantinya dapat dicairkan oleh pekerja ketika mereka akan membeli rumah. Selain itu, pemberlakuannya juga bukan dimulai 20 Mei 2024, tapi sejak 20 Mei 2020.
Berdasarkan simulasi hitung-hitungan sederhana dengan menggunakan UMR Jakarta (Rp5,06 juta) sebagai patokannya, lalu dikalikan (dipotong) iuran Tapera sebanyak 2,5% maka iuran yang dipungut dari gaji para pekerja di Jakarta adalah sebesar Rp126,610 perbulannya, yang jika dikalikan selama 12 bulan maka total iuran yang terkumpul adalah Rp1,5 juta. Anggaplah seorang karyawan bergaji UMR ingin membeli rumah di daerah Depok Jawa Barat. Dilansir dari Rumah 123.com, harga termurah untuk rumah di daerah depok saat ini mencapai 500 juta. Maka seorang karyawan membutuhkan waktu lebih dari 100 tahun untuk dapat membeli rumah dengan harga tersebut.
Meskipun bukan merupakan beban tambahan bagi karyawan, faktanya banyak pihak dari sektor pengusaha dan pekerja keberatan dengan kebijakan ini. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menjadi kelompok yang tegas menolak aturan tersebut. Dikutip dari Antara ketua umum Apindo, Shinta Kamdani, menyatakan secara tegas bahwa Apindo dengan tegas menolak diberlakukannya aturan Tapera ini.
“Sejak munculnya UU No. 4 Tahun 2016 tentang ‘TabApindo denganungan Perumahan Rakyat’, tegas telah menolak diberlakukannya UU tersebut,” kata Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa, dikutip dari Antara.
Sejalan dengan Apindo, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) melalui ketunya Elly Silaban, menganggap iuran Tapera hanya akan menambah masalah dan beban bagi para buruh. Dikutip dari Tirto.id, Elly menyebut saat ini saja, buruh sudah dipusingkan dengan jaminan berupa iuran wajib dan pajak yang memangkas upah mereka. Dia menilai kebijakan Tapera akan ditolak besar-besaran oleh serikat buruh.
“Ini kan seakan memaksa, kan enggak bisa dipaksakan [ikut tapera]? Gimana yang sudah rumah, masa diwajibkan juga,” kata Elly, Selasa (28/5/2024), dikutip dari Tirto.id
Permasalahan utama yang melatarbelakangi mengapa kebijakan ini begitu problematik ialah karena pengenaan iurannya yang diwajibkan bagi seluruh pekerja dari berbagai sektor alias dipukul rata. Banyak pengamat menilai pemberlakuan Tapera sebaiknya tidak dipukul rata alias menyasar seluruh kelompok pekerja.
Dikutip dari Kompas.com, perencana keuangan, Andy Nugroho, menyebut sebaiknya aturan ini tidak dipukul rata alias tidak disamaratakan.
“Kalau memang sudah punya rumah dan tidak ingin menambah rumah kedua ya tidak perlu dipotong juga untuk Tapera ini,” kata dia, Kamis (30/5/2024), dikutip dari Kompas.
Dirinya menambahkan, masyarakat yang masih memiliki penghasilan setara UMR atau bahkan di bawahnya akan merasa keberatan jika penghasilannya dipotong lagi sebanyak 3% untuk iuran Tapera. Untuk itu, menurutnya aturan tersebut tidak bisa diberlakukan sama rata.
“Buat saya, tujuannya sudah oke, tapi kalau bicara soal ideal, kembali lagi, peraturannya tidak bisa disamaratakan,” imbuhnya, dikutip dari Kompas.com.
Potensi Penurunan Daya Beli Masyarakat
Program ini juga berpotensi menggerus daya beli masyarakat terutama pekerja kelas medioker. Meskipun persentasenya terlihat kecil, bagi banyak pekerja, terutama mereka yang berada dalam golongan pendapatan menengah ke bawah, pemotongan ini dapat berdampak signifikan terhadap kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, biaya hidup yang semakin tinggi dan kebutuhan mendesak seperti makanan, transportasi, pendidikan, dan kesehatan tetap harus dipenuhi, sehingga penurunan pendapatan akan langsung berimbas pada kemampuan konsumsi mereka.
Kebijakan ini juga tidak mempertimbangkan perbedaan tingkat pendapatan di berbagai sektor. Bagi karyawan dengan gaji yang lebih rendah, pemotongan 2,5% dari gaji mereka dapat terasa sangat memberatkan dibandingkan dengan karyawan yang berpenghasilan lebih tinggi. Dengan demikian, dampak negatif terhadap daya beli akan lebih dirasakan oleh kelompok yang lebih rentan secara finansial.
Senior Economic Policy Analyst Pratama Institute for Fiscal and Governance Gustofan Mahmud menyatakan bahwa Tapera berpotensi menurunkan disposable income atau take home pay, yang tentunya akan menurunkan angka konsumsi masyarakat. Menurutnya, tujuan Tapera juga masih belum jelas.
“Tujuannya apa? apakah untuk mengatasi housing backlog atau untuk apa? Sebenarnya kalau housing backlog kan udah ada KPR subsidi yang ditujukan untuk masyarakat berdaya beli rendah, lalu Tapera ini tujuannya untuk apa?” Ungkap Gustofan (31/05/2024).
Gustofan menambahkan bahwa tidak ada pihak yang diuntungkan dari kebijakan ini. Menurutnya, jika dibanding BPJS ketenagakerjaan dan kesehatan masih lebih jelas penerapannya ketimbang program Tapera ini.
Gustofan menambahkan, ”Tapera ini kedudukannya sebagai apa? Kalau BPJS jelas, bisa dipakai kalau kita sakit, atau kalau kena PHK bisa diambil untuk kebutuhan hidup, Tapera ini untuk apa? Kan uangnya nggak bisa diambilkan, harus buat beli rumah kan? Berarti ada kesejahteraan yang hilang, uang yang keluar dari pekerja dan pemberi kerja untuk apa dan untuk siapa? Apa untuk pekerja, pemberi kerja, atau pemerintah?” Kata Gustofan (31/05/2024).
Tanggapan Pemerintah
Dikutip dari berbagai sumber, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Indah Anggoro Putri, menyampaikan, ketentuan Tapera memang akan berlaku wajib bagi seluruh pegawai. Termasuk pekerja swasta, pegawai BUMN, BUMD, ASN/TNI/Polri dan BUMDes seperti yang tercantum dalam UU 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. “Nantinya, aturan teknis untuk pekerja swasta akan diatur dalam Peraturan Menaker,” ujar Indah.
“Tapera tujuannya menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta,” kata Indah (28/5/2024).
Sementara itu, bagi pekerja yang sudah memiliki rumah, Tapera dapat digunakan sebagai dana renovasi. Putri juga menyatakan bagi yang sudah memiliki rumah dana Tapera bisa diambil ketika peserta pensiun atau berakhirnya masa kepesertaan. Untuk pemberi kerja swasta, diingatkan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta Tapera paling lambat 2027.