Di tengah perdebatan panjang soal etika penghindaran pajak (tax evasion), sebuah bab dalam buku The Philosophy of Taxation and Public Finance karya Robert W. McGee menawarkan lensa yang unik. Belum banyak para ekonom atau ahli hukum pajak konvensional yang membahas tax evasion dari sudut pandang agama, khususnya Islam.
Dalam bab berjudul Tax Evasion in Islam, McGee mengangkat pertanyaan yang menggugah: apakah menghindari pajak selalu tidak bermoral dalam Islam? Ataukah ada konteks di mana tindakan tersebut justru bisa dianggap sah atau bahkan benar secara etika?
Pertanyaan ini menjadi semakin relevan di tengah meningkatnya kesadaran umat Muslim terhadap pentingnya tanggung jawab sebagai warga negara. Namun, seperti yang dijelaskan McGee, etika dalam Islam tidak bisa dilihat dari kacamata hitam-putih ala sistem hukum positif modern.
Islam memiliki kerangka moral tersendiri, yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, dan praktik para Khulafaur Rasyidin. Dalam Islam, ada perbedaan antara kewajiban terhadap sesama manusia, kewajiban terhadap negara, dan kewajiban terhadap Allah SWT.
Zakat: Pajak secara Moral dalam Islam
Islam mengajarkan kewajiban membayar zakat sebagai bentuk kontribusi terhadap keadilan sosial. Zakat tidak hanya bersifat wajib secara spiritual, tetapi juga dianggap sebagai pilar dalam sistem keuangan Islam.
Dalam pandangan Islam klasik, zakat mendahului pajak negara sebagai instrumen utama untuk membiayai kebutuhan publik, khususnya dalam upaya membantu kaum miskin dan mendukung fungsi-fungsi pemerintahan yang sah.
Ketika zakat tidak mencukupi untuk menutup pengeluaran negara, ulama fikih membolehkan pengenaan pajak tambahan, namun dengan syarat ketat: pajak harus adil, tidak memberatkan, dan tidak menyimpang dari tujuan syariah. Dalam konteks inilah etika penghindaran pajak menjadi topik yang kompleks.
Apabila negara memungut pajak yang melampaui fungsi sahnya, atau digunakan untuk membiayai hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan Islam, maka resistensi terhadap pajak bisa dianggap sebagai suatu hal yang bukan tindakan amoral.
Pajak Tak Sah: Ketika Evasion Menjadi Etis
McGee mengutip argumen dari sejumlah ilmuwan Muslim kontemporer seperti Mushtaq Ahmad dan Sayyid Muhammad Yusuf, yang menyatakan bahwa tidak semua jenis pajak sah menurut Islam. Di antaranya:
- Pajak tidak langsung seperti sales tax, excise tax, dan customs duties dipandang sebagai bentuk eksploitasi tersembunyi terhadap konsumen, karena menaikkan harga tanpa transparansi.
- Pajak penghasilan dianggap problematik karena mengasumsikan bahwa kekayaan individu secara otomatis mencurigakan, dan bisa mematikan inisiatif ekonomi.
- Tarif proteksionis dan kontrol harga dianggap melanggar keadilan pasar, karena memperkaya segelintir produsen dengan mengorbankan konsumen secara luas.
Dalam Islam, negara tidak boleh mengenakan pajak demi melindungi kepentingan kelompok tertentu atau untuk menopang industri yang tidak efisien. Bahkan, tindakan seperti penetapan bea masuk atau kontrol ekspor-impor yang menyebabkan distorsi harga dianggap bentuk bakhs (pengurangan hak orang lain), yang dilarang secara eksplisit dalam Al-Qur’an (lihat QS Al-Muthaffifin: 1-3).
Hukum vs. Moralitas: Titik Singgung yang Kritis
Dari sini kita memasuki perbincangan yang lebih filosofis: apakah ketaatan kepada hukum negara selalu identik dengan ketaatan moral? McGee menunjukkan bahwa dalam sistem Islam, hukum positif tidak selalu menjadi sumber moralitas utama.
Moralitas dalam Islam berpijak pada maqashid syariah, yakni tujuan-tujuan luhur syariat seperti keadilan, perlindungan harta, dan keseimbangan sosial. Jika suatu kebijakan perpajakan atau regulasi negara melanggar tujuan-tujuan ini, maka umat Islam bisa memiliki dasar moral untuk menolaknya, bahkan jika dari sisi legal, tindakan tersebut termasuk ‘ilegal’.
Contohnya, regulasi seperti rent control yang memaksa pemilik properti untuk menyewakan di bawah harga pasar, menurut McGee, setara dengan pajak tersembunyi sebesar selisih harga.
Dalam Islam, bentuk pemindahan kekayaan paksa semacam ini tidak hanya melanggar prinsip keadilan, tetapi juga bisa disamakan dengan ghasab (pengambilan hak tanpa izin). Maka, dalam konteks tertentu, tidak mematuhi regulasi semacam itu bisa menjadi bentuk perlawanan moral yang sah.
Antara Kepatuhan dan Kritik Konstruktif
Tentu saja, pernyataan ini tidak bisa dijadikan pembenaran secara bebas untuk menghindari pajak. Islam tetap menekankan pentingnya amanah dan ketaatan kepada penguasa (ulil amri) selama pemerintah tidak memerintahkan maksiat. Bahkan Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
“Berikanlah kepada yang berhak apa yang menjadi haknya dan kepada Allah apa yang menjadi hak-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, Islam juga memberi ruang bagi kritik terhadap kebijakan negara, terlebih jika negara menyimpang dari prinsip-prinsip keadilan. Dalam hal ini, pajak yang tidak adil bukan hanya bisa dikritisi secara politik, tetapi juga ditolak secara etis. Dalam negara demokratis, penolakan ini bisa berbentuk advokasi, judicial review, atau diseminasi wacana alternatif, bukan semata-mata penghindaran administratif.
Akhir Kata: Membangun Sistem yang Adil dan Beradab
Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menjadi pembangkang negara, tetapi juga tidak membenarkan ketaatan membuta terhadap kebijakan yang zalim. Dalam konteks pajak, Islam mendorong umatnya untuk membayar kewajiban yang sah dan adil, namun sekaligus menolak bentuk-bentuk pemungutan yang eksploitatif dan manipulatif.
Sebagaimana ditegaskan oleh McGee, penghindaran pajak tidak selalu merupakan tindakan amoral dalam Islam. Dalam kondisi tertentu, ia bahkan bisa menjadi bentuk kritik sosial yang etis.
Maka tugas kita sebagai warga Muslim modern bukan sekadar menjadi pembayar pajak yang patuh, tetapi juga menjadi agen moral yang kritis, yang ikut mendorong pembaruan sistem perpajakan agar lebih berkeadilan, transparan, dan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan keislaman.
Mari kita membangun sistem perpajakan yang bukan sebatas kuat secara legal, tetapi juga kokoh secara moral. Karena pada akhirnya, pajak bukan hanya soal uang, tetapi soal amanah dan tanggung jawab kepada sesama.