Dr. Prianto Budi Saptono M.B.A
Dosen Tetap Ilmu Administrasi Fiskal UI & Direktur Eksekutif Pratama Institute For Fiscal & Governance Study
Pasangan Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Gibran resmi dilantik pada 20 Oktober 2024. Mereka akan mengemban amanah sebagai pemimpin eksekutif tertinggi hingga lima tahun mendatang.
Belum lekang diingatan tentang upaya Prabowo-Gibran yang berambisi meningkatkan tax ratio Indonesia hingga angka 23%. Salah satu upaya untuk mencapainya adalah dengan membentuk badan penerimaan negara (BPN) yang bersifat otonom.
Tidak lama setelah dilantik, wacana pembentukan BPN kembali menyeruak. Bukan mengenai kepastian pembentukannya, namun justru penundaan. Pertanyaan kemudian muncul: apakah Presiden Prabowo masih akan merealisasikan janji kampanyenya untuk membentuk BPN guna meningkatkan tax ratio?
Seperti diketahui, tidak lama setelah dilantik, Prabowo mengeluarkan instruksi mengenai perombakan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang tidak lagi di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Perubahan tersebur tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 139 Tahun 2024 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Merah Putih Periode Tahun 2024-2029.
Melalui mandat tersebut, tupoksi Kemenkeu akan langsung berada di bawah koordinasi/komando presiden. Artinya, Menteri Keuangan akan berkoordinasi langsung kepada Presiden perihal keuangan negara.
Pada akhirnya, kebijakan tersebut kembali memunculkan pertanyaan mengenai apakah BPN batal dibentuk lagi. Pasalnya, wacana pembentukan BPN mengemuka bukan baru-baru ini saja. Usulan pembentukan BPN sudah ada sejak 2016 lalu, yaitu melalui Rancangan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) 2016. RUU tersebut menargetkan BPN mulai efektif beroperasi di 1 Januari 2017.
Akan tetapi, menurut Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan saat itu, pilihan paling rasionalnya adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea & Cukai (DJBC) tetap di bawah Kemenkeu. Alasannya agar Menkeu bisa lebih powerful secara kelembagaan dan kebijakan fiskal.
Kini, era baru dimulai. Mandat Menteri Keuangan kembali jatuh ke pundak Sri Mulyani. Tak lama setelah kembali menjadi Menkeu, Sri Mulyani dalam pertemuannya dengan Prabowo di Kertanegara, Jakarta Selatan menegaskan bahwa pemerintah baru akan menunda pembentukan BPN. Hal tersebut semakin mengerucut pada kesimpulan bahwa BPN akan kembali batal dibentuk. Alasannya, belum ada urgensi yang mendesak untuk membentuk BPN.
Narasi tersebut cukup beralasan mengingat DJP dan DJBC masih menjadi bagian dari kebijakan fiskal dari sisi penerimaan di APBN. Sementara itu, dari sisi pengeluaran, terdapat kebijakan berupa belanja negara dan transfer ke daerah yang kedua peran tersebut juga dikelola oleh kemenkeu. Fungsi-fungsi tersebut dianggap masih berjalan baik di bawah kendali Kemenkeu.
Selanjutnya, faktor regulasi juga menjadi variabel yang mengakibatkan pembentukan BPN tertunda. Sejauh ini, otoritas kebijakan fiskal berada di tangan Menkeu yang mendapat kuasa dari presiden sesuai Pasal 6 UU No. 17/2003 tentang keuangan negara. Selain itu, organisasi Kemenkeu pada saat ini masih mengacu pada Peraturan Presiden No. 57/2020 tentang Kementerian Keuangan yang mengeaskan bahwa DJP dan DJBC masih di bawah Kemenkeu.
Ketika dua aturan tersebut, tidak diubah oleh pemerintah, secara ototmatis DJP dan DJBC tetap berada di bawah Kemenkeu. Artinya, BPN sebagai badan penerimaan negara yang bersifat semi otonom tidak bisa dibentuk. Dengan demikian, wacana pembentukan BPN sepertinya akan terus sebatas wacana.
Efektifkan BPN Kerek Tax Ratio?
Berdasarkan beberapa riset dan fakta empirik di banyak negara, model BPN ini berkaitan dengan konsep kelembagaan yang biasa disebut sebagai Semi Autonomous Revenue Authority (SARA). Contohnya adalah IRAS Inland Revenue Authority di Singapura, Amerika Serikat melalui Internal Revenue Service (IRS), di Australia ada Australian Tax Office (ATO), dan Malaysia dengan Lembaga Hasil Dalam Negeri (LHDN).
Beberapa di antara lembaga SARA tersebut terbukti mampu menjaga tax ratio di angka yang ideal. IRS sebagai contoh nyata keberhasilan lembaga penerimaan negara bersifat otonom yang mampu memberika kontribusi nyata bagi tingginya tax ratio negeri Paman Sam. IRS terbilang cukup agresif dalam mengumpulkan pajak. Melalui Internal Revenue Code Section 7602, IRS bisa memperoleh data/informasi wajib pajak dalam bentuk apapun dari bank.
Kehadiran BPN diharapkan mampu menjawab persoalan paling mendasar mengenai peningkatan tax ratio (penerimaan pajak / produk domestrik bruto atau PDB). Ketika rasio pajak meningkat, pemerintah punya keleluasaan lebih banyak untuk melakukan alokasi belanja negara dan transfer ke daerah. Jika rasio pajak tak kunjung meningkat, sedangkan belanja negara cenderung terus meningkat, defisit anggaran jadi keniscayaan dan biasanya ditutup dengan pinjaman negara.
Dalam laporan OECD berjudul Revenue Statistics in Asia and Pacific 2022, tax ratio Indonesia berada di urutan ketiga terbawah dari 28 negara Asia Pasifik pada 2022. Capaian tax ratio Indonesia pada 2023 hanya sebesar 10,21%. Sebagai negara dengan potensi pajak yang besar, rendahnya tax ratio tentu menjadi pekerjaan rumah yang kolosal dan berkepanjangan. .
Kompleksitas persoalan turut menuntut pemerintah yang baru untuk menemukan formulasi yang tepat dalam meningkatkan penerimaan negara. Terlebih nasib fiskal sebuah negara sangat bergantung pada efisiensi dan efektivitas pemungutan hingga pengelolaannya. Tak berhenti sampai di situ, seberapa patuhnya warga negara dalam membayar pajak juga menjadi faktor kunci yang tidak terpisahkan.
Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan jika kedepannya BPN jadi dibentuk. Pertama, BPN harus berperan aktif terhadap peningkatan literasi pajak di kalangan masyarakat. Harapannya, kesadaran pajak semakin meningkat. Kedua, pembentukan BPN sebaiknya diiringi dengan reformasi kebijakan perpajakan yang berorientasi pada penyederhanaan aturan perpajakan. Simplifikasi ini diharapkan dapat menurunkan tingginya biaya kepatuhan pajak dan meningkatkan tax compliance wajib pajak.
Pekerjaan rumah mengani tugas meningkatkan tax ratio praktis menjadi urgen untuk dituntaskan oleh pemerintahan di era Prabowo Subianto. Dibentuk atau tidaknya BPN, isu utama kebijakan fiskal di Indonesia masih akan berkutat pada upaya peningkatan tax ratio. Untuk itu, urgensi keberadaan BPN tidak terlepas dari perannya untuk menjadi alternatif upaya meningkatkan tax ratio.
Berbagai cara telah dilakukan, dari menyesuaikan kebijakan, hingga mereformasi undang-undang perpajakan, yang belum membawa dampak signifikan pada tax ratio. Di tengah kebuntuan upaya untuk menaikan tax ratio, wacana pembentukan BPN yang terpisah dari Kemenkeu sebetulnya patut dicoba. Pertanyaannya, apakah pemerintah akan cukup berani?
Opini ini telah tayang di Harian Kontan dengan judul “Wacana Badan Penerimaan Negara” pada tanggal 28 Oktober 2024