Dalam akuntansi modern, pengelolaan aset baik berwujud maupun tak berwujud merupakan landasan utama dalam menyusun laporan keuangan yang andal dan transparan. Di Indonesia, perlakuan kedua jenis aset ini diatur dalam PSAK 16 tentang Aset Tetap dan PSAK 118 tentang Aset Tak Berwujud.
Selain itu, PSAK 48 menetapkan ketentuan penurunan nilai (impairment) yang berlaku untuk semua kategori aset. Ilustrasi mengenai pipa milik Perusahaan ABC yang tidak dapat dioperasikan karena sengketa lahan dengan tokoh adat setempat akan membantu menengahi teori akuntansi dan praktik terbaik di lapangan.
PSAK 16 mendefinisikan aset tetap sebagai aset berwujud yang dimiliki entitas untuk menghasilkan atau menyediakan barang/jasa, disewakan, atau untuk keperluan administratif, dengan umur manfaat lebih dari satu periode pelaporan. Pengakuan awal mensyaratkan tiga kriteria: kendali atas aset, estimasi arus kas masuk masa depan, dan kemampuan mengukur biaya perolehan secara andal.
Setelah pengakuan awal, entitas dapat memilih antara model biaya yaitu mencatat aset pada biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan penurunan nilai atau model revaluasi, yang menetapkan nilai wajar dikurangi akumulasi penyusutan dan kerugian penurunan nilai selanjutnya.
Beralih ke Aset Tak Berwujud dalam PSAK 118
Setelah memahami perlakuan aset berwujud, kini saatnya menelaah aset tak berwujud. PSAK 118 mengatur hak paten, merek dagang, hak konsesi, perangkat lunak, dan aset non-moneter lain yang dapat diidentifikasi namun tidak berwujud fisik.
Mirip PSAK 16, PSAK 118 mengharuskan manfaat ekonomi masa depan dapat diukur dan biaya perolehan andal. Revaluasi hanya diperbolehkan jika terdapat pasar aktif, sehingga sebagian besar entitas memilih model biaya. Aset tak berwujud dalam tahap pengembangan tidak diamortisasi, tetapi diuji penurunan nilai setiap tahun; setelah siap pakai, baru diamortisasi sesuai pola penggunaan.
Kedua standar tersebut merujuk pada PSAK 48 untuk penurunan nilai. Standar ini mengharuskan entitas menilai nilai terpulihkan (recoverable amount) ketika ada indikasi nilai tercatat melebihi nilai terpulihkan.
Nilai terpulihkan adalah angka tertinggi antara nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual dan nilai pakai (present value arus kas masa depan). Jika nilai terpulihkan lebih rendah daripada nilai tercatat, selisihnya dicatat sebagai beban impairment.
Pipa PT ABC dalam Sengketa
Kasus pipa PT ABC yang terpasang di pegunungan namun tidak dapat digunakan karena sengketa lahan menunjukkan penerapan ketiga standar di atas. Meskipun tidak beroperasi, PT ABC tetap memiliki kendali hukum dan potensi manfaat di masa depan, sehingga pipa masih dicatat sebagai aset tetap sesuai PSAK 16.
Namun, ketidakmampuan mengoperasikan pipa memicu indikasi impairment. Sesuai PSAK 48, PT ABC harus menguji nilai terpulihkan dengan mempertimbangkan potensi penyelesaian sengketa, alternatif penggunaan seperti relokasi, atau nilai pasar saat dijual.
Proses pengujian meliputi perhitungan nilai pakai melalui proyeksi arus kas masa depan yang didiskontokan, serta perbandingan dengan nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual. Jika nilai terpulihkan berada di bawah nilai tercatat, PT ABC wajib mengakui beban impairment sebesar selisihnya. Tanpa pencatatan ini, laporan keuangan tidak mencerminkan kondisi riil dan berisiko mendapat opini audit dimodifikasi.
Reversal Impairment: Peluang dan Batasan
Beberapa praktisi membahas reversing impairment. Meskipun sering dikaitkan dengan PSAK 118, ketentuan reversal diatur oleh PSAK 48 pasal 60–62. Reversal diperbolehkan jika terjadi perubahan signifikan dalam estimasi nilai terpulihkan, dan jumlahnya tidak boleh melebihi nilai tercatat seandainya impairment tidak pernah diakui.
Untuk pipa PT ABC, jika sengketa mereda dan nilai pakai meningkat di atas nilai tercatat setelah impairment, PT ABC dapat menaikkan kembali nilai tercatat hingga batas sebelum impairment, kemudian menyesuaikan beban penyusutan periode mendatang. Daripada menunda pencatatan impairment demi laba, entitas sebaiknya mengambil langkah proaktif:
- Menjalin dialog dengan pihak adat untuk mencapai kesepakatan atau kompensasi.
- Mengkalkulasi alternatif nilai pakai melalui relokasi atau penjualan aset.
- Menyiapkan cadangan pemeliharaan atau dana rehabilitasi yang disetujui auditor.
Pendekatan ini memastikan impairment berbasis data dan sesuai prinsip prudence. Catatan atas laporan keuangan harus mencakup kebijakan penyusutan, amortisasi, penurunan nilai, deskripsi sengketa, asumsi utama dalam pengujian impairment, serta nilai tercatat sebelum dan sesudah penyesuaian. Jika reversal terjadi, entitas wajib menjelaskan kondisi yang memicu pembalikan dan dampaknya pada laba rugi.
Kolaborasi antara teori akuntansi (PSAK 16, PSAK 118, PSAK 48) dan praktik terbaik operasional menciptakan laporan keuangan yang tidak hanya patuh standar, tetapi juga mencerminkan kondisi ekonomi aset secara holistik dan terpercaya.