Bank Dunia mengusulkan agar ambang batas Pengusaha Kena Pajak (PKP) di Indonesia dikurangi. Mereka menilai bahwa ambang batas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tinggi saat ini mempersempit basis pajak PPN.
Saat ini, pengusaha yang bisa mendaftar sebagai PKP adalah mereka yang memiliki omzet sebesar US$ 320.000 atau sekitar Rp 5,2 miliar (kurs Rp 16.404 per dollar AS). Angka ini enam kali lebih tinggi dibandingkan dengan ambang batas rata-rata negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang sekitar US$ 57.000 atau Rp 935,1 juta pada tahun 2022.
Sebelum tahun 2014, batas omzet pengusaha kecil yang wajib mendaftar sebagai PKP adalah Rp 600 juta per tahun. Namun, dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 197/PMK.03/2013 pada tanggal 1 Januari 2014, batas ini dinaikkan menjadi Rp 4,8 miliar.
Belum Waktunya untuk Diterapkan
Menurut laporan Harian Kontan, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menyarankan agar kebijakan ini ditunda. Kondisi ekonomi saat ini masih penuh ketidakpastian akibat masalah geopolitik dan transisi pemerintahan baru. Ditambah lagi, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang melemah bisa memberikan dampak negatif bagi pengusaha kecil.
Prianto menjelaskan bahwa ada dua opsi dalam menetapkan ambang batas PKP. Jika ambang batas ini diturunkan, biaya administrasi untuk kantor pajak akan meningkat karena bertambahnya jumlah PKP yang harus melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Pertambahan Nilai (SPT PPN) setiap bulan. Beban kepatuhan bagi pengusaha kecil yang baru menjadi PKP juga akan bertambah. Namun, dampak positifnya adalah penerimaan PPN berpotensi meningkat karena lebih banyak pengusaha yang sebelumnya tidak perlu melaporkan SPT PPN, kini harus melakukannya.
Sebaliknya, jika ambang batas PKP tidak diturunkan, biaya administrasi untuk kantor pajak tetap stabil karena tidak ada penambahan PKP baru dari pengusaha kecil. Biaya kepatuhan bagi pengusaha kecil juga tidak meningkat karena mereka tidak perlu dikukuhkan sebagai PKP dan tidak perlu melaporkan SPT PPN. Namun, dampak negatifnya adalah potensi peningkatan penerimaan PPN dari pengusaha kecil tidak tercapai, sehingga pemerintah harus mencari cara lain untuk meningkatkan penerimaan PPN.
Tekanan Tambahan Bagi UMKM
Banyak UMKM yang sebelumnya tidak mencapai batas omzet PKP saat ini, akan terkena dampak dari penurunan batas omzet PKP ini. Mereka akan diwajibkan untuk mendaftar sebagai PKP jika rekomendasi dari World Bank diimplementasikan. Hal tersebut tentunya meningkatkan beban administratif mereka karena harus menyusun laporan pajak, memungut, menyetor, dan melaporkan PPN.
Selanjutnya, UMKM akan menghadapi tekanan keuangan tambahan untuk mengelola kewajiban pajak baru ini, yang bisa menjadi beban berat terutama bagi bisnis yang sedang berjuang untuk bertahan di situasi ekonomi yang sulit.
Dengan batas omzet yang lebih rendah, UMKM mungkin enggan meningkatkan omzet mereka karena khawatir akan beban pajak tambahan. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan dan ekspansi bisnis kecil.
Selain berdampak pada UMKM, jika rekomendasi ini jadi diimplementasikan, maka masyarakat, terutama konsumen UMKM tentu akan sangat dirugikan. Pasalnya, UMKM yang menjadi PKP mungkin harus menyesuaikan harga produk atau layanan mereka untuk menutupi biaya tambahan terkait dengan PPN, yang bisa menyebabkan kenaikan harga bagi konsumen akhir dan menurunkan daya beli masyarakat.
Dalam kasus yang lebih ekstrim, beberapa UMKM mungkin akan memutuskan untuk berhenti beroperasi atau mengurangi skala usaha mereka karena beban pajak yang meningkat, yang bisa mengurangi variasi produk dan layanan yang tersedia di pasar.
Dampak bagi Perekonomian dan Penerimaan Negara
Penurunan batas omzet PKP bisa menurunkan minat para investor dalam berinvestasi di sektor UMKM. Investor mungkin melihat peningkatan beban pajak sebagai risiko tambahan, yang mana asumsi tersebut dapat mengurangi aliran investasi ke sektor ini. Di tengah situasi ekonomi yang sulit, langkah menaikan batas omzet PKP justru dapat memperlambat pemulihan ekonomi. UMKM sering dianggap sebagai tulang punggung ekonomi karena kontribusi mereka terhadap penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Jika rekomendasi ini berlaku menjadi kebijakan, maka beban tambahannya bisa mengurangi kontribusi positif mereka terhadap ekonomi.
Kendati dalam jangka pendek, penerimaan negara dari pajak PPN kemungkinan akan meningkat karena lebih banyak pengusaha yang menjadi PKP dan membayar pajak, namun pemerintah juga harus mempertimbangkan efisiensi pengumpulan pajak, mengingat jika rekomendasi ini menjadi kebijakan, maka akan banyak sekali PKP yang harus didata oleh DJP, serta akan meningkatkan upaya pengawasan terhadap PKP, dimana pengawasan tersebut membutuhkan efisiensi dan efektifitas. Pengawasan terhadap banyak wajib pajak kecil bisa jadi lebih sulit dan memakan biaya.
Jika banyak UMKM terpaksa menutup usaha mereka akibat tambahan biaya perpajakan yang ada, tingkat pengangguran bisa meningkat, mengingat 90% tenaga kerja Indonesia terserap di sektor UMKM. Ini bisa memperburuk kesenjangan sosial dan menambah masalah sosial lainnya seperti kemiskinan.
Ekonomi Harus Pulih
Dalam situasi ekonomi yang sulit diprediksi seperti saat ini, pemerintah harus sangat mempertimbangkan matang-matang usulan dari world bank. Ketimbang menambah beban baru terutama bagi mereka yang dikategorikan sebagai UMKM, insentif pajak sementara atau subsidi bisa dipertimbangkan untuk meringankan beban UMKM.
Mungkin lebih bijaksana untuk mempertimbangkan baik-baik dengan melibatkan partisipasi pandangan dari publik mengenai rekomendasi kebijakan ini, ketimbang terburu-buru mengimplementasikan kebijakan ini.
Jika memang dirasa kebijakan ini akan mampu meningkatkan penerimaan negara, maka pemerintah harus dapat memastikan situasi ekonomi telah membaik, agar tidak menambah beban bagi pelaku usaha pada masa-masa yang sulit seperti sekarang ini. Sosialisasi yang luas dan transisi bertahap juga dapat membantu UMKM mempersiapkan diri dan mengurangi dampak negatif dari perubahan kebijakan ini jika sewaktu-waktu kebijakan ini diterapkan.