Pada 10 Februari 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Komisi XI DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk mengevaluasi implementasi Core Tax Administration System (CTAS). Sejak soft launching pada Januari 2025, sistem ini telah menghadapi berbagai kegagalan teknis, termasuk gangguan akses, kesalahan perhitungan pajak, serta ketidaksinkronan data. Akibatnya, banyak wajib pajak mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya, sementara DJP sendiri masih bergantung pada sistem manual sebagai solusi darurat. Kondisi ini menunjukkan bahwa alih-alih meningkatkan efisiensi, CTAS justru menciptakan ketidakpastian baru dalam administrasi perpajakan.
Pemerintah telah menggelontorkan Rp1,3 triliun untuk mengembangkan sistem ini sejak 2021, tetapi hasilnya belum sesuai harapan. Dalam banyak kasus, transformasi digital di sektor pajak memang memerlukan waktu, tetapi peluncuran CTAS tampak terlalu terburu-buru, tanpa adanya uji coba menyeluruh atau masa transisi yang cukup bagi pengguna. Jika kondisi ini dibiarkan, kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan bisa semakin tergerus, mengingat rekam jejak buruk birokrasi dalam proyek teknologi besar di Indonesia.
Mengapa Digitalisasi Pajak di Negara Lain Berhasil?
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang sukses mengimplementasikan digitalisasi perpajakan, jelas bahwa pendekatan yang diterapkan Indonesia masih jauh dari ideal. Singapura dan Australia merupakan contoh negara yang melakukan transformasi perpajakan secara bertahap, memastikan bahwa sistem baru berjalan paralel dengan sistem lama sebelum akhirnya diadopsi sepenuhnya. Pendekatan ini memungkinkan wajib pajak dan aparat pajak beradaptasi tanpa mengganggu kepatuhan pajak.
Sebaliknya, Indonesia tampaknya memilih model “big bang”, yakni langsung mengganti sistem lama dengan yang baru tanpa uji coba bertahap. Akibatnya, gangguan teknis yang terjadi berdampak langsung pada wajib pajak dan administrasi DJP. Jika sistem baru tidak siap, mengapa CTAS tidak diterapkan secara bertahap sebagai pendamping DJP Online? Setidaknya, dengan pendekatan ini, permasalahan bisa diminimalisir sebelum sistem benar-benar diberlakukan secara penuh.
Baca juga : Mengapa CTAS Belum Siap?
Selain aspek teknis, keamanan data pajak juga menjadi perhatian utama. Indonesia memiliki rekam jejak yang kurang baik dalam hal keamanan siber, dengan berbagai kasus kebocoran data di sektor pemerintahan. Untuk itu, pemerintah harus belajar dari Estonia, yang sukses membangun sistem perpajakan digital berbasis blockchain, sehingga keamanan dan transparansi terjaga. Jika aspek ini tidak diperhatikan, CTAS justru bisa menjadi celah baru bagi kebocoran informasi pajak yang merugikan negara dan masyarakat.
Lebih dari sekadar aspek teknologi, kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan adalah faktor utama dalam kesuksesan reformasi pajak. Negara-negara seperti Swedia dan Kanada menunjukkan bahwa kepatuhan pajak yang tinggi terjadi karena masyarakat percaya bahwa pajak mereka digunakan secara transparan dan bertanggung jawab. Di Indonesia, masalahnya lebih kompleks. Kasus-kasus korupsi di tubuh DJP telah membuat masyarakat skeptis terhadap pengelolaan pajak. Jika pemerintah gagal membangun kepercayaan ini, maka sebaik apa pun sistem perpajakan yang diterapkan, wajib pajak tetap akan mencari cara untuk menghindari pajak.
Kepercayaan juga berkaitan dengan pengalaman pengguna dalam menggunakan sistem. Jika wajib pajak mengalami kesulitan dalam mengakses atau memahami cara kerja CTAS, mereka akan semakin enggan untuk patuh. Hal ini bisa berakibat pada menurunnya kepatuhan sukarela, yang pada akhirnya akan berdampak negatif pada penerimaan pajak negara.
Untuk menghindari skenario ini, pemerintah harus lebih transparan dalam implementasi CTAS. Setiap permasalahan yang terjadi harus dijelaskan kepada publik secara terbuka, dan pemerintah harus menyediakan mekanisme bantuan yang memadai bagi wajib pajak yang mengalami kesulitan. Selain itu, kebijakan insentif bagi pengguna awal CTAS juga bisa menjadi solusi untuk meningkatkan adopsi sistem ini, sehingga masyarakat lebih terdorong untuk memanfaatkan teknologi yang disediakan.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Jika CTAS ingin menjadi proyek transformasi digital yang sukses, ada beberapa langkah yang harus segera diambil oleh pemerintah:
-
Menyusun Roadmap yang Realistis – Pelaksanaan CTAS harus dilakukan secara bertahap, dengan uji coba skala kecil sebelum diterapkan secara luas. DJP Online sebaiknya tetap digunakan secara paralel hingga CTAS benar-benar siap menggantikannya.
-
Audit dan Evaluasi Menyeluruh – Pemerintah harus segera melakukan audit transparan terhadap penggunaan dana Rp1,3 triliun dalam pengembangan CTAS. Jika ditemukan adanya kesalahan dalam proses pengadaan atau pengelolaan proyek, maka harus ada langkah hukum yang tegas untuk menindak pihak yang bertanggung jawab.
-
Meningkatkan Pengawasan dan Keamanan Data – Keamanan siber harus menjadi prioritas utama, dengan sistem perlindungan data yang setara dengan standar internasional. Jika perlu, Indonesia bisa menggandeng pihak eksternal yang berpengalaman dalam perlindungan data pajak.
-
Meningkatkan Literasi Digital bagi Wajib Pajak – Pemerintah perlu menyediakan lebih banyak sosialisasi dan bantuan teknis bagi wajib pajak, baik dalam bentuk seminar, tutorial online, maupun layanan pelanggan yang lebih responsif.
Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, CTAS bukan hanya berisiko gagal sebagai sistem perpajakan digital, tetapi juga bisa menjadi proyek mubazir yang menghabiskan anggaran negara tanpa hasil nyata.
Baca juga : CTAS: Janji Digitalisasi Berujung Kompromi Regulasi
Apakah CTAS benar-benar menjadi solusi reformasi pajak, atau hanya proyek mahal yang tidak efektif? Jika roadmap tidak segera diperbaiki, transparansi tidak ditingkatkan, dan wajib pajak tidak diberikan dukungan yang memadai, CTAS akan dikenang bukan sebagai inovasi pajak, melainkan sebagai proyek gagal yang merugikan negara dan masyarakat.
Transformasi pajak digital tidak boleh sekadar menjadi proyek teknologi, tetapi harus menjadi solusi nyata bagi masyarakat dan dunia usaha. Jika pemerintah serius ingin meningkatkan kepatuhan pajak dan mengoptimalkan penerimaan negara, maka pendekatan yang lebih strategis, bertahap, dan berbasis transparansi harus segera diterapkan. Jika tidak, CTAS hanya akan menjadi bukti lain bahwa proyek digitalisasi pemerintahan sering kali lebih banyak menghabiskan anggaran daripada memberikan manfaat nyata. Kini saatnya bertanya: Apakah CTAS benar-benar revolusi pajak, atau hanya jebakan teknologi yang memperburuk administrasi perpajakan?