Kebijakan pemerintah yang menyuntikkan dana segar ke perbankan selalu menghadirkan perdebatan panjang. Di satu sisi, langkah ini dinilai mutlak diperlukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, mendorong penyaluran kredit, dan memastikan roda perekonomian tetap berputar. likuiditas
Namun di sisi lain, muncul keraguan apakah likuiditas dalam jumlah besar itu benar-benar akan mengalir ke sektor riil atau justru berhenti di neraca bank, menjadi tumpukan dana tak bergerak yang sekadar mempercantik rasio keuangan. Pertanyaan besar yang sering kali dilontarkan bukan sekadar teknis, melainkan menyentuh inti persoalan yaitu apakah masyarakat, pelaku usaha, dan investor percaya bahwa injeksi likuiditas ini akan membawa dampak nyata bagi pertumbuhan ekonomi?
Likuiditas dan Keraguan Penyaluran Kredit
Secara sederhana, likuiditas adalah kemampuan perbankan untuk menyediakan dana tunai kapan saja dibutuhkan. Semakin tinggi likuiditas, semakin besar pula kapasitas bank untuk menyalurkan kredit. Namun tingginya likuiditas tidak otomatis berarti ekonomi akan berdenyut lebih kencang.
Sejarah krisis membuktikan bahwa perbankan kerap memilih menahan kredit meskipun dana berlimpah, karena risiko kredit macet dianggap terlalu tinggi. Dana-dana itu akhirnya diparkir dalam bentuk surat berharga atau instrumen aman lain yang memberi rasa nyaman, tetapi tidak memberi efek berganda bagi perekonomian.
Inilah keraguan utama terhadap injeksi likuiditas dalam skala besar. Jika bank tetap konservatif, tambahan dana triliunan rupiah hanya akan menjadi catatan di neraca keuangan, bukan bahan bakar bagi pertumbuhan. Lebih jauh lagi, kondisi ini bisa memunculkan dilema. Dorongan agresif untuk menekan rasio kredit bermasalah atau Non-Performing Loan membuat bank cenderung mengarahkan kredit ke sektor konsumsi yang risikonya lebih rendah dibandingkan pembiayaan investasi jangka panjang.
Pola seperti ini memang dapat menjaga kualitas kredit dalam jangka pendek, tetapi menimbulkan konsekuensi serius, yaitu meningkatnya permintaan tanpa diimbangi tambahan kapasitas produksi. Dari sinilah potensi inflasi bermula. Dengan kata lain, bank dihadapkan pada pilihan sulit antara menghindari kredit macet atau berkontribusi pada risiko kenaikan harga akibat distribusi kredit yang tidak seimbang.
Namun faktor penentu keberanian perbankan tidak hanya berhenti pada pertimbangan risiko kredit. Yang jauh lebih mendasar adalah faktor psikologis berupa kepercayaan. Bank akan berani melepas kredit dalam jumlah besar jika mereka yakin pada prospek daya beli masyarakat dan arah bisnis nasabah. Jika ekspektasi terhadap pertumbuhan ekonomi lemah, maka kehati-hatian akan tetap menjadi pilihan utama.
Begitu pula bagi pelaku usaha, mereka tidak serta-merta berani menambah pinjaman hanya karena bunga rendah atau likuiditas tersedia. Keputusan berinvestasi selalu terkait dengan keyakinan bahwa permintaan konsumen akan tumbuh, pasar akan stabil, dan kebijakan pemerintah tidak berubah-ubah di tengah jalan. Inilah mengapa kepercayaan publik menjadi jantung dari efektivitas kebijakan injeksi likuiditas.
Ketimpangan Akses dan Risiko Struktural
Masalah lain yang tidak kalah penting adalah ketimpangan akses terhadap kredit. Injeksi likuiditas dalam jumlah besar sering kali justru mengalir ke korporasi besar yang dianggap lebih aman, sementara sektor usaha mikro, kecil, dan menengah terpinggirkan. Padahal kontribusi UMKM terhadap perekonomian tidaklah kecil.
Lebih dari 60 persen Produk Domestik Bruto nasional lahir dari sektor ini, dan 97 persen tenaga kerja diserap oleh mereka. Jika sektor yang paling produktif dalam menciptakan lapangan kerja justru kesulitan memperoleh pembiayaan, maka injeksi likuiditas hanya akan memperkuat pihak yang sudah kuat, bukan menyelamatkan yang rentan.
Dalam jangka panjang, pola distribusi yang timpang justru memperlebar jurang ketidaksetaraan. Likuiditas yang seharusnya menjadi instrumen pemerataan bisa berubah menjadi bahan bakar kesenjangan. Di sinilah peran pemerintah dan otoritas moneter menjadi sangat penting. Tanpa desain kebijakan yang mengarahkan kredit kepada sektor produktif dan berdaya serap tenaga kerja tinggi, injeksi dana hanya akan menjadi stimulus semu.
Konteks ini mengingatkan kita pada pengalaman berbagai negara ketika menghadapi krisis. Krisis finansial global 2008 menjadi pelajaran yang sangat relevan. Kala itu, masalah bukan pada kurangnya likuiditas, melainkan pada enggannya bank menyalurkan kredit. Pemerintah Amerika Serikat tidak berhenti pada kebijakan penyuntikan dana, melainkan melengkapinya dengan bailout yang terukur, stimulus fiskal yang menyasar langsung rumah tangga, serta penguatan regulasi perbankan. Artinya, likuiditas hanyalah pintu masuk, sedangkan keberhasilan pemulihan sangat bergantung pada rangkaian kebijakan lain yang saling menopang.
Kepercayaan Sebagai Fondasi
Pada akhirnya, efektivitas injeksi likuiditas tidak akan pernah diukur semata-mata dari seberapa besar dana yang masuk ke perbankan. Ukurannya adalah seberapa kuat kepercayaan publik berhasil dibangun. Jika bank percaya bahwa ekonomi akan tumbuh, mereka akan berani melepas kredit dengan risiko terukur. Jika pelaku usaha percaya bahwa kebijakan pemerintah konsisten dan pasar menjanjikan, mereka akan berani menambah investasi. Jika masyarakat percaya bahwa daya belinya terjaga, mereka akan lebih percaya diri membelanjakan uangnya. Tanpa kepercayaan itu, bahkan Rp200 triliun pun hanya akan menjadi angka di atas kertas.
Kepercayaan publik tidak lahir dari slogan atau retorika. Ia hanya bisa tumbuh dari konsistensi kebijakan, transparansi data, dan keberanian pemerintah menempatkan sektor produktif sebagai prioritas. Di titik inilah injeksi likuiditas seharusnya dipandang bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai instrumen yang harus dipadukan dengan strategi jangka panjang. Arah distribusi kredit yang jelas, insentif fiskal yang selektif, serta reformasi struktural yang memberi kepastian hukum dan regulasi akan menjadi penentu apakah kebijakan ini benar-benar menjadi mesin pertumbuhan atau sekadar ilusi stabilitas.
Indonesia menghadapi pilihan yang tidak mudah. Di satu sisi, likuiditas tambahan memang mendesak untuk menjaga denyut sistem keuangan. Tetapi di sisi lain, jika injeksi ini tidak diikuti dengan langkah-langkah komplementer, maka dana segar itu hanya akan berhenti sebagai catatan akuntansi.
Kebijakan sebesar apa pun hanya akan efektif jika dibarengi oleh keyakinan kolektif bahwa arah ekonomi jelas dan tujuan pembangunan berorientasi pada kesejahteraan bersama. Dengan kepercayaan sebagai fondasi, bahkan likuiditas yang terbatas bisa menjadi pemicu kebangkitan. Tanpa kepercayaan, dana sebesar apa pun tidak akan lebih dari sekadar angka yang dingin di laporan keuangan perbankan.
Pada akhirnya, injeksi likuiditas Rp200 triliun ke perbankan dapat dipandang sebagai langkah penting menjaga stabilitas finansial, terutama di tengah kebutuhan menjaga mesin kredit tetap berputar. Namun stabilitas semata bukanlah tujuan akhir dari sebuah kebijakan ekonomi. Jika dana tersebut hanya berakhir mempertebal neraca bank tanpa mengalir ke sektor produktif, maka efeknya sebatas kosmetik: menenangkan pasar dalam jangka pendek, tetapi rapuh dalam menopang pertumbuhan jangka panjang.
Pada titik inilah letak pertaruhan kebijakan, apakah injeksi likuiditas ini benar-benar menjadi fondasi bagi pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, atau sekadar ilusi pertumbuhan yang tak lebih dari angka di laporan keuangan?