Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Selasa, 30 September 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Menjembatani Kesenjangan Pajak, Dari Pemungutan Otomatis ke Digitalisasi Pasar

Muhamad Akbar AditamabyMuhamad Akbar Aditama
29 September 2025
in Artikel
Reading Time: 3 mins read
132 1
A A
0
152
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menunda sementara penunjukan e-commerce sebagai pemungut PPh Pasal 22 memantik perdebatan yang wajar. Di satu sisi langkah itu dimaksudkan sebagai ruang napas bagi daya beli masyarakat, namun di sisi lain menimbulkan pertanyaan tentang keadilan perlakuan antara pedagang online dan pedagang tradisional. Penundaan kebijakan bersifat temporer dan terkait waktu pelaksanaan penunjukan pemungut, bukan pembebasan tarif atau penghapusan kewajiban pajak bagi pelapak online. Keputusan penundaan itu diumumkan untuk memberi waktu melihat dampak stimulus ekonomi dan kesiapan pemangku kepentingan.

Sebelumnya, pemerintah melalui aturan teknis memang telah menetapkan skema di mana marketplace ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas transaksi penjualan barang oleh merchant yang memenuhi kriteria. Aturan ini dituangkan dalam PMK No 37 Tahun 2025 menunjuk penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) seperti Shopee dan Tokopedia menjadi pemungut pajak penghasilan pasal 22 (PPh Pasal 22) bagi pedagang yang melakukan transaksi di lokapasar. Skema semacam ini bukanlah ide baru, pemerintah menegaskan bahwa ini dimaksudkan untuk memperkuat basis pajak sektor digital sekaligus menyederhanakan kepatuhan bagi pelapak yang berjualan lewat platform.

Inti miskonsepsi publik adalah mengira bahwa pedagang di marketplace “dibebaskan” dari PPh final. Faktanya, pedagang online tetap dikenai PPh final UMKM sesuai ketentuan hanya mekanisme pemungutannya yang berbeda. Marketplace memungut dan menyetorkan dengan ambang omzet tertentu dan tarif final tertentu pada peredaran bruto, sementara pedagang tradisional umumnya harus melakukan penyetoran sendiri dan pelaporan rutin. Perbedaan mekanisme inilah yang membentuk sebuah convenience gap, kepatuhan menjadi lebih mudah bagi mereka yang bertransaksi melalui platform, sementara pedagang offline menghadapi beban administratif yang mendorong underreporting.

Kesenjangan kemudahan ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi memengaruhi persaingan. Seorang pedagang pasar tradisional yang harus menyetorkan sendiri pajaknya menanggung waktu, risiko salah hitung, dan potensi denda pedagang online cukup “ditagih” lewat platform sebelum uang sampai ke tangan mereka. Akibatnya, pelaku offline bisa kalah bersaing bukan karena tarif pajak berbeda, melainkan karena akses terhadap kemudahan administrasi yang timpang. Jika pemerintah serius ingin menjaga keadilan dan sekaligus memperbaiki kepatuhan, fokusnya harus bergeser dari debat simplistik tunda atau jalankan ke perumusan mekanisme pemungutan yang setara.

Peran Pihak Ketiga Sebagai Pemenuhi Convenience Gap

Salah satu instrumen kunci untuk menutup celah ini adalah sistem pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga. Sebagaimana dikemukakan Mardiasmo (2016), sistem pemotongan pajak mengizinkan pihak ketiga memotong atau memungut pajak yang terutang, sehingga pajak dipungut langsung saat penghasilan dibayarkan. Pendekatan ini terbukti memperoleh penerimaan lebih cepat, dengan biaya administrasi relatif rendah, dan efektif untuk memungut pajak penghasilan. Nurmantu menambahkan bahwa mekanisme pemotongan memudahkan dan menghemat biaya administrasi; bagi wajib pajak pemotong, kewajiban dapat dianggap terpenuhi sehingga mereka “nyaman”. Rosdiana (2014) bahkan menyoroti bahwa sistem pemotongan dapat menjadi opsi ampuh untuk mengurangi praktik penghindaran pajak. Dengan kata lain, third-party withholding bukan sekadar soal efisiensi, melainkan soal integritas basis pajak.

Melihat konteks e-commerce dan pasar tradisional, logikanya jelas: jika marketplace sebagai pihak ketiga dapat memungut PPh secara otomatis, mengapa pengelola pasar tidak diberi peran serupa? Menunjuk Pengelola Pasar, asosiasi pasar, atau koperasi sebagai agen pemungut disertai subsidi untuk perangkat kas dan integrasi sistem pelaporan ke Direktorat Jenderal Pajak akan membawa convenience yang sama ke kanal offline. Model ini bukan eksperimen teori semata, ia mereplikasi prinsip pemungutan efisien yang selama ini dipakai pada pemotongan gaji, bunga, dan transaksi finansial.

Akhirnya, wacana penundaan teknis seharusnya tidak mengaburkan tujuan yang lebih besar menciptakan kepatuhan yang adil dan berkelanjutan. Keadilan fiskal bukan hanya soal tarif yang sama, melainkan soal akses terhadap mekanisme yang memudahkan pemenuhan kewajiban. Dengan memperluas peran pihak ketiga dalam pemungutan dengan proteksi, pelatihan, dan digitalisasi untuk kanal offline pemerintah dapat menjembatani convenience gap, menutup celah penghindaran, dan menjaga level playing field tanpa mengorbankan daya beli masyarakat.

Menunda pelaksanaan teknis kadang diperlukan untuk menghindari dampak negatif pada konsumsi saat ekonomi tertekan merupakan argumen yang sah. Namun menunda tanpa menyelesaikan masalah administrasi hanya menangguhkan ketidakadilan. Kebijakan fiskal yang adil bukan hanya soal tarif yang sama, melainkan soal akses terhadap kemudahan untuk memenuhi kewajiban. Jika pemerintah ingin benar-benar menciptakan level playing field, ia harus menjembatani convenience gap dengan  memindahkan beban administrasi dari pundak pelapak tradisional ke mekanisme yang memudahkan kepatuhan, sehingga kepatuhan meningkat, persaingan menjadi lebih adil, dan tujuan fiskal bisa tercapai tanpa melukai daya beli masyarakat.

author avatar
Muhamad Akbar Aditama
Tax Policy Analyst Pratama-Kreston Tax Research Institute
See Full Bio
Tags: PMK 37/2025PPh FinalPPh Pasal 22 E-Commerce
Share61Tweet38Send
Previous Post

ESG dan SDGs sebagai Instrumen Kebijakan Ekonomi Menuju Pembangunan Berkelanjutan

Next Post

Dua Tantangan Besar Perusahaan: Cara Melunasi Utang dan Mencegah Fraud Internal

Muhamad Akbar Aditama

Muhamad Akbar Aditama

Tax Policy Analyst Pratama-Kreston Tax Research Institute

Related Posts

Artikel

ESG dan SDGs sebagai Instrumen Kebijakan Ekonomi Menuju Pembangunan Berkelanjutan

26 September 2025
#image_title
Artikel

ESG sebagai Strategi Bisnis Jangka Panjang

26 September 2025
#image_title
Artikel

Tantangan dan Peluang ESG di Era Transparansi

26 September 2025
#image_title
Artikel

Mengapa Keberagaman Gender di Dewan Direksi Penting untuk ESG?

26 September 2025
Artikel

Mengenal Delta dalam SPT PPN Pada CTAS

26 September 2025
Artikel

Penyusunan Laporan Asurans dengan ISAE 3000

25 September 2025
Next Post

Dua Tantangan Besar Perusahaan: Cara Melunasi Utang dan Mencegah Fraud Internal

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1483 shares
    Share 593 Tweet 371
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    1015 shares
    Share 406 Tweet 254
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    962 shares
    Share 385 Tweet 241
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    822 shares
    Share 329 Tweet 206
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    782 shares
    Share 313 Tweet 196
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.