Kabar gembira datang bagi masyarakat yang gemar berburu kendaraan bekas. Sejak 5 Januari 2025, Pemerintah melalui UU HKPD resmi menghapus Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) untuk kendaraan bekas. Kebijakan ini tentu menjadi angin segar, bukan hanya bagi pembeli mobil atau motor second, tetapi juga bagi ekosistem perdagangan kendaraan di Indonesia secara keseluruhan.
Sebelum UU HKPD berlaku, BBNKB menjadi salah satu momok dalam proses jual beli kendaraan bekas. Keputusan penghapusan BBNKB bisa memangkas beban pembeli rata-rata puluhan hingga ratusan ribu rupiah per unit. Langkah ini tidak hanya menurunkan biaya transaksi, tetapi juga membuka peluang menertibkan data kepemilikan kendaraan yang selama ini banyak tercerai-berai karena praktik ‘oper tangan’. Dampaknya, bukan hanya soal administrasi yang berantakan, tetapi juga rawan masalah hukum di kemudian hari.
Meskipun kendaraan bekas tidak lagi dikenakan BBNKB namun, untuk proses balik nama masih ada beberapa biaya yang harus dikeluarkan. Dengan pembebasan biaya bea balik nama kendaraan bekas ini membuat pembeli mobil atau motor bekas lebih ringan dalam proses balik nama. Kebijakan BBNKB kendaraan bekas diatur ini berlaku di semua provinsi di Indonesia. Sebab, hal itu adalah amanat UU HKPD
Menghapus BBNKB untuk kendaraan bekas memang memberi keringanan yang patut diapresiasi, namun kebijakan ini layak ditelaah lebih jauh, apakah manfaatnya cukup signifikan dan berkelanjutan, atau menimbulkan masalah baru yang merugikan publik?
Membuka Akses Lebih Luas
Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) mencatat ada lebih dari 6 juta unit sepeda motor baru terjual setiap tahun, sementara pasar mobil bekas diperkirakan mencapai ratusan ribu unit. Tak heran, kendaraan bekas menjadi pilihan favorit bagi masyarakat yang ingin memiliki kendaraan pribadi dengan harga lebih terjangkau.
Meskipun demikian, harga murah seringkali tidak sebanding dengan biaya administrasi. BBNKB yang nilainya bisa mencapai 1% dari nilai kendaraan cukup memberatkan, terutama bagi pembeli dari kalangan menengah ke bawah. Akibatnya, banyak terjadi transaksi oper tangan tanpa balik nama, transaksi ini menciptakan masalah tersendiri. Pajak kendaraan bermotor (PKB) atas kendaraan bekas sering diabaikan karena pemilik baru tidak merasa berkewajiban membayar, sementara pemilik lama sudah tidak lagi menguasai kendaraan tersebut.
Dengan kebijakan penghapusan BBNKB, masyarakat kini bisa lebih mudah melakukan balik nama tanpa harus berpikir panjang soal biaya tambahan. Efek domino yang diharapkan adalah meningkatnya kepatuhan administrasi, lebih tertibnya data kepemilikan, sekaligus memperkuat penerimaan pajak dari sektor kendaraan.
Adapun bagi konsumen, penghapusan BBNKB jelas menjadi win-win solution. Transaksi jual beli kendaraan bekas jadi lebih transparan dan aman, sehingga tidak ada lagi alasan untuk menunda atau menghindari balik nama. Selain itu, pembeli kendaraan bekas merasa lebih tenang karena kepemilikan kendaraan tercatat resmi atas nama mereka, sehingga pengurusan administratif jadi lebih sederhana.
Dampak lainya, pasar kendaraan bekas kemungkinan akan semakin bergairah. Harga jual bisa lebih stabil karena tidak ada tambahan beban pajak di belakangnya. Hal ini bisa mendorong lebih banyak orang memilih kendaraan bekas sebagai alternatif, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
Namun, di sisi lain, ada potensi lonjakan permintaan yang perlu diantisipasi. Dengan biaya balik nama yang lebih ringan, transaksi bisa melonjak signifikan. Jika tidak dibarengi dengan pengawasan yang ketat, bukan tidak mungkin ada praktik spekulasi atau penyalahgunaan. Salah satu praktik yang sering terjadi misalnya pelaku usaha yang memanfaatkan kebijakan penghapusan BBNKB dengan memperdagangkan kendaraan dalam jumlah besar tanpa prosedur yang jelas.
Implikasi dan Momentum bagi Pemerintah Daerah
Lonjakan transaksi yang mungkin terjadi akibat dihapuskannya BBNKB tidak hanya membuka celah penyalahgunaan, kebijakan ini juga berdampak langsung pada keuangan daerah. Pemungutan BBNKB merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD). Dengan dihapusnya pungutan untuk kendaraan bekas, otomatis ada potensi berkurangnya penerimaan daerah.
Jika penerimaan dari pungutan ini hilang, pemerintah daerah harus segera memikirkan langkah selanjutnya, apakah lewat kompensasi dari pusat, peningkatan efisiensi pemungutan pajak tahunan, atau diversifikasi sumber pendapatan, dengan tujuan akhir untuk mengantisipasi agar layanan publik dan keseimbangan anggaran tak terganggu. Pemerintah pusat bisa mengompensasi kekurangan PAD melalui transfer fiskal atau pemerintah daerah perlu lebih kreatif menggali sumber penerimaan lain.
Pemerintah daerah dapat melihat penghapusan BBNKB lebih dari sekadar penghapusan biaya, kebijakan ini seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola administrasi kendaraan bermotor. Data kepemilikan yang lebih tertib akan sangat bermanfaat, tidak hanya untuk urusan pajak, tetapi juga untuk keamanan dan penegakan hukum. Diharapkan jika semua kendaraan tercatat sesuai nama pemilik sebenarnya, instansi polisi akan lebih mudah melacak tindak kejahatan, dan kasus sengketa kendaraan bisa diminimalisir.
Selain itu, kemudahan balik nama sebaiknya diiringi dengan digitalisasi layanan. Proses balik nama yang cepat, murah, dan bisa dilakukan secara online akan semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat. Jangan sampai kebijakan baik ini terhambat oleh birokrasi yang berbelit.
Dengan demikian, penghapusan BBNKB adalah langkah progresif yang layak diapresiasi. Kebijakan ini bukan hanya meringankan beban masyarakat, tetapi juga berpotensi menertibkan administrasi dan memperkuat kepatuhan pajak. Meski ada tantangan, terutama soal penerimaan daerah, manfaat jangka panjangnya jauh lebih besar.
Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada implementasi di lapangan. Jika pemerintah mampu memastikan pelayanan yang sederhana, transparan, dan adil, maka keputusan menghapus BBNKB kendaraan bekas bisa menjadi salah satu contoh nyata bagaimana regulasi berpihak pada rakyat.
Serta bagi masyarakat, ini saatnya meninggalkan budaya “oper tangan tanpa balik nama”. Dengan biaya yang sudah jauh lebih ringan, tidak ada alasan lagi untuk menunda mencatatkan kendaraan sesuai nama pemilik sebenarnya. Karena pada akhirnya, administrasi yang tertib bukan hanya soal pajak, melainkan juga soal rasa aman dan keadilan bersama.
Penulis :
Ananda Bagus – Market Analyst Pratama Indomitra Konsultan