Isu mengenai Pemerintah yang akan menaikkan pajak untuk kendaraan motor berbahan bakar minyak (BBM) kian berhembus kencang. Adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang mewacanakan kebijakan tersebut. Luhut menyatakan bahwa tujuan kebijakan tersebut untuk mengalihkan dana subsidi BBM ke transportasi publik seperti Lintas Raya Terpadu (LRT) atau kereta capat.
Luhut juga menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan upaya untuk mengurangi polusi udara, sekaligus menjadi langkah untuk memitigasi perubahan iklim, serta untuk ketahanan energi. Selain berorientasi pada mitigasi permasalahan lingkungan, Luhut menegaskan dengan penerapan kebijakan ini masyarakat diharapkan segera beralih ke kendaraan berbasis battery electric vehicle (BEV).
Wacana kebijakan tersebut menghidupkan kembali diskursus mengenai kesiapan Indonesia dalam menjalankan komitmenya menjadi bagian dalam menangani persoalan iklim dan lingkungan. Namun demikian, apakah menaikkan pajak kendaraan motor BBM dirasa tepat?
Analisis Dampak
Wacana mengenai kebijakan menaikkan tarif pajak kendaraan bermotor peneggak BBM sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) sebagai Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Aturan tersebut menetapkan bahwa tarif PBBKB paling tinggi 10% dari nilai jual Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (BBKB). Sebagai catatan penting untuk jenis BBKB tertentu, pemerintah daerah dapat melakukan penyesuaian tarif PBBKB ataupun menaikkannya menjadi sampai dengan 10% melalui penerbitan Peraturan Daerah (Perda) di tingkat provinsi.
Sejauh ini, DKI Jakarta menjadi daerah pertama yang merespon wacana ini dengan langsung mengesahkan Perda Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Salah satu yang termaktub dalam aturan itu adalah mengenai Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Dalam Perda tersebut dijelaskan tarif PBBKP yang terbaru sebesar 10% naik dari aturan yang ada sebelumnya di Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 10 tahun 2010 (Perda 10/2010) tentang Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Dalam Perda 10/2010 tersebut, tarif PBBKB ditetapkan hanya 5%.
Ketika pemerintah menaikkan tarif PBBKB, maka penerimaan pajak dari sektor BBM akan meningkat, yang kemudian pendapatan tambahan dari PBBKB dapat digunakan untuk mengompensasi atau mengurangi beban anggaran yang dihasilkan dari kebijakan subsidi BBM atau sekqdar dialokasikan untuk penanganan lingkungan yang disebabkan oleh BBM. Jika menilik pada logika yang demikian, menaikkan tarif PBBKB dirasa masuk akal, mamun apakah kebijakan ini tidak meninggalkan residual?
Satu sisi kebijakan menaikkan tarif PBBKB mendorong penerimaan pajak daerah menjadi lebih besar, namun sisi lainnya ada kemungkinan jika hal ini bukan hanya sekadar upaya transisi energi, melainkan justru berpotensi pada penghapusan BBM subsidi secara perlahan. Mengapa demikian? Pemerintah sering kali menghadapi tekanan anggaran, terutama jika terdapat kebijakan subsidi yang memerlukan pengeluaran besar, salah satunya BBM.
Data dari International Monetary Found (IMF) menujukan bahwa Indonesia menjadi peringkat ke-3 sebagai negara dengan pengeluaran subsidi terbesar untuk BBM (USD25,74 miliar). Untuk itu, kemungkinan hilangnya BBM bersubsidi dari pasaran akan sangat memungkinkan jika penerimaan PBBKB justru lebih besar dari penerimaan penjualan BBM subsidi.
Jika hal demikian terjadi, maka pendapatan dari pajak bahan bakar dapat mencukupi untuk menutupi kebutuhan energi masyarakat. Dalam jangka panjang, penerimaan PBBKB yang dapat menutupi biaya energi masyarakat dapat mengurangi ketergantungan pada subsidi BBM. Hal tersebut dapat mengarah pada efisiensi dan keberlanjutan fiskal karena beban subsidi dapat dikurangi.
Walau ada potensi jika kenaikan PBBKB dapat menjadi langkah strategis untuk mendorong transisi ke energi yang lebih berkelanjutan. Akan tetapi, mayoritas mayarakat Indonesia masih sangat bergantung pada BBM untuk kebutuhan di beberapa sektor. Ketika tarif PBBKB naik, maka harga BBM turut naik, khsusnya untuk BBM non-subsidi. Sudah bukan rahasia jika kenaikan BBM membawa dampak merugikan bagi masyarakat terutama pelaku usaha yang menjadikan kendaraan sebagai komponen biaya yang signifikan, seperti perusahan penyedia jasa ojek online (ojol), dan lain-lain.
Dampak kerugian akan sangat dirasakan oleh industri transportasi, logistik dan pergudangan, akibat kenaikan harga BBM untuk kendaraan/transportasi logistik mereka. Efek dominonya, biaya operasional melambung, marjin keuntungan akan berkurang, dampak instant-nya biaya jasa distribusi/logistik akan mengalami kenaikan. Akibatnya, terjadi kenaikan harga pada beberapa jenis barang terutama yang di jual di E-commerce, yang notabene didominasi oleh produk-produk usaha kecil menengah.
Faktanya, dalam dua tahun terakhir, industri transportasi dan pergudangan mencatat pertumbuhan siginifkan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada triwulan III 2023 sektor ini mengalami pertumbuhan tertinggi (14,74%) secara year on year (yoy). Selain itu, laporan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan sektor ini menyumbang 46,5% terhadap penerimaan negara dari sektor industri. Tentunya tren positif ini akan terdampak jika pemerintah ugal-ugalan dalam mengimplementasikan kenaikan tarif PBBKB jika skema pajaknya memang demikian.
Dampak serupa juga akan dirasakan oleh industri otomotif. Kenaikan harga bahan bakar imbas kenaikan tarif PBBKB dapat mendorong penurunan daya beli masyarakat terhadap produk-produk otomotif konvensional. Akibatnya, permintaan terhadap kendaraan konvensional akan menurun. Di satu sisi, hal ini baik untuk menekan angka polusi dan kamacetan, namun di sisi lainnya sebesar kurang lebih 1,5 juta tenaga kerja di sektor ini akan terdampak.
Lalu bagaimana potensi migrasi masyarakat dari penggunaan kendaraan konvensional menuju BEV?
Menakar Kesiapan
Kenaikan pajak untuk kendaraan penenggak BBM berlaku untuk semua jenis kendaraan konvensional. Tentunya hal tersebut hanya akan membebani masyrakat jika tidak diiringi dengan komitmen sepenuh hati dari pemerintah. Ketika kebijakan ini jadi diberlakukan secara luas, secara kesiapan Indonesia seharusnya telah siap menuju transisi ke penggunaan kendaraan elektrik.
Salah satu hal paling krusial untuk menakar kesiapan suatu negara dalam upaya transisi menuju kendaraan ramah lingkungan adalah dengan melihat kesiapan infrastruktur penunjang yang tersedia, realitas pasar, serta ketersediaan bahan baku kendaraan elektrik.
Berbicara mengenai infrastruktur, langkah awalnya adalah dengan menjamin ketersediaan fasilitas stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) guna mendorong percepatan transisi. Sejauh ini Indonesia baru memilki 846 SPKLU, yang secara jumlah kalah jauh dengan Tiongkok (2,9 Juta).
Selanjutnya, market/pasar juga jadi salah satu faktor krusial untuk menakar kesiapan. Faktanya, kendaraan berbasis BEV masih asing bagi masyarakat. Selama 2023, kendaraan berbasis BEV di Indonesia hanya terjual sebanyak 17.062 unit, angka tersebut terpaut jauh dengan penjualan mobil konvensional (1.048.040 unit). Salah satu alasan sulitnya masyarakat bertransisi menuju kendaraan elektrik diakibatkan harganya yang tidak ramah. Rata-rata harga mobil listrik bisa mencapai Rp617 juta, harga tersebut jauh lebih mahal dari mobil konvensional yang kisaran harganya Rp420 juta di kelas yang sama. Selain itu biaya perwatan mobil listrik 24% lebih mahal daripada mobil konvensional.
Selain itu faktor ketersediaan bahan baku juga perlu diperhatikan. Data World Electric Vehicle Journal manyatakan, 39% biaya dari kendaraan BEV ada pada baterai. Salah satu komponen utama BEV adalah nikel. Indonesia dengan cadangan mencapai 21 juta ton (22% Cadangan nikel dunia) tentunya berpeluang menjadi salah satu pemain besar di pasar baterai kendaraan elektrik.
Sejauh ini Indonesia nampaknya serius untuk menjadi pemain di industri baterai kendaraan listrik dunia. Sejak 2020 Pemerintah melarang ekspor nikel mentah. Sepanjang 2022, BPS mencatat indonesia telah mengekspor sebanyak 777,4 ribu ton nikel, hasilnya nilai ekspor nikel mencapai USD5,97 miliar, naik 369% (yoy).
Bila menilik dari segi kesiapan, dalam waktu dekat ketimbang menjadi negara pengguna aktif kendaraan elektrik, Indonesia cenderung lebih siap menjadi negara produsen. Dengan logika yang demikian, maka wajar pemerintah menaikkan pajak kendaraan BBM, namun, apakah langkah tersebut bijak?
Menaikkan Pajak, Apakah Bijak?
Menaikkan pajak dalam bentuk dan skema apapun bukanlah solusi yang bijak. Persoalan bukan hanya terletak pada kurangnya kesadaran masyarakat dalam penggunaan kendaraan listrik, namun juga pada kesiapan negara dalam menyiapkan infrastruktur penunjang maupun regulasi yang tepat agar masyarakat mau bermigrasi menuju penggunaan kendaraan listrik.
Dalam banyak kesempatan, Indonesia terkesan setengah hati dalam mengupayakan transisi. Misal, di satu sisi, pemerintah ingin mencapai cita-cita net zero emission, namun di sisi lain Indonesia beberapa kali pernah memberikan insentif berupa pengurangan tarif PPnBM serta insentif PPN ditanggung pemerintah (DTP) untuk kendaraan konvensional.
Indonesia rupanya perlu belajar dari Tiongkok. Dalam artikel berjudul “Electric vehicles in China: BYD strategies and government subsidies”, pemerintah Tiongkok memberikan insentif sekitar USD15 miliar untuk menopang industri kendaraan Listrik. Insentif pajaknya pun tidak main-main, sebesar RMB520 miliar (setara Rp1.082 triliun). Tidak berhenti di insentif, Pemerintah Tiongkok juga memberikan subsidi untuk pembelian kendaraan listrik selama satu dekade.
Dalam konteks Indonesia, meskipun pemerintah telah memberikan insentif untuk pembelian kendaraan elektrik yang seharusnya ditujukan bukan untuk golongan atas, faktanya masyarakat golongan menengah ke bawah yang menggantungkan hidup dari kendaraan konvensional seperti driver taxi online dan yang lainnya masih kesulitan untuk mengakses insentif pembelian kendaraan listrik.
Pada akhirnya, menaikkan pajak belum tentu menjadi solusi bijak untuk mendorong transisi menuju kendaraan listrik. Perubahan pola perilaku masyarakat perlu didorong melalui edukasi, insentif, dan fasilitas yang memadai. Hal-hal tersebut dapat menjadi kunci sukses dalam mencapai tujuan transisi menuju kendaraan listrik.
Masyarakat yang teredukasi dan termotivasi cenderung memilih kendaraan listrik sebagai bagian dari upaya bersama menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Dengan demikian, mari kita bersama-sama membangun kesadaran dan bersemangat untuk mengubah paradigma transportasi kita demi lingkungan yang lebih baik.