Sejak Januari 2025, fokus permasalahan terkait Coretax mulai mengalami perubahan. Jika sebelumnya perdebatan berpusat pada bahasa pemrograman yang digunakan dalam sistem ini serta ketidakjelasan aspek hukum dalam PMK 81/2024 sebagai dasar pengaturannya, kini tantangan utama justru terletak pada sejauh mana Wajib Pajak mampu memahami dan memiliki keterampilan teknis dalam mengoperasikan teknologi baru yang diterapkan di Coretax.
Salah satu isu krusial dalam sistem ini adalah penerapan konsep impersonating, yang berhubungan erat dengan pengelolaan hak akses pengguna. Melalui mekanisme ini, pemenuhan kewajiban perpajakan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang memiliki otorisasi resmi, seperti pengurus, wakil, atau kuasa yang telah ditunjuk.
Sebelum Coretax diberlakukan, akses ke akun Wajib Pajak badan jauh lebih fleksibel. Siapa pun yang mengetahui kombinasi username dan password dapat dengan mudah masuk dan menggunakan akun tersebut tanpa adanya batasan terkait peran atau status resmi. Namun, dengan penerapan mekanisme impersonating, hanya individu yang memiliki izin yang dapat menjalankan transaksi perpajakan atas nama badan usaha atau entitas tertentu.
Meskipun sistem ini bertujuan meningkatkan keamanan dan kepatuhan pajak, implementasinya menimbulkan tantangan baru. Banyak Wajib Pajak yang belum siap dalam memahami bahasa pemrograman Coretax maupun dalam mengatasi kendala teknis saat mengoperasikannya. Salah satu kekhawatiran yang muncul adalah sejauh mana individu yang diberikan wewenang memiliki akses terhadap data yang bersifat rahasia atau sensitif. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Coretax dirancang untuk memperbaiki sistem perpajakan, masih terdapat kesenjangan dalam pemahaman serta kesiapan pengguna dalam menghadapi perubahan teknologi yang diterapkan.
Peran Konsultan Pajak dalam Menghadapi Tantangan Coretax
Reformasi perpajakan melalui Core Tax Administration System (CTAS) dirancang untuk meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan dengan pemanfaatan teknologi informasi, sementara regulasi perpajakan bertujuan memberikan kepastian hukum serta keadilan dalam proses pemungutan pajak. Namun, meskipun kedua aspek ini seharusnya saling mendukung, dalam praktiknya implementasi CTAS tidak selalu berjalan selaras. Digitalisasi yang menggantikan proses manual justru menghadirkan tantangan baru, terutama bagi Wajib Pajak yang belum memiliki pemahaman teknis yang memadai dalam mengoperasikan sistem baru ini.
Baca juga : PMK 81/2024 Beri Kepastian Hukum Pelaksanaan Coretax System
Di tengah semakin kompleksnya sistem perpajakan, peran konsultan pajak menjadi semakin penting. Thuronyi & Vanistendael (1998) menegaskan bahwa sulit bagi suatu sistem perpajakan untuk berjalan efektif tanpa keberadaan konsultan pajak. Hal ini disebabkan oleh banyaknya Wajib Pajak yang masih mengalami kesulitan dalam memahami regulasi perpajakan yang berlaku. Konsultan pajak tidak hanya membantu mereka dalam memenuhi kewajiban perpajakan, tetapi juga berkontribusi terhadap peningkatan tingkat kepatuhan pajak. Namun, tantangan muncul karena loyalitas utama konsultan pajak tetap berada pada klien, bukan pada negara, sehingga terdapat dilema dalam menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan publik.
Selain itu, kompleksitas yang ditimbulkan oleh penerapan Coretax semakin memperumit administrasi perpajakan. Tidak seperti aspek regulasi perpajakan yang masih dapat dipahami oleh konsultan pajak, berbagai kendala teknis dalam Coretax sepenuhnya bergantung pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai pengembang sistem. Bahkan, tidak semua pegawai DJP memiliki kapasitas teknis yang memadai untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul. Akibatnya, hanya tim pengembang Coretax yang dapat memberikan solusi, menciptakan ketergantungan yang tinggi terhadap sistem dan pihak yang mengelolanya.
Ketimpangan antara reformasi berbasis teknologi, regulasi perpajakan, dan kesiapan Wajib Pajak dalam beradaptasi dengan sistem baru ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih inklusif dan menyeluruh. Jika pemerintah tidak segera menyediakan solusi yang lebih efektif dalam mendukung pengguna Coretax, maka reformasi perpajakan yang diharapkan justru berisiko menimbulkan hambatan baru dalam kepatuhan pajak dan meningkatkan ketergantungan terhadap pihak tertentu dalam administrasi perpajakan.
Coretax & Kepatuhan
Ketidakjelasan dalam implementasi Coretax tidak hanya menambah beban teknis bagi Wajib Pajak, tetapi juga berpotensi melemahkan fondasi kepatuhan pajak yang telah dibangun selama ini. Meskipun sistem ini diperkenalkan dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan transparansi, kenyataannya justru menciptakan berbagai kendala yang menyulitkan pengguna, terutama mereka yang memiliki keterbatasan dalam aspek teknologi. Akses yang terbatas, desain sistem yang tidak ramah pengguna, serta minimnya dukungan teknis membuat banyak Wajib Pajak mengalami kesulitan dalam mengoperasikan Coretax dengan optimal. Dampaknya, keterlambatan pelaporan menjadi lebih sering terjadi, dan risiko kesalahan administratif yang dapat berujung pada sanksi pun semakin meningkat.
Selain itu, penerapan konsep impersonating dalam Coretax memperumit akses dan otorisasi akun Wajib Pajak. Jika sebelumnya mereka dapat dengan mudah mengelola akun sendiri, kini mereka harus memahami prosedur baru yang lebih kompleks. Sayangnya, bagi banyak Wajib Pajak, aspek teknis ini bukanlah prioritas utama dalam menjalankan kewajiban perpajakan mereka. Kurangnya pemahaman terhadap sistem baru ini tidak hanya menimbulkan kebingungan, tetapi juga berisiko menghambat kepatuhan pajak, baik dalam bentuk keterlambatan pelaporan maupun potensi pelanggaran administratif yang terjadi akibat kesalahan non-disengaja.
Baca juga : GovTech dan Coretax: Inovasi dalam Efisiensi Perpajakan
Meskipun Coretax diklaim sebagai solusi modern dalam administrasi perpajakan, efektivitasnya perlu dievaluasi berdasarkan realitas di lapangan. Sebuah sistem yang disebut lebih efisien seharusnya mempermudah pengguna, bukan justru menambah kompleksitas yang menghambat kepatuhan. Fakta bahwa banyak Wajib Pajak masih mengalami kesulitan teknis menunjukkan bahwa sistem ini belum sepenuhnya siap untuk diterapkan secara luas. Jika permasalahan ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin Coretax malah menjadi faktor yang memperburuk ketidakpastian bagi Wajib Pajak, alih-alih meningkatkan transparansi dan kepatuhan.
Pemerintah tidak dapat hanya fokus pada digitalisasi tanpa memastikan kesiapan pengguna dalam beradaptasi dengan sistem baru. Jika reformasi perpajakan melalui Coretax benar-benar bertujuan meningkatkan kepatuhan pajak, maka kebijakan ini harus didukung dengan pendekatan yang lebih inklusif dan adaptif. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu memperkuat layanan teknisnya agar dapat merespons kendala pengguna dengan lebih cepat. Selain itu, regulasi terkait peran konsultan pajak juga perlu diperjelas agar mereka dapat secara aktif membantu Wajib Pajak dalam memahami dan menggunakan sistem ini secara lebih efektif.
Pada akhirnya, reformasi perpajakan berbasis teknologi hanya akan berhasil jika diterapkan dengan pendekatan yang lebih realistis dan memperhitungkan kesiapan pengguna. Jika pemerintah tetap bersikeras menerapkan sistem yang belum sepenuhnya matang tanpa dukungan yang memadai, maka alih-alih meningkatkan kepatuhan, Coretax justru berisiko menjadi hambatan baru yang melemahkan efektivitas sistem perpajakan di Indonesia.