Krisis iklim tidak hanya mencerminkan ketidakstabilan ekosistem global, tetapi juga mengungkap kegagalan moral dalam sistem sosial dan ekonomi kita saat ini. Di tengah gencarnya narasi kapitalisme hijau, yang menjanjikan pertumbuhan berkelanjutan melalui inovasi ramah lingkungan, krisis ini menunjukkan bahwa solusi teknologi tanpa disertai perubahan nilai dan struktur hanya akan menjadi lapisan yang terlihat cantik di permukaan.
Dalam konteks ini, krisis iklim bukan lagi hanya soal angka, suhu, atau emisi. Hal ini menjadi cermin moral yang memaksa kita bertanya ulang, siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan sistem seperti apa yang selama ini kita pelihara atas nama kemajuan?
Dimensi Moral dalam Krisis Iklim
Laporan IPCC pada 2023 menegaskan bahwa pemanasan global telah mencapai 1,1°C di atas level pra-industri dan akan melampaui 1,5°C dalam dekade ini jika tidak ada pengurangan emisi besar-besaran secara cepat dan menyeluruh.
Namun krisis ini tidak bisa sepenuhnya dipahami hanya melalui grafik dan angka. Masyarakat di garis depan perubahan iklim—petani kecil, masyarakat adat, dan penghuni wilayah pesisir—mengalami langsung trauma fisik dan sosial akibat banjir, kekeringan, dan bencana alam ekstrem. Sayangnya, pengalaman mereka kemungkinan besar tak terdengar dalam forum pengambil kebijakan global yang justru lebih didominasi oleh negara-negara maju dan industri besar, walaupun mereka seringkali menyebut-nyebutkan bahwa perserikatannya telah mewakili suara masyarakat.
Lebih ironis, tanggung jawab iklim kerap dialihkan ke individu melalui kampanye “jejak karbon pribadi”, yang awalnya dipopulerkan oleh perusahaan minyak BP pada 2004. Kampanye ini terbukti merupakan strategi greenwashing untuk memindahkan beban tanggung jawab dari korporasi kepada konsumen.Padahal, laporan CDP 2017 mencatat bahwa hanya 100 perusahaan bertanggung jawab atas lebih dari 70% emisi industri global sejak 1988—termasuk ExxonMobil, Shell, Chevron, dan BP itu sendiri. Mengapa setiap individu kini harus menanggung akibat dari kerusakan yang justru diakibatkan oleh segelintir individu yang memiliki kekuasaan dan kendali atas sumber daya? Apakah ini bisa dianggap adil? Dengan demikian, krisis iklim bukan semata persoalan konsumsi, tetapi juga persoalan ketimpangan kekuasaan dan kegagalan etika dalam tata kelola global.
Dari Greenwashing ke Transformasi Sistemik
Narasi kapitalisme hijau menjanjikan bahwa inovasi akan menyelamatkan kita: kendaraan listrik, bioenergi, dan kemasan ramah lingkungan. Namun dalam banyak kasus, inovasi itu digunakan untuk mempertahankan sistem yang sama—bukan untuk mengubahnya.
Greenwashing menjadi taktik utama banyak korporasi, dengan mengadopsi simbol-simbol “hijau” tanpa mengubah proses produksi yang eksploitatif. Perubahan kemasan, offset karbon, atau pemasangan panel surya simbolis tak menyentuh akar masalah: struktur ekonomi berbasis pertumbuhan tak terbatas di planet yang terbatas.
Lebih mengejutkan lagi, menurut laporan IMF tahun 2023, subsidi eksplisit dan implisit untuk bahan bakar fosil global mencapai USD 7 triliun—hampir 7,1% dari PDB global. Sebagian besar berasal dari harga energi yang tidak mencerminkan biaya lingkungan dan sosialnya.
Jika subsidi ini tidak segera dialihkan ke energi bersih, solusi iklim hanya akan menjadi slogan kosong. Oleh karena itu, solusi terkait hal ini setidaknya perlu mencakup:
- Reformasi fiskal dan pajak karbon yang memaksa pelaku industri membayar kerusakan yang mereka timbulkan
- Investasi publik pada sistem energi terbarukan, transportasi massal, dan ketahanan pangan komunitas
- Perubahan budaya konsumsi yang mengedepankan keseimbangan dan keadilan, bukan hanya efisiensi
Yang kita butuhkan hari ini bukan sekadar produk baru, melainkan sistem insentif baru—yang benar-benar menempatkan regenerasi di atas eksploitasi, dan solidaritas di atas akumulasi. Krisis iklim bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal nilai dan arah. Krisis ini merupakan cermin moral yang memantulkan siapa kita sebenarnya, dan menguji jenis peradaban seperti apa yang ingin kita wariskan ke generasi berikutnya.
Tanpa keberanian untuk mengakui bahwa sistem yang ada telah gagal, dan tanpa kemauan untuk meninggalkan kenyamanan palsu dari solusi setengah hati, retorika hijau akan tetap menjadi sekadar kampanye kosong di tengah laju kerusakan yang yang semakin nyata. Bukan teknologi yang kita kurang, melainkan arah—dan arah itu hanya akan muncul ketika nilai-nilai kemanusiaan, bukan laba, menjadi dasar dari setiap pengambilan keputusan.
Informasi Jasa Pratama Institute
Penerapan ESG dilaporkan dalam laporan keberlanjutan perusahaan yang wajib dibuat setiap tahunnya. Jika Anda ingin memastikan laporan keberlanjutan perusahaan Anda disusun secara profesional dan menarik, kami di Pratama Institute hadir untuk membantu Anda. Dengan pengalaman dan keahlian dalam penyusunan laporan tahunan dan/atau laporan keberlanjutan yang sesuai dengan standar terbaik, kami menghadirkan dokumen yang informatif sehingga bisa mencerminkan identitas perusahaan Anda. Hubungi kami untuk solusi laporan keberlanjutan yang ciamik!