Investasi berkelanjutan yang mengacu pada prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) telah menjadi salah satu pilar utama dalam mendorong pembangunan ekonomi global yang lebih inklusif dan ramah lingkungan. Di Indonesia, konsep ini mulai mendapatkan perhatian luas seiring dengan meningkatnya kesadaran terhadap pentingnya tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam dunia usaha. ESG menitikberatkan pada integrasi tiga aspek penting dalam pengambilan keputusan investasi, yaitu perlindungan lingkungan, kepedulian sosial, dan tata kelola perusahaan yang baik. Tujuan utama dari penerapan prinsip ini adalah menciptakan sistem ekonomi yang tidak hanya mengejar keuntungan finansial, tetapi juga memberikan dampak positif yang nyata bagi lingkungan dan masyarakat.
Namun, di balik tren positif ini, terdapat tantangan serius yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap investasi berkelanjutan, yaitu praktik greenwashing. Greenwashing merupakan upaya perusahaan dalam membangun citra ramah lingkungan secara manipulatif, tanpa disertai dengan komitmen dan tindakan nyata yang sesuai dengan klaim tersebut. Fenomena ini tidak hanya menyesatkan publik dan investor, tetapi juga berpotensi menghambat tujuan utama dari ESG itu sendiri.
Salah satu kasus greenwashing yang paling menonjol di tingkat global adalah praktik yang dilakukan oleh perusahaan multinasional Coca-Cola. Melalui kampanye bertajuk “World Without Waste”, Coca-Cola mengklaim berkomitmen terhadap pengurangan limbah plastik dan penguatan program daur ulang botol kemasan. Kampanye ini menampilkan narasi yang kuat tentang tanggung jawab lingkungan, seolah-olah perusahaan telah menjadi pelopor dalam pelestarian alam. Namun, data dari berbagai audit independen menunjukkan ketidaksesuaian antara pesan kampanye dengan realitas di lapangan.
Laporan dari organisasi lingkungan Break Free from Plastic menyebutkan bahwa selama empat tahun berturut-turut, botol plastik Coca-Cola merupakan jenis sampah plastik yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia. Kondisi ini menimbulkan keraguan terhadap integritas kampanye keberlanjutan yang dilakukan perusahaan tersebut. Bahkan pada tahun 2021, Earth Island Institute mengajukan gugatan hukum terhadap Coca-Cola di Pengadilan Tinggi Distrik Columbia, Amerika Serikat. Gugatan ini menuduh bahwa kampanye “World Without Waste” merupakan bentuk penipuan dan penyebaran informasi yang menyesatkan, karena tidak mencerminkan tindakan nyata yang sesuai dengan klaim keberlanjutan yang disampaikan kepada publik dan investor.
Praktik semacam ini sangat merugikan karena tidak hanya memberikan gambaran palsu kepada investor, tetapi juga menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan pasar keuangan berkelanjutan. Ketika perusahaan menyampaikan klaim ESG yang tidak akurat, investor berpotensi mengalokasikan dana mereka ke proyek atau entitas yang tidak benar-benar berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan. Akibatnya, risiko kerugian finansial dan reputasi menjadi nyata, serta dapat mengganggu kepercayaan terhadap instrumen keuangan berbasis ESG secara keseluruhan.
Di Indonesia, tantangan serupa juga mulai terasa seiring dengan meningkatnya tren investasi berkelanjutan. Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa dana kelolaan berbasis ESG mengalami lonjakan signifikan, dari Rp 253 miliar pada tahun 2017 menjadi Rp 3,5 triliun pada tahun 2021. Pertumbuhan ini mencerminkan meningkatnya minat masyarakat terhadap instrumen investasi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Namun, di sisilain, lonjakan ini juga membuka peluang terjadinya praktik greenwashing apabila tidak diikuti oleh pengawasan yang ketat dan regulasi yang memadai.
Dalam konteks nasional, peran OJK sebagai otoritas pengatur dan pengawas industri jasa keuangan sangat penting dalam menjaga integritas penerapan prinsip ESG. OJK telah menetapkan sejumlah regulasi yang menjadi dasar penerapan keuangan berkelanjutan, seperti Peraturan OJK Nomor 51/POJK.03/2017 dan Peraturan OJK Nomor 60/POJK.04/2017. Kedua regulasi ini memberikan kerangka kerja yang jelas bagi lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik dalam menyusun serta melaporkan aksi keberlanjutan secara transparan.
OJK juga memiliki wewenang untuk melakukan audit dan verifikasi terhadap klaim ESG yang disampaikan oleh perusahaan. Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian antara klaim dan realitas, atau indikasi kuat praktik greenwashing, maka OJK dapat menjatuhkan sanksi administratif, mulai dari teguran, denda, hingga pencabutan izin usaha. Fungsi pengawasan ini menjadi semakin krusial dalam era keterbukaan informasi dan meningkatnya tuntutan publik terhadap akuntabilitas korporasi.
Namun, regulasi dan pengawasan saja tidak cukup. Untuk memperkuat implementasi ESG dan mencegah praktik greenwashing secara menyeluruh, dibutuhkan upaya edukasi yang luas dan berkelanjutan kepada seluruh pemangku kepentingan. Edukasi ini perlu menyasar baik pelaku usaha maupun masyarakat umum, terutama para investor ritel yang mulai aktif dalam pasar modal. Pemahaman mendalam mengenai konsep ESG, indikator keberlanjutan yang dapat diukur, serta cara mengenali praktik greenwashing sangat penting agar keputusan investasi dapat diambil secara bijak dan bertanggung jawab.
Di sisilain, perusahaan juga harus diberikan bimbingan teknis agar mampu menerapkan prinsip ESG secara autentik dan terintegrasi dalam strategi bisnis mereka. Pendekatan ini akan mendorong terciptanya ekosistem investasi yang tidak hanya sehat secara ekonomi, tetapi juga berkelanjutan secara sosial dan lingkungan.
Dengan membangun kesadaran kolektif dan sistem pengawasan yang kuat, Indonesia dapat menciptakan fondasi yang kokoh bagi pengembangan pasar keuangan berkelanjutan yang kredibel. Praktik greenwashing seperti yang dilakukan oleh Coca-Cola harus menjadi peringatan bagi semua pihak akan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam menyampaikan klaim keberlanjutan. Hanya dengan itulah prinsip ESG benar-benar dapat diwujudkan sebagai alat transformasi menuju masa depan yang lebih hijau, adil, dan berkelanjutan.