Setiap tanggal 17 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Buku Nasional. Sayangnya, meski akses terhadap teknologi informasi kian meluas, kesenjangan literasi masih membentang lebar antara daerah perkotaan dan wilayah terpencil.
Data UNESCO menyebutkan bahwa indeks minat baca Indonesia masih berada pada kisaran rendah. Belum lagi, ketimpangan literasi antarwilayah yang masih cukup kentara.
Sebagai gambaran, data Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (2019) menunjukkan bahwa tingkat aktivitas literasi membaca di Provinsi Papua hanya 19,9 persen, jauh tertinggal dibandingkan rata-rata nasional yang sebesar 41,03 persen.
Selain soal ketimpangan literasi, kita juga perlu pahami bahwa literasi bukan hanya soal kemampuan membaca. Literasi mencakup pula keterampilan memahami informasi, berpikir kritis, hingga mampu berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial.
Literasi yang rendah mempersempit ruang partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yang dampak selanjutnya bisa pula memperlebar jurang ketimpangan sosial.
Dalam soal literasi, di antara aspek yang kerap terlupakan dalam pembahasan adalah perpajakan. Padahal, pajak memiliki peran strategis sebagai instrumen pemerataan, termasuk dalam aspek literasi dan pendidikan.
Melalui pajak, negara mengumpulkan sumber daya yang bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur pendidikan, penyediaan buku, pelatihan tenaga perpustakaan, serta digitalisasi akses bacaan.
Pemerintah, melalui APBN, rutin mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar minimal 20 persen, sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Sebagian dari alokasi ini ditujukan untuk program literasi seperti Gerakan Literasi Nasional, pembangunan perpustakaan desa, hingga distribusi buku ke pelosok.
Namun, anggaran besar saja tak akan cukup. Pemerataan literasi membutuhkan pendekatan berbasis konteks lokal.
Pendekatan tersebut menemukan urgensinya ketika dihadapkan pada realitas di tengah masyarakat. Di Tanah Papua, misalnya, tantangan literasi bukan hanya soal minimnya buku, melainkan juga kurangnya keterhubungan antara bahan bacaan dengan realitas hidup masyarakat setempat.
Papua adalah provinsi dengan kekayaan budaya, bahasa, dan ekosistem alam yang luar biasa. Namun, dalam hal pembangunan sumber daya manusia, khususnya literasi, wilayah ini tertinggal cukup jauh.
Seperti dicatat Yektiningtyas dan Modouw (2023), anak-anak Papua lebih tertarik bermain di alam terbuka dibandingkan membaca buku. Bukan karena mereka tidak suka membaca, tetapi karena isi buku yang ada terasa asing. Bagi sebagian anak-anak di sana, bahan bacaan tentang beras, apel, kereta api, atau gajah, tampak jauh dari keseharian mereka.
Untuk itu, perpustakaan harus bertransformasi, tidak sekadar menjadi tempat menyimpan buku, tetapi menjadi institusi dinamis yang mampu menjembatani dunia bacaan dengan realitas lokal. Cerita rakyat Papua seperti Ebi dan Kandei mampu membangkitkan keterlibatan emosional anak-anak karena mereka merasa memiliki dan mengenal isi cerita.
Ketika anak-anak menyebutkan burung cenderawasih atau ikan mujair yang mereka lihat setiap hari, mereka tak hanya membaca, tapi juga menghidupkan literasi dalam keseharian.
Transformasi peran perpustakaan di daerah harus dimulai dari pengakuan terhadap konteks sosial dan budaya lokal. Dalam hal ini, ada tiga langkah penting yang perlu dilakukan.
Pertama, revitalisasi kurasi bahan bacaan yang relevan dengan nilai-nilai lokal. Pemerintah daerah dan lembaga pendidikan harus mendorong penerbitan buku cerita rakyat Papua, disertai ilustrasi visual kontekstual dan penerjemahan ke dalam bahasa daerah.
Kedua, pelatihan pustakawan yang memahami dinamika budaya Papua dan mampu berperan sebagai fasilitator belajar yang ramah dan komunikatif, bukan sekadar penjaga buku.
Ketiga, kolaborasi multipihak, terutama dengan melibatkan tokoh adat, guru, penulis asli Papua, akademisi, komunitas agama, serta sektor swasta. Tujuannya agar perpustakaan menjadi gerakan bersama, bukan sekadar program institusi.
Di berbagai wilayah pedalaman kita, beberapa pusat baca komunitas telah menjadi pionir dalam menghadirkan ruang baca yang akrab dengan dunia anak-anak. Hanya saja, koleksi buku yang ada masih banyak bergantung pada donasi dari luar daerah yang tidak selalu relevan dengan konteks kehidupan anak-anak di sana.
Karena itu, menjadi penting adanya regulasi afirmatif yang didanai oleh pajak untuk memperkuat produksi dan distribusi buku per daerah, serta digitalisasi perpustakaan yang dapat menjangkau daerah pedalaman.
Literasi akan tumbuh subur jika disiram dengan kedekatan kultural dan pengalaman hidup masyarakat. Ketika pajak dimaknai bukan sekadar kewajiban finansial, tapi sebagai bentuk partisipasi untuk mencerdaskan bangsa, maka setiap lembar rupiah yang dibayarkan sesungguhnya menjadi investasi peradaban.
Kita berharap, dari sudut-sudut kampung di Indonesia pedalaman hingga gedung-gedung sekolah di kota besar, anak-anak bisa mengakses bacaan yang menggugah imajinasi dan memperluas cakrawala.
Perpustakaan adalah gerbang menuju dunia baru. Di desa-desa dan pedalaman kita, gerbang itu hanya akan terbuka jika dibangun di atas tanah, bahasa, dan budaya yang dipahami dan dihargai. Sementara melalui pajak yang dikelola dengan baik, negara punya kuasa untuk menjadikan literasi sebagai hak dasar yang tidak boleh timpang karena jarak dan geografis.
Pemerataan literasi adalah pekerjaan jangka panjang. Namun yang pasti, langkah menuju keadilan sosial bisa kita telusuri dari setiap buku yang relevan, setiap pustakawan yang terlatih, dan setiap anak yang mampu membaca dengan penuh makna. Pajak harus didorong untuk mencapai keadilan sosial, termasuk dalam bentuk pemerataan literasi.