Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran terhadap pentingnya pembangunan berkelanjutan telah mendorong perubahan besar dalam tata kelola korporasi global. Salah satu perubahan signifikan adalah munculnya standar pelaporan keberlanjutan internasional, yaitu IFRS S1 dan S2, yang dikembangkan oleh International Sustainability Standards Board (ISSB). Di sisi lain, sistem perpajakan juga mulai diarahkan untuk mendukung agenda keberlanjutan, membentuk suatu pendekatan yang disebut perpajakan berkelanjutan.
Perpajakan berkelanjutan merupakan konsep penting dalam bidang ekonomi dan perpajakan yang bertujuan menggunakan sistem perpajakan sebagai alat untuk mendukung dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Inti dari perpajakan berkelanjutan adalah bagaimana kebijakan perpajakan dapat dirancang dan diterapkan sedemikian rupa sehingga memberikan insentif kepada individu, perusahaan, maupun sektor ekonomi agar berperilaku lebih ramah lingkungan dan bertanggung jawab sosial. Pendekatan ini tidak hanya mendorong perlindungan lingkungan, tetapi juga memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi berjalan seiring dengan prinsip keberlanjutan.
Dampak IFRS S1 & S2 pada Perpajakan
Implementasi IFRS S1 dan S2 membawa sejumlah perubahan signifikan dalam pelaporan dan penilaian aset yang berkaitan dengan keberlanjutan. Misalnya, aset seperti teknologi hijau dan infrastruktur ramah lingkungan akan dinilai ulang, yang berpotensi mempengaruhi angka penyusutan dan amortisasi yang diakui dalam laporan keuangan. Selain itu, pengungkapan yang lebih rinci mengenai risiko lingkungan dan sosial mengharuskan perusahaan untuk meningkatkan liabilitas yang harus dicadangkan, sehingga berdampak pada pengakuan biaya secara lebih akurat dan transparan.
Standar baru ini juga mewajibkan perusahaan untuk lebih transparan dalam mengungkapkan berbagai biaya yang berkaitan dengan keberlanjutan, seperti biaya pengelolaan limbah dan biaya mitigasi perubahan iklim. Biaya-biaya ini berpotensi diakui sebagai pengurang penghasilan bruto, yang tentu akan mempengaruhi perhitungan pajak penghasilan perusahaan.
Selain aspek biaya, pengungkapan yang lebih baik terkait risiko dan peluang keberlanjutan juga berimplikasi pada strategi bisnis dan investasi perusahaan. Perubahan strategi ini dapat memengaruhi basis pajak, karena proyek-proyek berkelanjutan yang transparan pendapatannya bisa dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, IFRS S1 dan S2 tidak hanya meningkatkan kualitas pelaporan, tetapi juga memberikan informasi yang lebih jelas bagi otoritas pajak untuk mengidentifikasi potensi ketidakpatuhan dan mengurangi penghindaran pajak. Transparansi ini pada akhirnya dapat memperkuat penegakan hukum pajak dan meminimalisir risiko sengketa.
Lebih jauh, penerapan standar pelaporan keberlanjutan ini juga mendorong pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan tarif pajak, terutama yang berkaitan dengan insentif bagi investasi hijau. Data dan informasi yang diperoleh dari pelaporan keberlanjutan dapat menjadi dasar bagi penyusunan kebijakan perpajakan yang lebih mendukung tujuan keberlanjutan dan mitigasi perubahan iklim. Di sisi lain, investor juga akan memanfaatkan laporan ini untuk mengambil keputusan investasi yang lebih tepat, berorientasi pada perusahaan yang memiliki strategi keberlanjutan dan mitigasi risiko iklim yang baik. Hal ini berdampak pada arus modal dan basis pajak, khususnya di negara-negara OECD yang semakin menempatkan aspek keberlanjutan sebagai pertimbangan utama dalam investasi.
Peran Pajak Karbon dan Transparansi Risiko Iklim
Pajak karbon merupakan instrumen kebijakan yang krusial dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Dengan mengenakan biaya pada emisi karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya, pajak karbon mendorong pelaku ekonomi untuk mengurangi jejak karbon mereka. Di Indonesia, penerapan pajak karbon menjadi bagian integral dari strategi nasional untuk memenuhi komitmen pengurangan emisi dalam Paris Agreement, sekaligus mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, IFRS S2 memiliki peranan penting karena mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi terkait risiko iklim secara transparan. Hal ini mencakup eksposur perusahaan terhadap regulasi karbon serta strategi mitigasi yang diterapkan untuk mengurangi emisi. Selain itu, perusahaan juga harus mengungkapkan metrik dan target yang berkaitan dengan pengelolaan emisi karbon serta berbagai upaya yang telah dan akan dilakukan untuk menurunkan emisi mereka.
Penerapan IFRS S2 memotivasi perusahaan untuk mengembangkan strategi keberlanjutan yang lebih komprehensif. Ini termasuk investasi pada teknologi rendah karbon dan berbagai inisiatif pengurangan emisi yang mendukung pencapaian target iklim. Investor pun dapat menggunakan data yang diungkapkan melalui laporan keberlanjutan untuk membuat keputusan investasi yang lebih informatif dan berkelanjutan, memilih perusahaan yang memiliki strategi mitigasi risiko iklim yang kuat dan berkomitmen pada keberlanjutan jangka panjang.
Dengan implementasi IFRS S1 dan S2 yang semakin meluas, integrasi aspek keberlanjutan dalam pelaporan keuangan dan perpajakan menjadi semakin penting. Hal ini tidak hanya mendorong transparansi dan akuntabilitas perusahaan, tetapi juga membuka peluang bagi pemerintah dan investor untuk mendukung pembangunan yang lebih berkelanjutan melalui kebijakan pajak yang tepat dan keputusan investasi yang berbasis data risiko iklim. Dengan demikian, perpajakan berkelanjutan dan pelaporan risiko iklim akan menjadi fondasi penting dalam mewujudkan ekonomi yang hijau dan tahan terhadap perubahan iklim di masa depan.