Beberapa hari lalu, Singapura resmi meluncurkan Sustainability Reporting Body of Knowledge (SR BOK). Dokumen tersebut berisi panduan untuk mendukung penyedia pelatihan dalam menyusun program pelatihan sustainability reporting yang selaras dengan standar ISSB (International Sustainability Standards Board). SR BOK disusun oleh Singapore’s Accounting and Corporate Regulatory Authority (ACRA).
Langkah tersebut merupakan bagian dari strategi besar Singapura dalam memperkuat kapasitas tenaga kerja untuk pengungkapan iklim dan isu-isu ESG (Environmental, Social, and Governance), sekaligus menyukseskan Singapore Green Plan 2030. SR BOK sendiri telah mendapatkan dukungan lebih dari 50 pemangku kepentingan, khususnya regulator, penyusun laporan perusahaan, penyedia jasa assurance, hingga institusi pendidikan.
Pertanyaannya kemudian, kapan Indonesia menyusul? Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia tidak boleh berdiam diri di tengah laju globalisasi pengungkapan keberlanjutan yang kian cepat.
Singapura, melalui langkah strategisnya meluncurkan SR BOK, bukan saja tengah membangun sistem pelatihan yang terstandar. Mereka sedang menyiapkan talent pipeline yang akan menjadi tulang punggung keberhasilan ekosistem sustainability reporting nasional mereka.
Kita di Indonesia, yang tengah giat mewajibkan penyusunan Sustainability Report (SR) melalui regulasi OJK Nomor 51/POJK.03/2017 dan peraturan turunannya, menghadapi kebutuhan mendesak yang serupa. Kita juga dituntut agar bisa membangun kompetensi dan menjamin kualitas pelatihan bagi para profesional pelaporan keberlanjutan.
Sayangnya, hingga hari ini Indonesia belum memiliki kerangka panduan nasional yang bisa menjadi rujukan penyedia pelatihan sustainability. Pelatihan yang ada masih terfragmentasi, bergantung pada inisiatif swasta, konsultan, atau lembaga pelatihan, dan belum sepenuhnya terstandar dengan pendekatan berbasis kompetensi.
Hal tersebut jelas menjadi hambatan struktural, mengingat kompleksitas penyusunan Sustainability Report (SR). Penyusunan SR tidak hanya menuntut pemahaman terkait prinsip-prinsip keberlanjutan. Tim penyusun SR perlu memiliki pemahaman teknis atas standar pelaporan (misal ISSB dan Global Reporting Initiative/GRI) serta metodologi pengukuran jejak karbon dan pengungkapan iklim.
Langkah Singapura dalam membakukan kompetensi teknis mencerminkan keseriusan mereka mempersiapkan tenaga profesional masa depan. Dengan panduan tersebut, dimungkinkan tenaga penyusunan laporan keberlanjutan memiliki pemahaman yang sama dalam hal akuntansi gas rumah kaca (GRK), pemahaman IFRS S1 dan S2, hingga pengungkapan iklim yang mengikuti protokol GRK.
Kita perlu mengikuti langkah positif tersebut, apalagi di tengah kenyataan bahwa sebagian besar tenaga kerja profesional Indonesia yang belum tentu mendapatkan pelatihan sistematis dalam bidang ESG dan sustainability reporting.
Kebutuhan akan panduan pelatihan menjadi kian mendesak ketika Indonesia, melalui roadmap OJK, akan mulai memberlakukan pengungkapan keberlanjutan berbasis ISSB bagi emiten. ISSB telah menyatukan pendekatan pengungkapan keberlanjutan dan keuangan dengan menerbitkan dua standar, yaitu IFRS S1 dan IFRS S2.
IFRS S1 berisi pengungkapan keberlanjutan secara umum, sedangkan IFRS S2 adalah untuk pengungkapan iklim. Keduanya menuntut preparedness tinggi dari perusahaan dan penyusunnya, mulai dari materiality assessment, analisis risiko iklim, pengukuran emisi GRK, hingga strategi transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Dalam hal ini, Indonesia memerlukan ekosistem pelatihan yang tersertifikasi dan dijamin kualitasnya. Tujuannya agar bisa menjawab kebutuhan perusahaan, penyedia assurance, hingga tuntutan regulator.
Pelatihan yang terstruktur dan diawasi oleh lembaga nasional akan menjembatani kesenjangan kompetensi yang selama ini menjadi batu sandungan. Perlu dibangun sebuah konsorsium nasional yang melibatkan regulator (seperti OJK dan Kementerian Keuangan), akademisi, asosiasi profesi, serta pelaku industri, untuk menyusun dan meresmikan Body of Knowledge nasional bagi pelaporan keberlanjutan.
Selain itu, Indonesia juga perlu mengintegrasikan pelatihan sustainability reporting ke dalam pendidikan tinggi, terutama di jurusan-jurusan akuntansi, manajemen, dan administrasi niaga. Saat ini, materi terkait sustainability masih menjadi topik pilihan, bukan bagian inti dari kurikulum. Padahal, tuntutan dunia profesional jelas: mereka yang tidak memiliki keterampilan di bidang keberlanjutan akan tertinggal dan kehilangan relevansi.
Kita perlu menyusun kerangka kebijakan nasional yang holistik untuk penguatan kapasitas pelaporan keberlanjutan. Bentuknya bisa berupa peta kompetensi nasional, kurikulum pelatihan yang selaras dengan standar global, sistem sertifikasi dan akreditasi pelatihan, hingga insentif bagi sektor usaha untuk membangun kapasitas SDM-nya secara berkelanjutan.
Tujuannya tidak lain untuk mewujudkan kepemimpinan regional dalam arsitektur ekonomi hijau. Inisiatif tersebut akan memperkuat kepercayaan investor dan mendorong praktik ESG yang lebih baik.
Maka pertanyaannya bukan lagi apakah kita akan bergerak ke arah itu, tetapi kapan kita siap mengambil langkah berani seperti Singapura? Jawabannya ada pada kita, pada para pemangku kebijakan, praktisi, akademisi, dan pembelajar yang bersedia mengubah sistem dari dalam.