Pernyataan Art Laffer, ekonom asal Amerika Serikat sekaligus pencetus Kurva Laffer, kembali menjadi bahan diskusi dalam forum ekonomi. Dalam sebuah acara di Jakarta, Laffer menegaskan bahwa sembilan negara bagian di AS yang tidak memungut pajak penghasilan orang pribadi justru mencatatkan pertumbuhan ekonomi tercepat. Bagi Laffer, tarif pajak yang rendah, merata, dan tidak diskriminatif—yang dikenal sebagai prinsip low rate, broad based flat tax—merupakan kunci mendorong kepatuhan pajak sekaligus pertumbuhan ekonomi.
Namun, sejauh mana prinsip ini berlaku di konteks Indonesia? Apakah benar tarif pajak yang tinggi justru melemahkan kepatuhan dan menurunkan penerimaan? Atau mungkinkah sebaliknya, bahwa justru basis pajak yang sempit dan administrasi yang lemah merupakan penyebab utamanya?
Pajak Rendah dan Basis Luas: Masih Jauh dari Realitas Indonesia
Selama satu dekade terakhir (2015–2025), Indonesia justru cenderung memperkuat sistem tarif progresif. Salah satu contohnya adalah penambahan lapisan tarif baru sebesar 35% untuk penghasilan di atas Rp5 miliar melalui UU HPP tahun 2021. Di sisi lain, basis pajak tetap sempit. Jumlah wajib pajak aktif dan patuh masih jauh dari potensi sebenarnya, terutama karena sektor informal yang luas dan lemahnya sistem pendataan.
Prinsip broad-based taxation seperti yang dimaksud Laffer masih menjadi cita-cita, belum kenyataan. Tax ratio Indonesia stagnan di kisaran 9–11% dari PDB, jauh di bawah negara-negara peers di Asia Tenggara. Kebijakan yang menurunkan tarif namun gagal memperluas basis hanya akan membuat penerimaan negara menurun tanpa mendorong partisipasi lebih besar dari masyarakat.
Ketika Orang Kaya Menghindar: Benarkah Karena Tarifnya Terlalu Tinggi?
Laffer juga menyebut bahwa orang kaya cenderung menghindari pajak jika dikenai tarif yang lebih tinggi. Di Indonesia, pernyataan ini tidak bisa diabaikan. Kasus penghindaran pajak yang melibatkan individu-individu berpenghasilan tinggi terus mencuat, mulai dari Panama Papers hingga kasus Rafael Alun.
Program Tax Amnesty 2016–2017 dan Pengungkapan Sukarela (VDP) pada 2022 merupakan respons langsung pemerintah atas fenomena ini. Pemerintah menyadari bahwa penegakan hukum semata tidak cukup; perlu ada insentif dan mekanisme yang membuat wajib pajak merasa adil dan terdorong untuk patuh. Namun, apakah solusinya adalah menerapkan tarif flat seperti yang diusulkan Laffer?
Mengadopsi Supply-Side, Tapi Tak Semudah Itu
Sejauh ini, Indonesia telah mencoba menerapkan kebijakan berbasis supply-side economics ala Laffer—memberikan insentif fiskal berupa tax holiday, super deduction, dan tarif PPh final rendah untuk UMKM. Tujuannya sama: mendorong produksi, investasi, dan menciptakan efek berantai pada penerimaan.
Namun, hasilnya belum seefektif yang diharapkan. Kepatuhan pajak tetap rendah, dan investasi yang masuk belum signifikan mengangkat basis penerimaan. Ini menandakan bahwa teori saja tidak cukup tanpa tata kelola yang kuat. Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, keberhasilan kebijakan pajak lebih ditentukan oleh kapasitas administrasi dan kualitas institusi ketimbang sekadar tingkat tarif.
Mewaspadai Generalisasi Teori
Apa yang berhasil di sembilan negara bagian Amerika Serikat belum tentu dapat direplikasi begitu saja di Indonesia. Struktur ekonomi yang berbeda, tingkat informalitas yang tinggi, dan ketimpangan sosial yang masih lebar menjadi tantangan tersendiri. Teori Laffer penting untuk diingat, tetapi tidak bisa dijadikan satu-satunya panduan.
Penerapan sistem pajak yang adil dan efisien di Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar tarif rendah—yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh: perluasan basis pajak, digitalisasi sistem, perbaikan pelayanan, serta penegakan hukum yang adil dan konsisten. Tanpa itu semua, tarif pajak berapa pun—tinggi ataupun rendah—akan tetap gagal mencapai tujuannya.