Menjelang penanggalan 2023 berakhir, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 tahun 2023 (“PMK-168/2023”) sebagai pengganti PMK-252/2008 yang mengatur tentang petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi.
Beleid tersebut muncul berdasarkan pendelegasian wewenang dari Pasal 21 ayat (8) Undang-Undang No. 36 tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Walaupun beberapa hari sebelum terbitnya PMK-168/2023 juga terbit Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2023 yang mengatur tentang tarif pemotongan pajak penghasilan 21 atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan wajib pajak orang pribadi, namun PMK-168/2023 bukan merupakan ketentuan pelaksana dari Peraturan Pemerintah tersebut.
Selain membahas mengenai teknis pemotongan PPh Pasal 21 untuk penghasilan yang diperoleh orang pribadi, PMK-168/2023 juga membahas mengenai teknis pelaporan Surat Pemberitahuan (“SPT”) yang wajib disampaikan oleh Pemotong Pajak. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 20 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 20 PMK-168/2023 mengatur bahwa Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap Masa Pajak. Kewajiban tersebut tetap berlaku meskipun jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil, selama terdapat pemberian penghasilan oleh Pemotong Pajak sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan kepada orang pribadi. Kewajiban tersebut baru tidak berlaku apabila tidak terdapat pemberian penghasilan oleh Pemotong Pajak.
Yang perlu menjadi perhatian kita lebih lanjut adalah terkait pelaporan SPT PPh Pasal 21. Ketentuan mengenai teknis pelaporan SPT sebetulnya telah lebih dulu ada di PMK-09/2018 yang mengatur tentang SPT. Beleid tersebut muncul berdasarkan pendelegasian wewenang dari Pasal 4 ayat (5) dan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 yang mengatur tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU HPP.
Dijelaskan dalam Pasal 10 ayat (2) PMK-09/2018 bahwasanya ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan PPh Pasal 21 yang dipotong tidak berlaku dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil. Lebih lanjut, Pasal 10 ayat (2a) menjelaskan bahwasanya kewajiban tersebut tetap berlaku hanya untuk pelaporan PPh Pasal 21 Masa Pajak Desember.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan ketentuan berkaitan dengan pelaporan SPT PPh Pasal 21, yaitu yang terdapat di PMK-168/2023 dan PMK-09/2018. Sebagai Wajib Pajak, ketentuan PMK manakah yang harus diikuti?
Jawabannya adalah dengan mengacu pada asas preferensi dalam ilmu hukum, yaitu lex specialis derogat legi generali serta lex posterior derogat legi priori.
Istilah lex specialis derogat legi generali bermakna bahwa aturan yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum. Asas ini digunakan sebagai dasar pengutamaan suatu aturan hukum terhadap aturan hukum lainnya dengan melihat dari sisi kekhususannya (specialization).
Prof. Bagir Manan (2004) mengemukakan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman dalam menerapkan asas tersebut, yaitu:
- ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
- ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan lex generalis; dan
- ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis.
Dengan demikian, jika kita merujuk pedoman di atas dan mengaitkannya dengan ketentuan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21, maka PMK-168/2023 merupakan lex specialis dari PMK-09/2018 dalam kaitannya dengan ketentuan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21. Pertimbangannya adalah sebagai berikut:
- dalam hal ketentuan SPT, khusus mengenai pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 diatur berdasarkan PMK-168/2023, sedangkan untuk ketentuan selainnya tetap diatur berdasarkan PMK-09/2018;
- dalam hal hiererki peraturan, PMK-168/2023 sederajat dengan PMK-09/2018; dan
- dalam hal rezim, PMK-168/2023 dan PMK-09/2018 berada dalam rezim hukum administrasi negara.
Selanjutnya, sesuai dengan asas lex posterior derogat legi priori, aturan yang baru meniadakan keberlakuan aturan yang lama. Dengan demikian, wajib pajak perlu mengacu pada PMK-168/2023 terkait kewajiban pelaporan SPT PPh Pasal 21 mereka.