Free Webinar ke-107 berjudul “Membedah PP-55/2022 sebagai Peraturan Pelaksana UU PPh Baru: Jilid 4” diselenggarakan pada Rabu, 1 Februari 2023 dan merupakan lanjutan dari tiga Free Webinar sebelumnya. Pratama-Kreston Tax Research Institute (PK-TRI) bekerja sama dengan Divisi Knowladge and Development Center (KNDC) sebagai bagian dari PT Pratama Indomitra Konsultan telah rutin menyelenggarakan seri web based seminar (Webinar) gratis yang saat ini sampai pada pertemuan ke-107. Free Webinar tersebut dibawakan langsung oleh seorang praktisi, akademisi, dan peneliti di bidang perpajakan sekaligus CEO PT Pratama Indomitra Konsultan, Dr. Prianto Budi Saptono, Ak., CA., M.B.A., dan dipandu oleh seorang moderator, Tiara Baginda Maharani, S.E., yang sekaligus Konsultan Pajak di PT Pratama Indomitra Konsultan.
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (“PP-55/2022) merupakan peraturan turunan dari Pasal 4 ayat (2) huruf e, Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1, Pasal 17 ayat (2e), dan Pasal 32C UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) s.t.d.t.d. UU No. 7/2021 (UU HPP). Fokus pembahasan Free Webinar ke-107 adalah pengaturan lebih lanjut dari Pasal 32C UU PPh, yaitu mengenai Anti-Tax Avoidance Rules.
Pada Free Webinar tersebut, narasumber menyampaikan bahwa secara historis sejak 1935, kasus Tax Avoidance atau penghindaran pajak pertama kali terjadi di USA. Berdasarkan data Tax Justice Network (The State of Tax Justice 2020: Tax Justice in the time of COVID-19, 2020), Indonesia mengalami kerugian diperkirakan sebesar USD 4.785.952.836 atau setara dengan Rp 69,34 triliun sebagai akibat dari penghindaran pajak (corporate tax abuse) pada tahun 2020.
Di awal sesi Free Webinar, pembahasan lebih mengarah pada latar belakang pemilihan kebijakan pengaturan yang dilakukan berbagai negara dalam menanggulangi penghindaran pajak, yaitu melalui General Anti-Avoidance Rules (GAAR) dan Specific Anti-Avoidance Rules (SAAR). SAAR mengatur secara spesifik mengenai ketentuan penanganan penghindaran pajak, sebaliknya, GAAR mengaturnya secara umum. Nyberg-Andersson (2018) menyatakan bahwa belakangan ini terjadi peningkatan tren dimana otoritas pajak internasional lebih menggunakan GAAR, dibandingkan SAAR, untuk mengatasi perilaku tax avoidance Wajib Pajak (WP) yang semakin canggih.
Menurut Waerzeggers & Hillier (Tax Law IMF Technical Note: Introducing A GAAR, 2016), ketentuan pajak melalui GAAR dapat memberikan kewenangan bagi otoritas pajak untuk membatalkan manfaat pajak (tax benefit) tertentu, atau mengenakan kewajiban pajak tambahan terhadap WP. Kewenangan otoritas pajak ini berlaku ketika WP secara terang-terangan, dibuat-buat, dan/atau dibuat hanya untuk memperoleh manfaat pajak yang relevan. Di lain sisi, tujuan GAAR untuk menghilangkan unacceptable tax avoidance membuat desain hukum GAAR dengan sendirinya menjadi kompleks karena arti frasa “tax avoidance” mengandung makna berbeda-beda bagi setiap orang.
Oleh karena kewenangan yang didapatkan oleh otoritas sangat besar dari penerapan GAAR, policymaker sebaiknya mengakomodasi ketentuan tentang perlindungan bagi WP dan membuat ketentuan yang jelas mengenai batasan-batasan (threshold) ketika WP melakukan penghindaran pajak atau tidak. Waerzeggers & Hillier (2016) juga menegaskan bahwa keberhasilan penggunaan konsep GAAR pada akhirnya sangat bergantung pada desain hukum suatu negara dan penyusunan GAAR, serta kapasitas otoritas pajak untuk menerapkan GAAR secara tepat, terukur, adil, dan dapat diprediksi.
Pada konteks di Indonesia, pemerintah berupaya menanggulangi penghindaran pajak dengan mengusung konsep SAAR sesuai Pasal 18 UU PPh. Kemudian, di dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) 2021 pemerintah berusaha mengakomodasi ketentuan GAAR berupa aturan pencegahan penghindaran pajak dengan mengubah ketentuan Pasal 18 UU PPh.
Pada proses akhir dari revisi UU PPh sesuai UU HPP, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berkompromi untuk tetap menggunakan SAAR di Pasal 18 UU PPh. Sementara itu, penambahan penjelasan Pasal 18 UU PPh diubah agar memunculkan makna implisit dari GAAR.
Pertimbangan DPR untuk tidak menerapkan sepenuhnya konsep GAAR pada ketentuan penghindaran pajak yaitu karena potensi pajak yang dapat dideteksi melalui SAAR lebih tinggi ketimbang GAAR. Sesuai data perhitungan DJP tentang penurunan persentase, potensi pajak yang dapat dideteksi melalui GAAR hanya sebesar 1,27%, sedangkan ketentuan penghindaran pajak berdasarkan konsep SAAR dapat mendeteksi sekitar 8,92%.
Amandemen Pasal 18 UU PPh tentang Anti-Tax Avoidance Rules sesuai perubahan yang tertuang di dalam UU HPP, ada pada empat bagian berikut ini:
- Ketentuan Pasal 18 ayat (1) diubah,
- Pasal 18 ayat (3e) dihapus,
- Penjelasan Pasal 18 ditambahkan, dan
- Penjelasan Pasal 18 ayat (3).
Pembahasan Free Webinar kemudian berlanjut pada hal-hal mengenai Anti-Tax Avoidance Rules yang pengaturannya diuraikan lebih rinci di dalam PP-55/2022, khususnya sesuai amanah Pasal 32C huruf t sampai dengan huruf aa, sebagai berikut:
- batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk keperluan penghitungan pajak dalam Pasal 18 ayat (1) UU PPh
- penetapan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) UU PPh;
- penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) UU PPh;
- pelaksanaan perjanjian pembentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) UU PPh;
- penetapan pihak yang sebenarnya melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3b) UU PPh;
- penetapan penjualan atas pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) UU PPh;
- penentuan kembali besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3d) UU PPh;
- kriteria hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh;
Skema pengaturan Anti-Tax Avoidance Rules di dalam PP-55/2022 terangkum pada tabel di bawah ini.
Pada intinya, pengertian dari penghindaran pajak sesuai Pasal 32 PP-55/2022 merupakan upaya yang dilakukan WP untuk mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang seharusnya terutang, dan upaya tersebut bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Uraian lebih detil dapat Sobat Pratama saksikan pada video Free Webinar terkait.
Pada akhir sesi Free Webinar tersebut terdapat sesi tanya-jawab sehingga para peserta memiliki ruang untuk mendiskusikan permasalahan perpajakan yang dialami terkait topik Free Webinar. Setiap peserta yang mengikuti Free Webinar juga berhak mendapatkan e-certificate dan materi lengkap. Peserta dan Sobat Pratama yang terlewat mengikuti Free Webinar tersebut dapat menyaksikannya kembali pada kanal Youtube Pratama Indomitra.
Pelajari dan kupas bersama-sama ketentuan baru lainnya di dalam Free Webinar yang diselenggarakan setiap hari rabu, dengan pembicara utama Dr. Prianto Budi Saptono Ak., C.A., M.B.A. Informasi lebih lanjut mengenai Free Webinar dapat diperoleh pada media sosial PT Pratama Indomitra Konsultan.